Mohon tunggu...
Zakky Afkari
Zakky Afkari Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hobi menggambar

Selanjutnya

Tutup

Analisis

kupas tuntas PPN12% serta dampak-dampaknya

10 Januari 2025   06:30 Diperbarui: 10 Januari 2025   10:01 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kupas tuntas PPN12% serta dampak-dampaknya kepada masyarakat

Menjelang pergantian tahun, masyarakat menghadapi kekhawatiran serta kegundahan terkait rencana kebijakan pemerintah di tahun mendatang, salah satunya adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025. Hal ini diumumkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan sejumlah menteri lainnya pada Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Kebijakan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang telah disahkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan akan dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sri Mulyani menegaskan pentingnya menjaga kesehatan APBN sebagai instrumen penyerap kejut (shock absorber) dalam menghadapi krisis ekonomi global. Dalam hal ini pemerintah perlu menambah pos-pos penerimaan agar APBN agar bisa tetap sehat. Menyangkut hal ini pemerintah pun telah resmi menetapkan APBN 2025 menjadi undang-undang melalui UU 64/2025 oktober lalu. Dalam UU tersebut target pendapatan negara telah ditetapkan senilai Rp. 3.005,12 Triliun yang terdiri dari Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Penerimaan Hibah. Ini adalah kali pertama menyentuh angka 3k triliun, angka yang cukup fantastis. Pendapatan pajak dalam negeri terdiri dari PPh senilai Rp1,209,27 triliun, PPN senilai R945,12 triliun, PBB senilai Rp27,11 triliun, cukai senilai Rp244,19 triliun, dan pajak lainnya senilai Rp7,79 triliun.
Fakta menarik:
1. Karena barang mewah dan jasa mewah masih belum jelas, maka ada potensi jasa pendidikan dan jasa kesehatan tertentu akan dikenakan PPN.
2. Jika anda berbelanja kebutuhan di tempat yang ditunjuk memungut PPN seperti mini market, anda akan dikenakan pajak meski bukan berbelanja barang premium.
3. Spotify, steam, netflix, aplikasi berbayar lainnya yang melibatkan transaksi online akan dikenakan PPN 12%.
4. Faktanya, kenaikan tarif PPN dari 10% jadi 11% pada April 2022 meningkatkan penerimaan pajak sebesar Rp61 triliun pada tahun tersebut. Hal ini terjadi di masa transisi dari covid ke normal, bayangkan jika sekarang diterapkan
5. PPN menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara ketika covid. Penerimaan PPN sepanjang 2021 mencapai Rp551,0 trilliun yang setara 106,3% dari target awal Rp518,55 trilliun. Sedangkan untuk 2023, penerimaan PPN telah terkerek hingga mencapai Rp764 triliun.
 
A. Latar Belakang
DPR dan Presiden sempat bersepakat untuk hanya menaikan tarif PPN pada kategori barang mewah saja atau lebih dikenal dengan istilah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM). Namun secara resmi pada Senin 16 Desember 2024, pemerintah akan menaikkan tarif untuk seluruh transaksi yang dipungut PPN.
B. Tujuan UU perpajakan termasuk PPN
Menimbang:
 
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara dan penduduk Indonesia, perlu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial;
 
b. bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, yang antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak;
 
c. bahwa untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan berupa program pengungkapan sukarela Wajib Pajak dalam 1 (satu) undang-undang secara komprehensif;
 
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
 
C. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) berdasarkan PP 49 2022
Meski demikian terdapat objek yang dikecualikan dari tarif PPN 12%, diantaranya kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, daging, susu, dan gula konsumsi. Selanjutnya barang strategis, seperti buku pelajaran, vaksin, mesin dan peralatan pabrik, serta bahan baku kerajinan. Terakhir arang untuk tujuan khusus, seperti barang untuk keperluan museum, konservasi alam, atau bencana nasional.
Selanjutnya juga terdapat beberapa jenis jasa yang dibebaskan dari PPN diantaranya Jasa Kesehatan, Jasa Pendidikan, Jasa sosial, Jasa keuangan, Jasa transportasi umum.
D. Inventaris Masalah Kebijakan PPN 12%
Pada 1 Januari 2025 mendatang, pemerintah akan resmi menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Hal ini telah sesuai secara UU, di mana kenaikan ini telah di amanatkan dalam UU HPP 2021.
Berikut daftar inventari masalah ketika PPN remi naik menjadi 12%
Beban pada Konsumen
Kenaikan tarif PPN akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, yang persentase pengeluarannya untuk konsumsi relatif lebih besar.
Tekanan pada Sektor UMKM
UMKM yang memiliki margin keuntungan tipis berpotensi kehilangan daya saing akibat penyesuaian harga. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan UMKM.
Efek Negatif pada Daya Beli
Kenaikan PPN berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang merupakan kontributor utama PDB Indonesia.
Peningkatan Beban Administrasi
Pengusaha kena pajak (PKP) menghadapi tantangan administrasi tambahan untuk memenuhi persyaratan pencatatan dan pelaporan yang lebih kompleks dengan tarif baru.
Resistensi dari Masyarakat
Kebijakan ini menghadapi penolakan dari elemen masyarakat yang menilai kenaikan tarif tidak adil, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Potensi Peningkatan Ekonomi Informal
Tarif pajak yang lebih tinggi dapat mendorong pelaku usaha untuk menghindari pajak dengan beralih ke sektor informal, yang sulit terpantau dan dikenakan pajak.
E. Insentif PPN
Insentif dalam konteks perpajakan, berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan aturan pelaksananya, merujuk pada perlakuan pajak preferensial yang diberikan oleh pemerintah untuk tujuan tertentu, seperti mendukung pertumbuhan ekonomi, merangsang investasi, atau meringankan beban pajak pada kelompok tertentu. Dasar hukum pemberian insentif PPN ada pada Pasal 16B UU PPN dan PP 49/2022.
Pemerintah mengeluarkan beberapa insentif diantaranya:
1. Insentif untuk Pelaku Usaha Besar
Dasar Hukum: Pasal 16B ayat (1) UU PPN dan PP 49/2022.
Ketentuan: Pembebasan PPN diberikan untuk kegiatan di kawasan tertentu, seperti zona ekonomi khusus, dan barang strategis, seperti mesin dan peralatan pabrik.
Analisis: Perusahaan besar dengan sumber daya lebih baik sering lebih mampu memenuhi syarat administratif dan memanfaatkan insentif kawasan khusus, dibandingkan UMKM yang lebih terkendala akses dan modal.
2. Fasilitas pada Jasa Keuangan dan Asuransi
Dasar Hukum: Pasal 4A ayat (3) UU PPN dan ketentuan PP 49/2022 tentang jasa keuangan dan asuransi.
Ketentuan: Jasa keuangan yang meliputi aktivitas menghimpun dana, pembiayaan, dan penjaminan tidak dikenai PPN. Demikian pula untuk jasa asuransi, meskipun jasa penunjang asuransi dikenai pajak.
Analisis: Kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi lebih sering menggunakan jasa ini (misalnya, investasi besar atau perlindungan aset), sehingga manfaat pembebasan PPN cenderung tidak dirasakan langsung oleh mayoritas masyarakat kecil.
3. Eksklusivitas Barang dan Jasa
Dasar Hukum: Pasal 16B ayat (1) UU PPN dan PP 49/2022 tentang pembebasan PPN untuk barang strategis.
Ketentuan: Barang strategis, seperti mesin industri dan bahan baku tertentu, dibebaskan dari PPN untuk mendukung proses produksi.
Analisis: Insentif ini lebih menguntungkan pelaku usaha besar di sektor industri mapan, karena barang-barang tersebut jarang digunakan langsung oleh masyarakat umum atau UMKM.
F. Dari mana uang insentif pajak?
Uang untuk insentif pajak sebenarnya bukan berasal dari dana yang dikumpulkan secara langsung, melainkan merupakan pengeluaran tidak langsung pemerintah (tax expenditures). Dalam konteks ini, insentif pajak berarti pemerintah mengorbankan potensi penerimaan pajak yang seharusnya didapatkan, untuk mencapai tujuan tertentu seperti mendorong investasi, mendukung sektor tertentu, atau membantu masyarakat.
Selain itu negara juga akan menggunakan penerimaan dari sumber pajak lain (seperti PPh atau pajak ekspor) untuk menutupi pengurangan penerimaan dari pajak yang diberi insentif.
Insentif dapat mengurangi pendapatan langsung negara. Jika tidak efektif, ini akan membebani keuangan negara tanpa manfaat nyata.
G. Rekomendasi
1. Jika tetap naik
Tujuan: Memastikan kenaikan tarif memberikan manfaat langsung kepada seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan.
a. Redistribusi Kenaikan PPN untuk Program Sosial
Gunakan tambahan penerimaan dari kenaikan PPN untuk mendanai program subsidi langsung:
Bantuan Langsung Tunai (BLT): Diberikan kepada kelompok berpenghasilan rendah sebagai kompensasi atas dampak kenaikan harga.
Subsidi Layanan Dasar: Pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum diberikan dengan biaya sangat rendah atau gratis.
b. Penghapusan PPN pada Kebutuhan Pokok dan Barang Strategis
Revisi daftar barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN, termasuk:
Semua kebutuhan pokok, seperti pangan, air bersih, dan listrik untuk rumah tangga kecil.
Barang strategis yang mendukung kesejahteraan masyarakat, seperti alat kesehatan dan pendidikan.
c. Perlindungan UMKM Melalui PPN Final
Terapkan tarif PPN final lebih rendah (misalnya, 1-3%) untuk UMKM dengan omzet di bawah ambang batas tertentu.
Berikan fasilitas pembebasan sementara bagi UMKM yang terdampak signifikan oleh kenaikan tarif.
d. Penyesuaian Bertahap
Naikkan tarif secara bertahap (misalnya, dari 11% ke 11,5%, lalu ke 12%) dalam 3-5 tahun, agar masyarakat dan pelaku usaha dapat menyesuaikan.
e. Transparansi Penggunaan Tambahan PPN
Publikasikan laporan tahunan yang menunjukkan bagaimana tambahan penerimaan dari kenaikan PPN digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Rekomendasi Agar PPN Tidak Jadi Naik
Tujuan: Mencari sumber penerimaan lain yang tidak memberatkan masyarakat luas.
a. Optimalisasi Basis Pajak
Perluas cakupan wajib pajak melalui digitalisasi dan integrasi data perpajakan.
Fokus pada sektor digital dan informal yang selama ini belum maksimal dikenai pajak.
Tingkatkan kepatuhan pajak dengan sistem insentif bagi wajib pajak patuh dan pengawasan ketat bagi penghindar pajak.
b. Efisiensi Belanja Pemerintah
Evaluasi dan potong anggaran program pemerintah yang tidak efektif atau rawan korupsi.
Gunakan penghematan untuk menutupi kebutuhan anggaran yang awalnya direncanakan dari kenaikan PPN.
c. Diversifikasi Sumber Penerimaan Pajak
Tingkatkan penerimaan pajak kekayaan (wealth tax), misalnya dengan memperketat aturan pajak properti mewah dan kendaraan bermotor premium.
Naikkan pajak barang mewah (PPnBM) secara selektif untuk sektor yang tidak berdampak langsung pada kebutuhan dasar masyarakat.
d. Tingkatkan Penerimaan dari Pajak Sektor SDA
Maksimalkan pajak dan royalti dari sektor sumber daya alam (minyak, gas, dan pertambangan) dengan memperbaiki tata kelola.
Hindari kebocoran penerimaan melalui renegosiasi kontrak yang lebih adil.
e. Tunda Kenaikan hingga Kondisi Ekonomi Stabil
Evaluasi dampak ekonomi pasca-pandemi, dan hanya pertimbangkan kenaikan PPN saat daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi mencapai tingkat optimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun