Sore yang terik. Adzan ashar padahal sudah satu setangah jam berlalu. Bu Ida masih sibuk dengan Huda. Sungguh mengajari anak satu itu perlu kesabaran ekstra.
"naa shi ba huu..." tuntun bu Ida.
"na shii..baa.." Huda berpeluh.
bu Ida menggeser posisi duduknya, lebiih dekat kepada bocah itu. "naa, panjang Le, dua ketukan. Naa,... "
"naa shii baa huu" suara Huda menggetar. lengkap, semua jadi mad.
perjuangan Huda telah berlangsung limabelas menitan, namun dia masih berkutat dengan panjang pendek huruf nun pada baris ketiga.
di belakang Huda, teman-teman sebayanya yang belum mendapat giliran baca tampak gelisah. Cuaca sepanas itu tidak memungkinkan mereka menunggu sambil bermain di halaman langgar. Jadilah buku iqra' dipakai kipas-kipas. bukan hanya seorang, aksi kipas-kipas dengan buku iqra' terjadi berjamaah. menggelikan.
"panjang pendeknya Le, shad nya pendek, dilihat harakatnya ini lo..." terang bu Ida kembali.
dengan segala daya, "Naa, shi ba huu...", akhirnya Huda berhasil melafalkan sepotong kalimat dengan benar. Jamaah kipas-kipas menghela napas lega, meski harapan bahwa Huda bisa menyelesaikan baris keempat dan kelimanya harus dikemas dengan sabar. Kasak-kusuk mulai terdengar di belakang, ada yang terkekeh melihat Huda, ada yang garuk-garuk tidak punya ide mau menunggu dengan gaya apa.
Bagi bu Ida, Huda adalah tipe anak yang akan selalu ada dalam generasi santri ngaji dimanapun dan kapanpun. Adalah Lik Busro, yang tidak lain adalah paman Huda, dulunya mendapat sebutan anak setan dari para tetangga. Nakal bukan main, ngaji pun bebal bukan main. ketika teman-teman seusianya sudah iqra' enam menjelang Al Quran, Lik Busro pede dengan iqra' duanya. Ketika guru ngaji lain sudah angkat tangan dengan perangai Lik Busro, Bu Ida mencoba bersabar. selalu kata beliau, "batu sekeras apapun, kalau ditetesi air lama-lama berlubang juga." wa Subhanallah, siapa sangka siapa nyana, Lik Busro sekarang menjadi modin di usianya yang baru tigapuluh, selulusnya dari pesantren di Jombang.
Kupandangi sekumpulan anak-anak itu. Sore ini hanya sembilan orang yang mengaji di langgar. Suci, keponakanku, menjadi pendatang baru. Sejak dhuhur dia sudah mandi, merengek minta diantar ke langgar untuk mengaji. Teringat ketika seumuran Suci aku dan teman-teman sebayaku sering ramai-ramai berlarian ke langgar jika adzan ashar berkumandang. Setiap lewat rumah seorang teman, kami meneriakkan kode “Ji !!” singkatan dari ‘ngaji’, sebagai ajakan untuk bersiap jamaah ashar kemudian mengaji. Teman yang sudah siap akan menyahut “Ji !!” pula. Maka ramailah sore kampung kami dengan Ja Ji Ja Ji sana sini dan suara kecipak sandal jepit massal.