Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wisuda TK, Gontor dan Mimpi

21 Mei 2017   06:44 Diperbarui: 14 Agustus 2017   01:19 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisuda TK, Gontor dan Mimpi
Oleh: Zaki Mubarak

Bagi keluarga kami, kemarin adalah hari yang istimewa. Anak kami yang cikal memakai baju wisuda biru yang tak kalah kerennya ketika ayahnya wisuda enam tahun yang lalu. Dalam dimensi pikiran orang tua, saat itu terbersit beberapa pikiran yang terus mengganggu. Mau jadi apa ia kelak? Mau dimana belajarnya ia kelak? Pendidikan seperti apa yang harus ia ikuti kelak?. Pikiran ini kadang melampaui rangkaian takdir yang sudah didesain sempurna di lauhil Mahfudz.

Sebenarnya, saya kecewa. Saat wisuda putra pertama saya itu, seperti biasa saya harus berangkat mengajar di program magister. Jadi saya minta istri untuk mem-video seluruh penampilan yang berhubungan dengan dia dan adiknya. Saya melihat keceriaan yang mendalam dalam tarian India yang menggelikan. Saya bangga melihat tampilan mereka tentang hafalan surat pendek yang setiap magrib kami latihkan. Kami juga sedih, karena betapa saya tidak tahu apakah bisa mendidik mereka dengan baik atau tidak. Paling tidak apakah ke”sukses”an orang tua kami mendidik hingga sekarang bisa menular kepada anak kami. Saya harus mencari inspirasi.

Ketika makan siang kemarin, saya mendapatkan inspirasi yang luar biasa. Setiap minggu saya botram (makan bersama) di sebuah rumah makan bersama seorang guru besar dan kolega lainnya. Guru besar yang pernah menjabat rektor di universitas Islam terbesar di Jawa Barat itu memiliki tampilan unik dan tidak wah. Mungkin bagi orang belum kenal, tidak akan menyangka bahwa ia seorang professor. Ia bercerita panjang lebar kesana kemari.

Sambil menunjukan Handphone Galaxy nya, ia bacakan WhatsApp (WA) anaknya yang sedang belajar di Maroko dan Francis. Dengan kalimat yang kurang dimengerti karena menggunakan bahasa Spanyol, saya paham bahwa intinya Anak beliau memberitahu bahwa ia telah berhasil membuat kamus bahasa Indonesia-Francis-Spanyol dengan dua pilihan menggunakan aplikasi android atau paper. Luar biasa. Dua tahun yang lalu, kami mengobrolkan anak ini sepulang dari pesantren Gontor Ponororogo dan saat itu pulalah awal planning untuk men-dunia-kan tempat belajar anak. Dan kini, dua tahun yang singkat itu, anak beliau sudah jadi hebat.

Hebat karena anaknya bermetamorfosis melebihi sang ayah. Ia mampu menjadi pendamping Menteri Agama ketika ke Timur tengah dan Francis, pendamping gurunya yang di Gontor untuk ditemua kafilah Eropa datang ke Indonesia, Ia menjadi motor penggerak untuk Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di timur tengah dan sebagian Eropa. Ia hebat. Benar-benar hebat.

Cerita kedua adalah anak perempuan profesor ini. Hari ini adalah hari kedua anak beliau untuk tinggal dirumahnya. Dua hari yang lalu ia pulang dari pesantren Gontor (PG). Kehebatan anak ini adalah bisa melompat dari kelas pendidikan melalui akselerasi karena kecerdasannya. Kelulusannya telah menyamai kakak seniornya di PG sehingga ia memiliki tabungan usia tiga tahun untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Apa yang ia minta dari orang tuanya?. Ia minta untuk dikirim ke Makasar untuk menjadi Hafidz (penghapa Al Qur’an) sebelum berangkat kuliah ke luar negeri.

Dari rangkaian cerita itu, saya iri kepada guru saya yang satu ini. Sudah beliau menjadi guru besar di usia muda, eh sekarang memiliki anak yang melebihi bapaknya. Saya melihat ada banyak variabel dalam memahami keluarga hebat ini. Bila itu diteliti dengan pendekatan kuantitatif asosiatif dengan analisis jalur, maka ada tiga variabel; (1) variabel endogennya adalah upaya pendidikan orang tua beliau yang telah bersusah payah menyekolahkan anaknya. Saya sempat ngobrol bahwa orang tua beliau adalah orang tua yang kurang mampu, bahkan keluarga kakak dan adiknya pun bisa digolongkan kurang beruntung. (2) variabel moderatornya adalah pendidikan pesantren Gontor yang telah mengantarkan anaknya meraih apa yang dicita-citakan. PG inilah variabe yang menjadi antara kesuksesan orang tuanya dan anaknya. (3) variabel eksogennya adalah kesuksesan anaknya yang luar biasa di manapun berada. Walaupun banyak variabel yang bisa diteliti, tapi sepertinya variabel itu sedikit berpengaruh karena hanya menjadi variabel Epsilon.

Dengan begitu, saya jadi berpikir. Saat itu anak saya di wisuda PAUD yang saya tidak ikuti, dan di sisi lainnya saya bertemu dengan orang yang mengobrolkan masa depan anak. Nah, saya harus berpikir keras untuk paling tidak menyamai prestasi guru besar yang satu ini. Walaupun, bagi saya itu adalah mimpi. Tapi, inovasi besar yang lahir kedunia ini pasti berawal dari mimpi. Iya, kan? Iya sajalah. Jadi, saya melihat ada relasi wisuda TK (untuk mengganti PAUD dan pra-sekolah lainnya, karena lebih mudah dipahami), PG dan mimpi. Saya akan coba bahas secara sederhana.

Wisuda TK, apakah benar diwisuda?. Bagi kalangan perguruan tinggi, wisuda adalah proses terakhir dan pengakuan terselesainya acara perkuliahan. Dengan wisuda, maka mahasiswa menunjukan kemampuan melewati proses akademiknya yang berliku. Selembar ijazah bisa dijadikan bukti dan penjamin kehidupannya kelak. Wisuda adalah sakral dan menjadi gerbang mahasiswa untuk berkarya, mencipta dan berkehidupan mandiri. Di SD, SMP dan SMA, setiap lulus tidak diwisuda. Kenapa? Karena akumulasi pendidikan dari dasar, menengah dan perguruan tinggi itu diakui hanya pada saat wisuda. Pendeknya wisuda itu pengakuan semua rangkaian pendidikan selama hidupnya.

Lho, jadi wisuda TK untuk apa?. Dalam dimensi yang serius, wisuda ini sangat berlebihan. Hal ini serupa dengan lulusan SMP Qoryah Thoyyibah, sekolah alternatif hebat di Salatiga, yang memilki syarat kelulusan untuk menulis desertasi. Bila siswa sudah membuat sebuah produk dan tulisan desertasi, maka dia berhak lulus SMP. Kan aneh? Desertasi itu karya ilmiah yang tinggi untuk mendapatkan doktor (untuk Indonesia, karena di Australia disertasi untuk S2, Tesis untuk S3). Ada semacam desakralisasi istilah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun