Pesantren Daarut Tauhid, Surga Kuliner dan Ibu Pemulung
Oleh: Zaki Mubarak
Di malam keempat Ramadhan ini, saya sedang mencoba merenda kehidupan masa lalu di sebuah lingkungan tempat saya belajar, Geger Kalong Bandung. Tahun 2000an tempat ini sangat terkenal menjadi destinasi wisata reliji. Aa Gym sebagai tokoh sentral di Pondok Pesantren Daarut Tauhid (DT) telah membawa Geger Kalong menjadi lebih terkenal. Sebenarnya, tempat ini telah terkenal sebelum kemunculan tokoh Aa Gym, karena di tempat inilah berdiri sebuah kampus besar IKIP Bandung yang belakangan bermetamorfosis menjadi Universitas Pendidikan Bandung (UPI). Dengan dua institusi yang hebat ini, Gegerkalong dan sekitarnya menjadi surga kuliner, baik bagi mahasiswa, santri, masyarakat maupun tamu.
Tulisan ini akan akan sedikit menggambarkan kondisi DT dan surga kuliner dimaksud, dengan dibumbui oleh temuan penulis pada malam ini tentang seorang ibu pemulung. Ketiga pihak ini akan dibahasa secara deskriptif dan akan mencoba mencari benang merah diantara hubungan ketiganya. Di samping menarik benang merah, saya juga berkepentingan untuk menumpahkan kegelisahan hati atas ketidak adilah hidup bagi si Ibu pemulung ini.
Pertama DT sebagai pesantren unik. Awal tahun 2001 saya berkunjung ke DT karena faktor keterkenalan Aa Gym yang bersahaja. Dengan gaya sunda yang sederhana, Aa Gym mampu menggerakan saya dan mahasiswa lainnya untuk berkunjung dalam wisata rohani. Saat itu, Manajemen Qolbu (MQ) yang Aa Gym bangun telah memoles Geger Kalong (GK) sebagai tempat bersih, tujuan wisata rohani, dan pusat kegiatan masyarakat. Penduduk sekitar sangat antusias akan fenomena ini dan menjadikan GK sebagai pusat bisnis kuliner.
Saat kejadian poligami menimpa Aa Gym, semua media menggoreng isu ini dan menjadikan DT sebagai tempat yang di”benci” ibu-ibu. Keinginan Teh Ninih (istri tua sekaligus istri muda Aa Gym) meminta cerai juga menjadi kejadian heroik ibu-ibu atas empati terhadap istri pertama Aa Gym itu. Seperti dikomando, DT akhirnya tidak jadi tempat destinasi wisata reliji lagi, kemudian ibu-ibu pengajian sepertinya beralih kepada Ustad Yusuf Mansur atau kepada Ustadz Aripin Ilham, atau ustadz lainnya. Walaupun tidak ada yang bisa menandingi kekhasan Aa Gym.
Namun, saya tahu bahwa DT bukanlah pesantren tradisional yang mendudukan tokoh sentral sebagai motor organisasi. DT adalah pesantren yang telah bermetamorfosis menjadi pesantren yang dikelola dengan cara modern (bukan pesantren modern ala derivasi dari pesantren Gontor). Ia “menjual” program dan menjalankan sistem organisasi tanpa harus tergantung kepada tokoh sentral. Secara perlahan namun pasti, DT tetap membangun dan Aa Gym pun secara perlahan “nama besar”nya kemabali cemerlang. Terutama saat fenomena Aksi Bela Islam I-III. Aa Gym dengan caranya, telah memantik simpati ummat dan berakhir kepada simpati dan melupakan kasus poligami yang dibenci ibu-ibu itu.
Malam ini, saya melihat DT begitu beda. Setelah beberapa bulan mesjid DT mengalami rehab dan semakin luas, mesjid itu semakin keren. Mesjid yang pinggir jalan nyaris tanpa halaman itu semakin nyaman disinggahi. Dulu lantainya keramik bermotif kayu tanpa karpet, kemudian di lapisi karpet dan sekarang karpetnya luar biasa empuknya. Saya merasa karpet dan motifnya mirif dengan Masjid Nabawi di Medinah, seperti yang saya rasakan 3 tahun lalu. Di serambi mesjid sekarang ada semacam kaligrafi indah yang saya bisa menerka kemungkinan besar sama atau mirif atau jangan-jangan bekas dari Ka’bah di mesjid Baitulloh Mekkah. Entahlah. Kalau itu benar, berarti mesjid ini hebat. Namun ada yang sedikit saya kaget, di atas serambi ada LCD besar berukuran sekitar lebih kurang 4 X 3 meter sebagai alat bantu mustami di belakang yang tidak bisa melihat muballig berucap. Ini luar biasa. Ingatan saya langsung kepada LCD besar di pinggir jalan di negeri ini yang biasa jadi tempat iklan, terutama iklan rokok.
Seperti yang dulu saya rasakan, sholat dan mengaji di mesjid itu khusu dan menenangkan. Adzan yang menyayat hati, qiroat sholat yang merdu dengan sound system yang jernih, dan jemaah yang disiplin, membuat saya kangen untuk terus ibadah di sini. Setiap Ramadhan banyak program yang membantu kita untuk meraih kemenangan di mesjid ini, terutama peringatan kita untuk segera berinfak dan berwakaf. Mesjid ini menurut saya mesjid yang menentramkan ketiga setelah Baitulloh dan Nabawi di Arab sana. Entahlah. Mungkin saya harus banyak keliling lagi di mesjid lain agar tidak terlalu subjektif memandang mesjid DT ini.
Kedua Surga kuliner GK adalah yang terlengkap. Saya pernah bertanya kepada teman Australi tentang hidup di sana. Ternyata jika ia bandingkan dengan hidup di Bandung, beda jauh antar bumi dan langit. Indonesia, menurut ia, adalah surga. Ingin baso saja ada yang keliling depan rumah, jam berapa saja. Ia ingin makan tinggal nunggu pedagang yang lewat. Di Australia, itu bukan hal yang lumrah. Jika orang ingin makan enak, maka ia harus pergi ke mall yang mahal dan mengantri dengan disiplin. Bila itu tidak diinginkan, maka ia harus mengisi freezer (kulkas) nya dengan bahan makanan yang banyak. Untuk makan enak ia perlu memasak dulu dan itu membutuhkan keringat yang lebih. Indonesia beda, ia surganya makanan. Apa saja ada di Indonesia, murah dan mudah.
Nah, GK adalah salah satu surga kuliner yang dimaksud oleh si Australi tadi. GK memiliki berbagai kuliner yang lengkap, dari mulai makanan internasional macam “pizza” sampai makanan khas sunda Cilok dengan segala rasa spesialnya, dari mulai gorengan sampai sayuran, dari mulai kelontongan sampai warteg pecandu mahasiswa. Bukan saja enak, surga kuliner ini menyajikan makanan murah khas mahasiswa. Pokoknya, bila perut anda keroncongan kapan saja, tinggal datang ke tempat ini, maka makanan apapun akan anda temui. Untuk kasus dini hari, mereka tutup kecuali para penjual nasi goreng yang berseliweran mencari mahasiswa yang bergentayangan kelaparan.
Saya mengira, surga kuliner GK ini memiliki omset jutaan tiap harinya bahkan mungkin miliaran. Di samping makanan, di sana pun berjajar toko pakaian, hotel, penginapan dan perusahaan jasa lainnya. Mereka saling melengkapi satu sama lainnya sehingga keberadaannya dipandang sebagai kolaborasi ekonomi ummat. Untuk urusan perut ada jajanan kuliner, untuk urusan badan ada toko pakaian, untuk urusan tugas kuliah ada mesin foto kopi dan alat tulis dan untuk urusan tamu luar kota ada hotel. Klop sudah jalur GK ini menjadi pusat ekonomi yang menyokong DT dan UPI sebagai pusat kehidupan manusia dan dunia pendidikan.