Mohon tunggu...
Zakky Zulhazmi
Zakky Zulhazmi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala, Komunitas Ketik, dan Forum Studi Media Karpet Merah. Saat ini menempuh studi di UIN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jogja, Secarik Kenangan

24 November 2012   12:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:44 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya masih terkenang Jogja. Kota adem ayem yang saya kunjungi beberapa hari silam itu masih meninggalkan kenangan. Salah satu bagian dari Jogja yang sangat saya ingat adalah tempat minum kopi. Baik itu angkringan, café, atau burjo. Tempat kopi di Jogja banyak betul dan nyaris semuanya ramai. Angkringan bisa dijumpai di manapun bahkan sampai gang-gang sempit. Café-café hasil garapan anak-anak muda seolah berlomba menjadi tempat minum kopi dan ngumpul yang paling asyik. Adapun burjo milik para peratau dari Kuningan terlihat tenang karena sudah yakin tak akan kekurangan pengunjung: Jogja terlampau banyak menampung mahasiswa.

Kekaguman saya ini boleh jadi terlambat. Namun saya memang jarang ke Jogja. Kalupun ke Jogja tidak sempat ‘jalan-jalan malam’ dan mengunjungi tempat-tempat minum kopi. Nah, salah satu tempat minum kopi cyang membuat saya takjub adalah Mato. Tempat ngopi yang terletak di daerah Selokan Mataram ini ramai bukan buatan. Saat saya kesana sekitar pukul sembilan, saya nyaris tak dapat tempat parkir. Mato sangat sederhana. Berdiri di atas tanah yang luas, di Mato hanya ada satu bangunan rumah. Tempat mengolah makanan dan minuman, kasir, juga tempat kursi-kursi pengunjung. Selebihnya orang-orang ngopi di samping bangunan rumah itu. Tempatnya hanya beratapkan asbes, tak bertembok dan beralasan tikar plastik. Namun selalu penuh.

Seorang sahabat yang menemani saya jalan-jalan di Jogja bilang dengan mimik serius: ini adalah tempat lahirnya peradaban. Saya hanya manggut-manggut. Mungkin mengamini. Pemandangan di Mato memang agak lain. Yang ngopi sepertinya kebanyakan aktivis. Mereka gondrong dan jins belelnya sobek di dengkul. Meski itu bukan mutlak ciri seorang aktivis. Kata sahabat saya, hampir 80% yang ngopi di sini adalah anak UIN Jogja. Entah benar entah salah saya tak mau menghitung. Sahabat saya nyletuk, anak-anak UIN Jogja ngopi di sini lantaran mayoritas mereka dari kalangan menengah ke samping (karena tak mau disebut menengah ke bawah). Saya nyengir saja mendengar seloroh sahabat saya itu.

Ada banyak alasan orang ngopi di Mato. Ada yang sejak dari kosan niat untuk main kartu sampai pagi, sehingga di tasnya terselip segepok kartu remi. Selain itu, ada yang ingin menghabiskan malam dengan bernyanyi: ia sudah menyiapkan gitar dan buku cord lagu. Di luar aktivitas main kartu dan nyanyi-nyayi, beberapa di antara pengunjung ada yang mengadakan rapat kecil di Mato. Mungkin mereka adalah aktivis BEM atau para mafia proposal.

Mato makin menunjukkan pesonanya saat saya mencicipi menu andalan Mato: Kopassus. Itu minuman serupa kopi susu dengan campuran susu yang agak berlebih sehingga terasa sangat legit dan kental. Selain Kopassus telur penyet dan cap jay Mato juga layak dicoba. Para pengantar makanan tak pernah berhenti. Mereka hilir mudik mengantar pesanan. Karena tak berlaku nomor meja di Mato, mereka harus berteriak menyebutkan nama makanan atau minuman yang dibawanya. Lalu yang merasa memesan mengacungkan tangan dan pesanan diantar. Oh iya, mengingat Mato saya jadi ingat Sastra Tempel yang terpampang di dekat kasir Mato. Di kertas ukuran A3 saya melihat karya stensilan yang tertempel. Sebuah cerpen, berjudul ‘Kakek’, karya Eko Triono. Cerpenis Jogja yang sedang naik daun. Sehabis menikmati Sastra Tempel, saya menarik nafas dan menghembuskan perlahan. Betapa di Jogja gairah bersastra dan kerja-kerja kreatif anti kemapanan masih ada (dan hidup, barangkali).

Kembali ke Mato. Pemilik Mato, konon, adalah orang Madura. Begitu info dari sahabat saya. Dan para pekerja di Mato didominasi orang Madura dan Palembang. Mereka menggunakan sistem shift. Sebab Mato buka 24 jam, sebagaimana tempat-tempat ngopi di Jogja. Kian malam Mato kian ramai. Saat pagi datang barulah Mato sepi. Paling tidak tinggal menyisakan 4-5 motor. Mato memang surganya para ‘kelelawar’, para penjaga malam. Pesaing Mato, kalau tidak salah ingat, adalah Blandongan, tempat ngopi yang ramainya juga masya Allah.

Pulang dari Mato saya mampir ke Gudeg Permata yang kondang itu. Jam sudah menujukkan pukul 1 dinihari. Dan Gudeg Permata masih ramai pembeli. Selama perjalanan saya dari Mato ke Gudeg Permata, saya melihat tempat-tempat ngopi yang tak kunjung sepi. Saya lantas berpikir dan bertanya, inikah kultur Jogja? Atau lebih tepatnya kultur mahasiswa Jogja? Suka ngopi, kumpul-kumpul dan begadang? Apa mereka tidak ada kuliah esok pagi? Mungkin pertanyaan saya cukup naïf. Tapi Jogja memang kerap mengundang tanya.

Lalu saya membayangan Ciputat. Saya menduga kalau ada Mato di Ciputat pengunjungnya tak akan seramai Jogja. Anak-anak Ciputat itu ‘taat-taat’. Mereka akan segera tidur jika memang besok ada kuliah. Kalaupun kuliah sudah kelar, mereka mungkin akan beralasan: besok saya kerja. Budaya kumpul-kumpul boleh jadi juga mulai dikikis oleh sikap-sikap individualistik yang secara tak langsung tumbuh dan subur di tempat macam Ciputat ini. Barangkali asumsi saya ini salah dan berharap memang benar-benar salah.

Jogja masih menyimpan mutiara tersembunyi lainnya. Yakni pengajian Mocopat Syafaat asuhan Emha Ainun Nadjib. Dari Ciputat saya memang sudah membayangkan bisa hadir di pengajian yang tak biasa itu. Apalagi kedatangan saya di Jogja bertepatan dengan tanggal 17. Mocopat Syafaat digelar tiap tanggal 17. Lagi-lagi saya terhenyak saat mendatangi forum itu. Forum yang digelar sejak habis maghrib sampai subuh ini ramai bukan main. Di Jakarta, Cak Nun punya forum bulanan Kenduri Cinta. Yang datang sekitar 200 orang. Tapi, di Mocopat Syafaat yang datang bisa dua kali lipatnya bahkan lebih. Mereka yang datang sebagian besar mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa UIN Jogja.

Yang bikin dada saya berdesir ketika datang ke Mocopat Syafaat adalah warung makan dan angkringan yang seolah amat sangat diberkati Tuhan. Penjual nasi dan angkringan seperti tak berhenti melayani pengunjung Mocopat Syafaat. Saya lantas berbisik, luar biasa berkah forum ini. Pedagang apa saja pasti laris jika datang ke sini. Saya menghitung ada sekitar 5 sampai 6 warung nasi dan angkringan. Penjualnya selalu tampak sumringah dan ikhlas melayani. Mereka sangat percaya bahwa rezeki memang Tuhan yang mengatur. Dan malam Mocopat Syafaat adalah malamnya mereka. Di Jakarta tidak seperti ini. Penjaja kopi dan minuman hangat tidak terlalu diminati. Begitu juga penjual makanan di sekitar Taman Ismail Marzuki, tempat berlangsungnya Kenduri Cinta. Beberapa jamaah malah ada yang membawa bekal dari rumah. Dan saya tidak tidak tahu itu pertanda apa.

Jogja belum habis cerita. Ketika saya mengunjungi sate Klathak Pak Bari di Pasar Wonokromo saya seperti sedang meneguhkan adagium ‘setiap mutiara pasti selalu tersembunyi’. Jadi, malam itu saya dan sahabat saya bermaksud ingin mencicipi sate Klathak. Rekomendasi dosen kami yang lama kuliah di Jogja, sate klathak Pak Bari wajib dicoba. Akhirnya kami menuju ke sana. Jogja sedikit gerimis malam itu. Ternyata Pasar Wonokromo di Pleret, Bantul itu cukup jauh dari tempat kami menginap selama di Jogja, yaitu daerah Tugu. Saya berkali-kali tanya orang pinggir jalan arah ke Bantul. Menurut info, pasar Wonokromo tak terlalu jauh dari terminal Giwangan. Saya nyaris tak percaya saat motor saya mulai masuk ke perkempungan. Benarkah di tempat ‘sendeso’ ini ada sate yang enak. Saya makin tak percaya manakala motor saya berhenti di depan Pasar Wonokromo. Pasar ini tak ubahnya pasar desa lainnya. Di depan kios yang sudah tutup Pak Bari menggelar dagangannya. Beberapa mobil parkir tak jauh dari situ. Deretan motor juga memenuhi tempat parkir. Setelah mencicipi satenya, barulah saya tahu kenapa tempat Pak Bari bisa seramai ini. Seperti apa wujud dan rasa sate klathak detailnya tak akan saya ceritakan di sini. Sila datang sendiri ke kedai sate klathak Pak Bari di Pasar Wonokromo, Pleret, Bantul.

Ya, begitulah Jogja. Banyak hal-hal menarik yang bisa diceritakan dan digali. Tak aneh jika kemudian Katon Bagaskara membuat lagu tentang Jogja yang sampai sekarang selalu pas terdengar di kuping. Benar kata Katon: setiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksana makna….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun