Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

UN vs Authentic Assessment, Rancunya Pendidikan di Negeri Ini

5 Mei 2017   07:06 Diperbarui: 5 Mei 2017   08:49 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

UN vs Authentic Assessment, Rancunya Pendidikan di Negeri Ini
Oleh: Zaki Mubarak

Ujian (Akhir) Nasional (UN, UAN) hadir dalam pendidikan kita sejak ditawarkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bambang Soedibyo, menteri saat itu, membawa penyegaran baru dalam dunia persekolahan kita melalui perubahan dari kurikulum yang menekankan isi (content-based) kepada penekanan kompetensi (competency-based). Kompetensi adalah seperangkat kemampuan yang harus dikuasai siswa secara terukur (measurable), terlihat (observable) dan terstandarkan. “Standar” adalah terminologi paling pokok dalam kompetensi, karena Ia menjadi alat ukur yang paling sacral dalam kompetensi. Standar dapat dihitung berdasarkan kriteria-kriteria yang dibangun secara konseptual dan operasional yang di dalam istilah lesson plan kita disebut “indicator”: ayat, tanda, ciri. Standar dikategorikan menjadi sebuah test yang rigid dengan nama Criterian-refenced test (CRT) bukan Norm-refenced test (NRT). CRT tidak kompromi dengan normalitas data, namun dia berpatokan pada standar yang diinginkan, jika hasilnya jelek maka jelek pulalah hasilnya, walaupun jumlah jeleknya adalah 90% dari jumlah keseluruhan testee (yang ditest, siswa), itu bukan urusan. Pendeknya tidak ada rasa kemanusiaan di dalamnya, benar-benar mesin sentris, karena ukurannya adalah kriteria bukan subjektifitas tester (penguji). Berbeda dengan CRT, NRT lebih melihat norma test yang berlaku dalam sebuah kelas, dia mempertimbangkan normalitas data dan inferensiaal data melalui tendensi sentral yang terukur. NRT berlaku ranking dalam kelas, sedangkan CRT lebih kepada skor tertinggi-terendah. Contoh CRT seperti proficiency test, sedangkan NRT seperti routine test. Saya yakin Anda bingung membacanya. Ya, kan? Teoritis dan banyak istilah yang ga mudah dipahami bagi Anda sang pemula dalam evaluasi. Tidak apa, ga usah Baper. Keep smile aja.

Jadi, UN itu CRT dan sangat kaku dengan menggunakan indicator-indikator yang dirumuskan sebelumnya tanpa mempertimbangkan aspek norma subjektif dan sangat robotik. Bila KBK dilakukan, maka UN wajib dilaksanakan, karena kompetensi adalah upaya mencapai standar-standar yang diinginkan. Untuk itu, lahirlah standar-standar pendidikan yang delapan (di Dikdasmen) dan tujuh (di Pendidikan Tinggi). Untuk kasus kurikulum kini, Indonesia memiliki pendekatan yang berbeda. Ada perbedaan 180 derajat dari konsep KBK dengan keharusan implmentasi kurikulum saat ini. Saya berprasangka ada upaya sistematis untuk memasukan ide KBK dalam kurikulum kita kali ini, seperti tambal sulam, yang dalam istilah fikih disebut talfiq. Mengambil yang menguntungkan dengan mengabaikan prinsip dari sebuah konsep yang mendasarinya. Bila ada kontradiksi, itu bukan masalah, abaikan saja. Ini bagaikan kita menikah dengan janda, beli satu dapat tiga. Banyak masalah yang ada, tapi bila merasa damai tidak apa, asal benar-benar kuat.

Saya harus menginformasikan sejarah UN terlebih dahulu agar Anda paham kenapa perlu UN di Indonesia. Prof. Jahya Umar, guru dan master evaluasi yang menjadi mentor saya dalam statistic dalam sebuah program short course tiga bulanan di Jakarta, bercerita bagaimana UN ini bisa menahan serangan bertubi-tubi dari para antagonisnya. Sebenarnya ada actor yang keukeuh UN harus dilaksanakan di Indonesia, dengan segala resikonya. Dia adalah Jusuf Kalla (JK). Wakil presiden saat itu (dan juga saat ini) telah memerintahkan semua lembaga pendidikan untuk patuh dilaksanakannya UN. Alasannya sederhana, bagaimana Indonesia bisa maju pendidikannya, bila kita tidak tahu evaluasinya, bila kita tidak punya target skor standar yang diinginkan untuk mengejar negara maju (OECD), bila kita tidak memiliki instrument menggerakan semua elemen bangsa untuk berpikir tentang kemajuan pendidikan. JK hebat. Dia benar, dengan UN semua elemen bangsa berpikir tentang pendidikan. Saat bulan Mei tiba, semua elemen berpikir dan was-was tentang pendidikan kita, siswa stress takut tidak lulus, orang tua khawatir bila anaknya tidak lulus, guru pun gelisah anak didiknya tidak lulus, kepala sekolah pun tidak enak tidur takut siswanya tidak lulus, kepala diknas pun galau takut di sekolah di wilayahnya tidak lulus, Bupati Walikota pun merana jika sekolah di daerahnya tidak lulus dan menteri pun demikian, ingin Anak Indonesia lulus semua. Semua orang merasa gegana (gelisah galau merana) menghadapi UN. Semua cara dilakukan untuk menghindari ketidak lulusan siswa, rasa malu orang tua, harga diri guru dan kepala sekolah, dan gengsinya para kepala daerah dan jajarannya. Pengayaan tingkat akhir menjadi kebutuhan bahkan menjadi penganiyayaan, Bimbel berjubel, dan parahnya, untuk memotong kompas kesuksesan terjadi persekongkolan untuk menghalalkan penipuan dan kecurangan. Saya kira, saat itu malaikat Atid sibuk untuk menuliskan amal-amal persekongkolan ini dan para Iblis pun berpesta pora atas tertidasnya kaum malaikat. Entahlah. Hal ini terus berlanjut walaupun KBK berubah wujud menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara konseptual anti-UN. Tapi dengan serta merta, pemerintah dengan kekuasaannya memaksa semua sekolah untuk melanggar prinsip KTSP dan tetap pro-UN. Singa dipaksa makan rumput.

Masalahnya, saat ini sedang berjalan Kurikulum 2013 (K13). K13 adalah kurikulum yang dalam bingkainya masih menggunakan istilah istilah KBK terutama nomenklatur standar. Permen 20 – 24 menunjukan bagaimana standar ini wajib hadir didalam ruang kelas; standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses dan standar penilaian. Rancunya dalam standar penilaian dan standar proses, format pembelajaran menggunakan Scientific Approach (SA) yang linier dengan evaluasinya yang berbentuk Authentic Assessment (AA). Di sinilah pangkal kerancuannya. Bila kita konsisten dengan AA, maka UN bukanlah satu-satunya judgement untuk hasil belajar siswa. SA menginginkan manusia Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif dan kritis. Dalam konteks UN, empat hal tadi tidak bisa diukur dengan UN. Sebaliknya AA sangat linier dengan empat keinginan K13. AA adalah katalisator untuk menjadikan sekolah sebagai lembaga yang melahirkan produktifitas, kreatifitas, dan inovasi siswa serta dapat mengkritisi setiap hal yang terjadi dalam kehidupan. AA adalah sebuah gelas yang bisa diisi kopi, teh, susu, atau tuak sekalipun. UN bagaikan Botol Aqua di isi teh yang cokelat itu, kan lucu. Terlihat kampungannya. Jadi ada ketidak konsistenan antara UN dalam K13, yakni belajar dengan SA yang lentur, humanis, out of the box, kontekstual dan menggairahkan diuji dengan UN yang rigid, robotic, in the box, tekstual dan menstreskan. Saya melihat sudah ada kesadaran pemerintah untuk merubah sistem UN menjadi satu-satunya instrument kelulusan, mulai dari M. Nuh, Anies, sampai Muhajir Effendi. UN berbasisk computer (UNBK) dengan segala kemampuannya dapat mampu menjawab sebagian kerancuan tadi, walaupun agak sedikit menjawab berabagai masalah fundamental dalam teori dan konsep yang dijalankannya.

Untuk membahasa AA, saya akan bahas di kemudian hari. AA menurut saya adalah bentuk assessment yang luar biasa, model-model yang variatif seperti; Nonverbal response, oral interview, role-play, written narrative, presentation, students-teacher presentation, self-assessment, dialogue journal, peer and group assessment, portfolio, dan lainnya. Teknik assessment ini sangat memungkinkan guru untuk berkreasi dalam bingkai AA. Namun syaratnya guru harus mampu. Mampu menggerakan siswa untuk berinovasi, mampu menyemangati siswa untuk berkreasi, mampu menyelesaikan masalah bersama untuk produktif, dan mampu menginspirasi siswa untuk menjadi mereka lebih hebat.

Agar berdamai dengan kerancuan dalam pendidikan karena vis a vis nya UN dan AA, mari kita merenung. Apakah yang merumuskan pendidikan kita adalah orang pendidikan atau hanya orang yang memiliki akses kepada penguasa sehingga seenak udel untuk merumuskan assessment? Kalau orang pendidikan, Apakah dengan ini mereka mau mengintegrasikan penilaian berbasis proses dengan berbasis hasil (summative) dalam kerangka sekaligus? Bila benar, sudah dilatihkah guru untuk paham tentang pengintegrasian itu? Kalau belum, Anda sudah dholim kepada para guru. Mereka selalu yang disalahkan. Dan tahu tidak, yang paling gegana dan nano-nano dalam urusan UN adalah para guru. Itu pun kalau Anda percaya.[]

Selamat melaksanan UNBK. Bumilestari
5/5/17

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun