Mohon tunggu...
Zaki Rautsan
Zaki Rautsan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Peralihan Waris menjadi Wasiat Wajibah kepada Ahli Waris Murtad"

15 Desember 2024   00:21 Diperbarui: 15 Desember 2024   00:24 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hukum waris adalah aturan yang mengatur proses pemindahan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli warisnya. Aturan ini mencakup penentuan siapa saja yang berhak menerima warisan, serta jumlah bagian masing-masing ahli waris. Dengan demikian, pembagian warisan tidak dapat dilakukan sembarangan, baik oleh ahli waris maupun diberikan kepada pihak yang bukan ahli waris. Dalam hukum waris Islam, terdapat berbagai aspek yang diatur, termasuk sebab-sebab pewarisan, syarat-syarat pewarisan, rukun pewarisan, faktor-faktor yang dapat menghalangi ahli waris, pihak-pihak yang berhak menerima warisan, hingga pembagian harta warisan (faraid) dan lainnya. 

eseorang dapat mewariskan hartanya kepada ahli waris karena adanya hubungan perkawinan atau hubungan darah. Untuk dapat menerima warisan, syaratnya adalah pewaris telah meninggal dunia, baik secara nyata (haqiqi), menurut hukum (hukmy), maupun menurut dugaan (taqdiry), dan ahli waris masih hidup pada saat itu, baik secara nyata maupun dugaan. Namun, terdapat beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk menerima harta warisan. Faktor-faktor ini umumnya berasal dari ahli waris itu sendiri, seperti jika ahli waris pernah membunuh pewaris, memiliki perbedaan agama, masih berstatus sebagai budak, atau berasal dari negara yang berbeda. Salah satu penghalang utama adalah perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Dalam Islam, seseorang yang memilih untuk keluar dari agama Islam (murtad) tidak lagi memiliki hak untuk menerima warisan, meskipun sebelumnya ia beragama Islam. 

Bagi ahli waris yang telah murtad namun tetap ingin mendapatkan bagian dari harta peninggalan, dapat dilakukan melalui pemberian wasiat wajibah. Konsep ini adalah penyerahan harta secara sukarela dari pewaris kepada pihak tertentu setelah pewaris meninggal dunia. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), wasiat wajibah diatur khusus untuk kasus hubungan orang tua angkat dan anak angkat, di mana mereka dapat menerima bagian tertentu dari harta warisan selama nilainya tidak melebihi sepertiga dari total harta peninggalan. Meski demikian, penerapan wasiat wajibah bagi ahli waris yang murtad masih menjadi perdebatan dalam praktik hukum Islam. 

Dalam syariat Islam, wasiat diartikan sebagai pemberian secara sukarela berupa benda, piutang, harta, atau manfaat dari seseorang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hibah tersebut baru akan diterima oleh penerima wasiat setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Terkait dengan wasiat wajibah sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat beberapa unsur penting yang dapat diidentifikasi. Pertama, wasiat wajibah berlaku untuk hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat, baik dari orang tua angkat kepada anak angkat maupun sebaliknya. Kedua, wasiat wajibah tidak secara langsung dinyatakan oleh pewaris, melainkan ditetapkan oleh negara. Ketiga, bagian harta yang diterima melalui wasiat wajibah tidak boleh melebihi sepertiga dari total harta peninggalan, setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah dan pembayaran utang pewaris. 

Berdasarkan Pasal 209 KHI, secara eksplisit non-Muslim tidak memiliki hak untuk menerima wasiat wajibah. Namun, seorang hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum melalui analogi (argumentum peranalogium) untuk memperluas penerapan wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim. Analoginya didasarkan pada persamaan kondisi antara anak angkat dan ahli waris non-Muslim, di mana keduanya sama-sama tidak berhak menerima warisan secara langsung tetapi memiliki hubungan keluarga dengan pewaris. Dengan menggunakan kesamaan tersebut sebagai dasar, wasiat wajibah dapat diterapkan kepada ahli waris non-Muslim. Melalui perluasan ini, keputusan hakim tetap sejalan dengan pedoman hukum yang berlaku, meskipun dalam Pasal 171 huruf b dan c KHI disebutkan bahwa perbedaan agama menghalangi hak kewarisan antara pewaris dan ahli waris. Dengan mempertimbangkan keadilan, hakim melakukan kompromi yang memungkinkan ahli waris non-Muslim untuk tetap mendapatkan bagian harta warisan tanpa bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada.

Dalam praktiknya, setelah putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998, ahli waris non-Muslim dapat menerima harta peninggalan pewaris Muslim melalui mekanisme wasiat wajibah. Dalam kasus tersebut, seorang anak perempuan non-Muslim memperoleh bagian warisan dari orang tuanya yang Muslim sebesar bagian ahli waris anak perempuan Muslim. Hal ini membuka kemungkinan bagi ahli waris non-Muslim lainnya untuk memperoleh bagian warisan sesuai dengan kedudukannya terhadap pewaris melalui wasiat wajibah. 

Zaki Rautsan Fikri, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Program studi Hukum Keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun