Kita semua tahu jika hutang Indonesia terus naik dan menjadi perhatian banyak orang. Utang negara kita sudah mencapai 6.947 triliun rupiah ditahun 2022, dari sebelumnya 4.800 triliun rupiah di tahun 2019. Banyak yang khawatir ini bisa menjadi masalah besar di masa depan. Bahkan jika dihitung-hitung menggunakan rumus utang per kapita, setiap warga Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, mereka sama saja mempunyai hutang sekitar 13 juta rupiah.
Tidak heran jika masyarakat menjadi panik dan skeptis soal masa depan ekonomi Indonesia. Tapi, jika kita melihat kondisi saat ini, sebenarnya tidak seburuk itu. Misalnya, pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 2018 sebanyak 146.858.759. Seratus juta diantaranya adalah kendaraan bermotor roda dua. Tahun 2017 rakyat indonesia mampu membeli 1.043.017 unit mobil baru. Ini menunjukkan daya beli masyarakat yang lumayan tinggi terhadap pembelian otomotif yang tergolong sebagai kebutuhan tersier.
Di zaman sekarang, banyak masyarakat cenderung ikut-ikutan pendapat orang lain tanpa benar-benar paham konteksnya. Ini sering jadi sumber keluhan yang nggak relevan. Akibatnya, muncul berbagai solusi dari masyarakat, termasuk ide-ide ekonomi yang terkesan radikal. Salah satu ide yang sering dibahas adalah mencetak uang sebagai solusi atas masalah utang. Beberapa orang berpikir Indonesia harus mencetak uang, seperti yang dilakukan negara-negara besar lain yang menerapkan Modern Monetary Theory (MMT). MMT, atau Modern Monetary Theory adalah sebuah teori ekonomi yang menyatakan bahwa sebuah negara yang memiliki kedaulatan atas mata uangnya sendiri (seperti Amerika Serikat dengan dolar AS) dapat mencetak uang sebanyak yang diperlukan untuk mendanai belanja pemerintah tanpa harus khawatir tentang defisit anggaran. secara sederhana, MMT adalah pendekatan yang lebih fleksibel terhadap kebijakan fiskal dan moneter, dengan fokus pada penggunaan belanja pemerintah untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial, tanpa terlalu khawatir tentang defisit anggaran selama inflasi dapat dikendalikan. Dalam konteks ini, pemerintah tentu memikirkan ulang dan bahkan tidak setuju dengan ide ini karena mencetak uang bisa memicu inflasi dan prosesnya juga sangat rumit. Dengan begitu, pemerintah lebih memilih untuk berhutang, meskipun ini juga membuat khawatir masyarakat.
Alasan utama pemerintah lebih memilih berhutang adalah karena dianggap lebih efisien. Prinsip ekonominya adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Berutang memungkinkan pemerintah mendapatkan modal tanpa harus mengorbankan apa-apa. Banyak negara maju seperti Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan punya utang besar, namun mereka tetap kuat secara ekonomi.
Walaupun hutang seringkali dikonotasikan sebagai kebijakan yang negatif dan beresiko, namun sebenarnya konsep hutang dalam konteks makro tidak sesederhana seperti hutang pribadi yang dimana kita memerlukan berhutang hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi, dan kemudian membayar hutang tersebut sesuai yang sudah disepakati sebelumnya. Bisa dikatakan jika hutang dalam bentuk pribadi ini adalah hutang People to People. Namun, dalam konteks hutang secara makro, negara memerlukan uang tersebut untuk memenuhi keseimbangan arus kas negara, perputaran ekonomi dalam masyarakat, stabilitas peredaran uang dan inflasi, serta berbagai urgensi pemerintah dalam meningkatkan belanja negara seperti pada saat covid-19 yang mengalami lonjakan hutang yang sangat signifikan untuk berbagai kebutuhan masyarakat yang terdampak.
Sumber hutang negara juga seringkali disalahpahami oleh masyarakat bahwa hutang tersebut bersumber dari negara asing atau IMF yang memberikan bunga yang besar dan lebih menguntungkan pihak debitur asing tersebut. Namun perlu difahami, sumber hutang negara justru didominasi dari penjualan Surat Berharga Negara (SBN). Surat Berharga Negara itu sendiri adalah instrumen utang yang diterbitkan oleh pemerintah untuk mendapatkan dana dari masyarakat dan investor. Konsep dasar SBN adalah pemerintah meminjam uang dari investor dengan janji untuk mengembalikan pokok pinjaman dan memberikan imbal hasil dalam bentuk bunga atau bagi hasil pada waktu yang telah ditentukan. Misalnya, pemerintah Indonesia ingin membiayai proyek pembangunan infrastruktur dengan dana sebesar Rp 10 triliun. Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan Obligasi Negara dengan tenor 5 tahun dan suku bunga tetap 6% per tahun. Setelah 5 tahun, pemerintah mengembalikan pokok pinjaman kepada pemegang obligasi. Dengan sistematika ini, pemerintah dapat mengumpulkan dana yang diperlukan untuk membiayai proyek, sementara investor atau masyarakat mendapatkan imbal hasil yang aman dan stabil. Secara umum, investor tersebut adalah masyarakat Indonesia sendiri sehingga menghasilkan sebuah siklus ekonomi dapat menggerakkan gerakan perputaran ekonomi secara sehat dan stabil.
Data diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2023. SBN dengan persentase 88,66% menjadikan instrumen tersebut terbesar dalam sumber hutang negara yang dimana 71,41% nya adalah SBN Domestik. Surat Berharga Negara (SBN) domestik adalah instrumen utang yang diterbitkan oleh pemerintah suatu negara dan dipasarkan kepada investor dalam negeri. Kemudian disusul oleh SBN Valas (instrumen utang yang diterbitkan oleh pemerintah dalam mata uang asing), yaitu sebesar 17,25% dan pinjaman sebesar 11,34% yang menjadikan instrumen tersebut sebagai instrumen terkecil pada sumber hutang negara. Konsep hutang yang seringkali dipahami oleh masyarakat adalah hutang dari negara asing yang padahal secara data statistik, hutang dari pinjaman luar negeri adalah yang terkecil bahkan tidak mencapai seperempat dari keseluruhannya.
Namun, yang lebih penting dari besarnya utang adalah bagaimana dan untuk apa hutang tersebut digunakan. Jika hutang dipakai untuk subsidi, bisa jadi masalah. Misalnya, subsidi BBM di Indonesia membuat pemerintah merugi besar karena harus menombok harga BBM yang dijual ke masyarakat. Subsidi ini juga membuat variabel masalah lain seperti kemacetan, polusi udara, dan meningkatnya biaya kesehatan. Pada tahun 2022 contohnya, pemerintah telah menetapkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp502,4 triliun. Total penerimaan APBN untuk tahun 2022 adalah Rp1.846,1 triliun, sehingga subsidi BBM ini mencapai 27,21% dari total APBN. Di 6 tahun sebelumnya, anggaran BBM mencapai 97,6 triliun. Dari angka tersebut menunjukkan betapa tingginya kenaikan anggaran untuk subsidi BBM.
Subsidi BBM sebesar ini dapat dianggap sebagai kerugian secara input saja karena adanya pengurangan jumlah total APBN atau penambahan alokasi dana pada pos tertentu. Dengan kata lain, Rp502,4 triliun atau 27,21% dari total APBN dialokasikan untuk subsidi BBM, yang dapat dilihat sebagai pengurangan dari anggaran yang dapat digunakan untuk pos lainnya.
Sedangkan kerugian output adalah hasil dari kegiatan subsidi tersebut. Kerugian-kerugian ini meliputi:
- Kerugian lingkungan akibat peningkatan emisi dan polusi.
- Kerugian kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara dan kecelakaan.
- Kerugian akibat kemacetan karena tingginya volume penggunaan transportasi pribadi.
- Biaya perbaikan dan renovasi jalan.
- Penambahan fasilitas jalan seperti flyover, underpass, dan lain-lain.
Bahkan, kerugian-kerugian tersebut diperkirakan mencapai lebih dari setengah dari total kerugian keseluruhan APBN, berdasarkan perhitungan kotor alokasi untuk perbaikan lingkungan, infrastruktur jalan, BPJS Kesehatan, alokasi PUPR, dan sebagainya.