Dominggus seorang petani pribumi. Maksud pribumi di sini, ia lahir dan besar di negeri seribu bukit, Sumba. Seperti petani kebanyakan, ia memiliki lahan peninggalan. Harta turun temurun. Pada lahan warisan tersebut, ia tanami padi. Selain itu, ia juga menggarap di lahan bekas kebun mete yang ditanami jagung bersama petani lainnya. Menurutnya, ada perusahaan yang menyediakan modal. Syaratnya cuma satu, hasil panen tidak boleh dijual ke pihak lain. Beberapa pohon mete masih ada, dijadikan semacam pembatas antara petak.
Dengan tutur yang terbata dan gurat wajah yang keras ia bilang, Tanamodu, kampung halaman-nya adalah desa yang subur. Apapun jenis tanaman akan tumbuh. Walaupun sumber air masih mengandalkan hujan. Sungai kecil yang mengalir dari desa Gallu Rangu setidaknya bisa dimanfaatkan ketika kemarau datang. Akan hal itu, ia dan sesama petani di Tanamodu bersyukur. Ketika ditanya bagaimana cara mensyukuri itu semua, Dominggus singkat menjawab, bekerja dan tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan. Bijak dan religiusitasnya kental. Tidak salah orang tuanya memberinya nama, Dominggus yang dalam bahasa Portugis memiliki padanan, “dia do Senhor”.
Tanamodu, di mana Dominggus tinggal adalah satu dari 5 titik lokasi Food Estate (FE) di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Komoditas utama adalah jagung, padi yang diintegrasikan dengan kelapa, jeruk dan sapi. FE merupakan program Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Bahkan FE termasuk Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020 hingga 2024.
Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian Tahun 2021 yang digelar di Istana Negara Jakarta, pada Senin, 11 Januari 2021, Presiden Joko Widodo mengatakan peningkatan skala ekonomi dan penerapan teknologi pertanian merupakan langkah utama pembangunan pertanian nasional yang harus segera ditempuh. Menurutnya, itulah cara-cara pembangunan yang harus dituju sehingga harga pokok produksinya bisa bersaing dengan harga komoditas yang sama dari negara-negara lain.
Pasca pidato Presiden Jokowi pada Rakernas itu, produktivitas dan daya saing hasil pertanian hangat diperbincangkan terutama pupuk dan kedelai yang mengalami kelangkaan. Kalaupun ada, khusus untuk kedelai harganya berlipat-lipat. Tapi, dari situ, masyarakat kemudian teredukasi. Literasi perihal postur anggaran untuk mendukung produksi pangan terbuka. sehingga dialektika, pro-kontra menyoal kedelai termasuk kebijakan pupuk bersubsidi tidak sekedar menyatakan rasa ketidakpuasan tapi lebih mencari titik temu, solusi.
Untuk Pupuk. Saban tahun, pemerintah sebenarnya menyiapkan anggaran subsidi pupuk bagi petani. Tapi, tentu tidak semua petani kebutuhan pupuknya bisa diakomodasi. Yang berhak mendapat jatah pupuk subsidi adalah petani yang tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) dan terdaftar pada sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) yang diinput oleh dinas pertanian propinsi/Kab/Kota dan mereka bertanggungjawab atas alokasi/relokasi di wilayahnya. Basis eRDKK ini adalah nomor induk kependudukan (NIK).
Di tahun 2021, pemerintah melakukan penyesuaian anggaran untuk subsidi pupuk sebesar Rp 25,2 triliun atau setara dengan 7,2 ton, mengalami penurunan Rp 4,6 triliun dibandingkan tahun 2020. Tidak sedikit pihak yang mengecam atas keputusan ini. Tapi banyak juga yang mendukung karena subsidi pupuk ini adalah satu dari sekian banyak subsidi yang diberikan terlebih di saat pandemi Covid-19. Mengenai alasan dan basis argumentasi pengurangan subsidi, sudah banyak para pejabat, perwakilan petani, akademisi dan ahli berpendapat.
Namun dalam rentang panjang perjalanan pembangunan pertanian, kita mungkin perlu menyegarkan kembali kepada hal-hal yang fundamental. Membaca kegelisahan Martin Khor, Aktivis lingkungan sekaligus Wartawan senior. Dalam bukunya, Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan, Martin mengingatkan, persoalan ekologi lainnya adalah menurunnya kesuburan tanah, polusi tanah dan sumber-sumber air oleh bahan-bahan kimia, keracunan pestisida dan gangguan hama yang disebabkan oleh meningkatnya imunitas hama atas pestisida.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimiawi secara terus menerus dengan dosisi tinggi menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Sehingga, yang mendesak sebetulnya adalah membincangkan bagaimana meningkatkan efisiensi pemupukan, yaitu mengelola pupuk secara tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kondisi lahan agar produktivitas tetap tinggi. Karena, pemberian pupuk pada tanaman yang “jor-joran” belum tentu hasilnya optimal.
Lantas, bagaimana urusan Kedelai. Saya coba mengulang pendapat para ahli. Tertulis di jurnal dan dimuat media massa. Bahwa minat petani untuk menanam kedelai, salah satu anggota kacang-kacangan yang memiliki kandungan protein nabati yang paling tinggi bisa dikatakan kurang. Pasalnya, dibandingkan jagung dan padi, usahatani kedelai kurang kompetitif dan ini menjadi salah satu penyebab produksi kedelai nasional terus menurun. Pada tahun 2020 produksi kedelai sekitar 348 ribu ton, lebih rendah dibandingkan tahun 2019 yang mencapai sekitar 424 ribu ton. Padahal, kebutuhan nasional cukup besar. Sebetulnya, pasar internasional kedelai edamame cukup potensial, seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.