Korea Selatan) dan Republik Demokratik Korea (Korea Utara) seolah tak pernah berakhir, membawa dunia ke ambang perang nuklir. Bayang-bayang kehancuran massal tak hanya menghantui warga semenanjung, namun juga mengancam stabilitas global.
Semenanjung Korea, sebuah semenanjung yang terbelah, terus memanas. Aksi saling provokasi antara Republik Korea (Terbelahnya kedua Korea berawal dari kesepakatan antara Amerika Serikat dan Rusia di akhir Perang Dunia II. Zona demilitarisasi yang dikenal sebagai DMZ atau garis lintang 38 derajat membelah Korea Utara yang berada di bawah pengaruh Uni Soviet dan Korea Selatan di bawah pengaruh Amerika Serikat, sebagaimana ditulis Michael Wicaksono dalam buku berjudul "Perang Korea: Pertikaian Terpanjang Dua Saudara." Gencatan senjatan pada 1953 memang mengakhiri perang saudara yang berlangsung sejak 1950, namun perdamaian sejati tak kunjung tiba. Ketegangan antara kedua Korea justru semakin membara.
Ambisi nuklir Korea Utara menjadi salah satu pemicu utama ketegangan. Reaktor nuklir yang awalnya dibangun bersama Uni Soviet untuk tujuan penelitian di Yongbyeon pada 1965, kini berubah menjadi produksi senjata pemusnah masal yang mengancam kehidupan umat manusia. Berbagai uji coba yang dilakukan Korea Utara semakin meningkatkan kekhawatiran dunia.
Gemuruh ledakan nuklir pertama mengguncang Punggye-ri pada 9 Oktober 2006, menandai bermulanya babak baru ketegangan di Semenanjung Korea. Ledakan itu kembali terulang dalam uji coba kedua pada 25 Mei 2009 di Dangchang-ri dan uji coba ketiga pada 12 Februari 2013. Uji coba demi uji coba terus dilakukan pada 2016 dan 2017, menggetarkan dunia dengan kekuatan dahsyatnya.
Di tengah ancaman nuklir, Korea Selatan tak tinggal diam. Di bawah kepemimpinan Yoon Suk Yeol, negara ini semakin memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat dan Jepang. Latihan militer berskala besar digelar secara rutin, melibatkan ribuan personel dan berbagai aset militer canggih ketiga negara.
Eskalasi konflik di Semenanjung Korea terus berlanjut dan makin sulit dikendalikan. Keterlibatan negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, yang memiliki kepentingan berbeda, turut memperumit situasi dan seringkali membuat konflik semakin kompleks.
Ancaman Serius bagi Indonesia dan Dunia
Perang nuklir di Semenanjung Korea bukan lagi sekadar ancaman, tetapi kenyataan yang bisa terjadi kapan saja. Dampaknya bisa sangat luas dan merusak, tidak hanya mempengaruhi negara-negara yang terlibat langsung dan kawasan Asia Timur, tetapi juga seluruh dunia. Indonesia, meski jauh dari pusat konflik, tak luput dari ancamannya.
Paparan radiasi nuklir menjadi ancaman nyata tidak hanya bagi warga Korea, tetapi juga ribuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di negeri ginseng. Data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul pada 2023 mencatat ada sekitar 55.991 WNI yang tinggal di Korea Selatan, menjadikan mereka berisiko langsung terkena dampak radiasi jika perang nuklir terjadi. Jumlah WNI yang terdampak bakal bertambah besar jika dampak perang meluas hingga ke negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Jepang dan China.
Selain risiko kesehatan, perang nuklir juga akan memicu krisis ekonomi global yang parah. Negara-negara seperti Indonesia, yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan Asia Timur, akan merasakan dampak yang sangat signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$64,9 miliar atau 24,8 persen dari total ekspor Indonesia sebesar US$258,77 miliar. Jepang dan Korea Selatan juga menjadi mitra penting, dengan nilai ekspor masing-masing mencapai US$20,7 miliar dan US$10,3 miliar.
Di sektor investasi asing, China adalah investor terbesar kedua di Indonesia pada 2023, dengan nilai investasi mencapai US$7,4 miliar. Sementara itu, Jepang berinvestasi sebesar US$4,6 miliar dan Korea Selatan US$2,5 miliar, menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2023.