Mohon tunggu...
Zakky Zulhazmi
Zakky Zulhazmi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala, Komunitas Ketik, dan Forum Studi Media Karpet Merah. Saat ini menempuh studi di UIN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali

17 Agustus 2012   04:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lewat momentum mudik mungkin kita akan memaknai lagi kata kembali. Ya, kembali. Kembali ke kampung halaman, kembali ke muasal, kembali ke tempat yang paling dirindukan. Dalam sesak antrian tiket kereta, dalam penuh riuh lambung-lambung kapal juga pada bangku-bangku bis antar provinsi, mengendap pengharapan: tahun ini masih bisa berkumpul bersama sanak keluarga dan handai taulan. Maka, berapapun jarak yang kan ditempuh tak punya arti lagi. Sebab, nun jauh di sana sejumlah cinta dan rindu telah lama menunggu.

Kota ini (baca: Ponorogo) tak pernah punya catatan pasti perihal berapa orang yang telah jauh meninggalkan kota ini dan kemudian kembali. Entah itu para pekerja, entah pula pelajar. Tiap tahun, Ponorogo melempar ratusan putra-putrinya untuk kuliah di luar Ponorogo: Surabaya, Malang, Jogja, Solo, Jakarta, Bandung. Kota ini juga tak sedikit memasok TKI ke Hongkong, Malaysia, Korea, Arab Saudi dan Taiwan. Mereka pergi, merantau, meninggalkan tanah asal. Mencari sesuatu yang bisa kita mengerti ataupun yang tak bisa kita pahami.

Lalu kalender berputar dan kita dipertemukan dengan lebaran, diiringi tradisi mudik. Para mahasiswa pulang kampung, TKI di luar negeri ada yang ‘bisa’ pulang, ada yang tidak. Para pekerja yang makaryo di Jakarta, Cikarang, Bekasi dan lain-lain memadati loket kereta dan agen bis. Status FB dan twitter penuh dengan kata mudik. Seolah meneguhkan bahwa mereka adalah perantau yang layak diapresiasi. Semuanya ingin pulang, ingin kembali. Sampai mereka di kampung halaman dalam kuyu dan letih perjalanan. Tak lama, tempat-tempat makan penuh oleh muda-mudi yang mengadakan buka bersama. Tiba-tiba, alun-alun jadi begitu ramai dan jalanan macet. Orang-orang di kota ini tampaknya penggemar kumpul-kumpul, nostalgia, temu kangen, reunian dan sejenisnya. Indikasi kuatnya komunitarianisme (?).

Saya menyusuri kota dengan perasaan gamang. Dulu, kota ini tak seramai sekarang, batin saya. Di pasar orang-orang menyemut, toko-toko tak pernah sepi, mobil dan motor kualitas istimewa lalu lalang. Apakah ini pertanda orang-orang di kota ini sudah kian makmur dan sentosa? Saya tidak tahu. Saya masih terpaku sebagai seorang yang asing di kota sendiri. Boleh jadi, perasaan seperti ini muncul dalam dada orang-orang yang untuk beberapa saat jauh dari Ponorogo.

Sampailah beberapa kabar di telinga saya, teman-teman saya yang hampir menyelesaikan kuliah bersiap membuka bisnis kuliner di Jogja. Seorang teman di Jakarta sudah jadi asisten dosen dan nyaris pasti jadi dosen di almamaternya selepas S2. Mereka semua asli Ponorogo. Lahir dan tumbuh besar di sini. Tapi kemungkinan besar tidak berkiprah di tanah kelahiran. Sejenak saya berpikir, lantas apa makna Ponorogo bagi mereka? Sekadar tempat mudik dalam ritus tahunan? Tempat kembali sesaat pelepas kangen? Mendatangi Ponorogo seperti mampir ngombe? Atau semacam identitas yang bisa dibanggakan bahwa kami punya kampung halaman?

Kota ini telah memberi terlalu banyak kepada penduduknya. Ponorogo terlalu berjasa untuk dicampakkan. Sebagaian dari teman saya telah berbuat sesuatu untuk Ponorogo. Entah lewat jalur pendidikan, kebudayaan, ekonomi atau yang lain. Namun ada juga yang dari jauh, dari kota-kota nun di sana, menyumbangkan konsep-konsep dan idenya untuk pembangunan Ponorogo. Ia posisikan dirinya sebagai konseptor, bukan eksekutor. Ada pula yang cuma mampu menggelontorkan modal-modal besar, tanpa konsep dan tanpa kerja. Semua sah dan tidak ada yang salah. Masing-masing mengambil peran sesuai dengan kapasitas dan mentalitas.

Saya jadi teringat obrolan dengan teman-teman SD saya di FB beberapa hari yang lalu. Mereka menyebar di Jogja, Bandung, Surabaya dan Jakarta. Mereka sudah hampir diwisuda. Jadi sarjana yang sudah mencecap banyak ilmu. Di FB, kami membincangkan kemungkinan membuka usaha café di Ponorogo. Tapi bukan café biasa. Kami ingin membuat café rakyat, cafenya kawula muda. Dalam bayangan kami, di café itu kaum muda Ponorogo bisa bebas mengekspresikan dirinya. Café yang memberi ‘ruang’ seluas-luasnya untuk berkarya. Entah itu untuk pameran, foto, pameran lukisan, stand up comedy, baca puisi, orasi kebudayaan, bedah buku, nonton bola, launching album, dan kerja-kerja kreatif lain. Di café itu ingin kami buka mini library. Harapannya, warga Ponorogo bisa mengakses buku-buku berkualitas dengan mudah. Selain itu, tentu saja kami ingin menghidangkan menu-menu dengan harga terjangkau.

Memang ide itu baru sebatas obrolan. Belum diwujudkan. Tapi dari obrolan itu saya menangkap upaya teman-teman saya untuk memberi sedikit arti bagi Ponorogo. Agar tiap tahun ketika mereka datang ke kota kelahiran tidak sekadar ‘kembali’. Ada yang ditengok, ada yang dirawat, ada yang dibagi. Sebisa yang mereka konsepkan, sebisa yang mereka realisasikan.

Saya kembali menyusuri kota. Mencari tempat yang sekiranya tepat untuk café kami. Orang-orang masih datang dan pergi. Pergi untuk kembali. Sejauh apapun mereka pergi, pada akhirnya mereka akan kembali. Entah kembali sebagai apa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun