Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan itu, Proses atau Hasil?

6 Mei 2017   06:46 Diperbarui: 6 Mei 2017   08:49 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan itu, Proses atau Hasil?
Oleh: Zaki Mubarak

Berpikir tentang apakah pendidikan itu proses atau hasil memang sulit menjawabnya. Orang yang menyerah pasti akan bilang proses dan hasil. Kesulitan ini seperti menjawab pertanyaan klasik, duluan mana ayam dan telor?. Kalau jawabannya telor, maka siapa yang melahirkan telor, kalau ayam dulu, darimana ayam berasal? Bingungkan?. Baguslah kalau bingung, berarti anda sama saya masih normal. Saya akan berikan jawaban kunci untuk pertanyaan hebat tadi. Bila yang ditanya menjawab ayam dulu, maka Anda harus bilang salah. Kenapa? karena bila anda mau makan, pasti bilangnya ingin makan sama “telor ayam” jadi siapa yang duluan disebut?. Nah, bila yang menjawab telor duluan, maka Anda pun bilang salah, karena jika telor dan ayam di simpan berjajar untuk ikutan balap marathon, maka ketika peluit ditiup, siapa yang duluan nyampai? Ayam kan?. Kalau Anda paham berarti Anda sudah belajar makna dari sebuah alasan. Jawaban apapun itu baik, asal alasannya logis, berterima dan yang paling penting cara penyampainannya yang strategic sehingga dapat klepek klepek yang mendengarnya.

Ini bukan tentang ayam dan telor, ini tentang pendidikan. Ada perihal yang sama antar pendidikan sebagai proses-hasil dengan ayam-telor, sama-sama debatable. Lumrah diperdebatkan. Untuk itu, saya harus mencoba memilih dan berargumen untuk menguatkan pilihan saya. Silahkan Anda memilih. Ini seperti saya dulu sebagai pemuda yang harus memilih dua gadis cuantik untuk dinikahi. Sama-sama ranum, sama-sama soleha, tapi tidak boleh di dua. Walau bingung, saya harus cari alasan untuk menikahi satu wanita saja, walau ketakutan salah memilih itu ada. Jadi saya akan memilih, apakah pendidikan itu proses atau hasil? Saya putuskan dengan seputus-putusnya bahwa pendidikan itu adalah hasil. Kok iso yoh?

Alasan pertama, saya dijejali oleh adagium hebat dan bermakna dalam. Pendidikan itu “lifelong education”. Pendidikan sepanjang hayat. Bukan “long life education”, karena maknanya beda, yakni pendidikan yang lama, itu mah buat mereka yang kuliah S3 ga tamat-tamat (mohon maaf yang tersinggung, Anda memang pantas disinggung). Bukan tipe saya, sory yah. Jadi menggunakan adagium belajar sepanjang hayat adalah bagimana pendidikan itu menjadi sebuah proses yang tidak berhenti. Jika orang merasa sudah hebat, sudah lulus S3 (padahal Samsung sedang kuliah di S9 setelah kemarin wisuda S8 dan S8+) merasa selesai, sudah jadi guru tidak mau jadi murid, sudah jadi kyai tidak mau jadi santri, sudah jadi rector tidak mau jadi staff, maka prinsip belajar sepanjang hayat telah mati ti tubuhnya. Istilah agamanya telah takabur. Karena dalam agama adagiumnya, “tholabul ilmi, minal mahdi ila lahdi” mencari ilmu itu mulai buaian ibu (bagi yang punya, atau pembantu bila ibunya brengsek) sampai liang lahat (bagi muslim, yang lain bisa box, bisa abu kremasi, atau balsem ala firaun). Ketakaburan seseorang dalam mencari ilmu akan menutup hati seseorang dalam menerima pendapat dan ilmu baru. Kan tragis, bila seorang bapak lahir pada generasi kapur-bor yang tidak mau menerima laptop-projektor sebagai media belajar. Dia keukeuh bahwa yang benar itu kapur bukan laptop. Yang hebat itu hanya buku jaman 80an. Aduh plis deh, ini abad 21 pak. Ini bukan masalah paling benar atau paling hebat, ini adalah masalah tahu atau tidak perkembangan, ini masalah terampil atau tidak, ini masalah belajar dan belajar. Jadi bila kita memaksa orang lain dengan menyesakkan ilmu kita tanpa kita memperbaharui ilmu kita yang baru, bisa jadi itu biangnya dhollun wa mudillun. Sesat dan menyesatkan. Kan ngeri yah!. Mari kita belajar pada Samsung, Apple, Xiaomi, Huawei, walau kemarin wisuda di S8 (atau jurusan lainnya seperi Mi Mix) sudah daftar lagi di S9. Hebat sekali, luar biasa. Masa kita kalah sama Samsung dan belagu karena sudah lulus S2.

Alasan kedua, hasil pendidikan itu tidak ada. Saya belum menemukan orang yang sudah selesai kuliah lalu hidupnya selesai. Masalahnya tuntas. Ujiannya kholas. Tidak. Jika ada, tunjukan kepada saya siapa yang sudah selesai di lembaga pendidikan dan merasa tuntas pendidikannya, lalu hidupnya sejahtera, tanpa masalah, tanpa ujian, tanpa kekhilafan, tanpa kesalahan, tanpa dosa, dan tanpa-tanpa yang lainnya. Kalau ada saya akan kasih anda gelas berwana merah. Saya yakin hasil (buah) pendidikan itu adalah setelah kita mengahiri proses pendidikan, yaitu hidup itu sendiri. Seberapa besar hebatnya pendidikan kita, maka akan terasa manakala telah tiada. Anda tahu betapa besarnya Imam Assyafi’I, Al Ghozali, Plato, Bloom, Piaget, dan tokoh besar lainnya yang mewariskan ilmu kehidupan. Ketika beliau masih hidup, biasa saja. Gusdur ketika hidup tidak special untuk semua orang, hanya pasukan berani mati saja yang mengkultuskan. Namun sejak ketiadaannya, ilmunya, marwahnya, pemikirannya dan “kebenarannya” ditunggu dan dirindu. Jadi, saya meyakini pendidikan itu adalah hidup. Pendidikan itu adalah proses hidup yang berliku. Semua komponen kehidupan saling memberi tahu, saling belajar, saling mengajarkan dan saling menguji. Bila kita lulus pendidikan, maka kualitas hidup itu dievaluasi oleh Sang Maha Adil, yang tidak pernah disogok untuk meluluskan, yang tidak pernah koruptif untuk membuat soal, yang tak pernah menjual jawaban soal, yang tak pernah neko-neko untuk membikin stress anak, yang arrohman, yang arrohim. Jelas sudah, evaluasi itu adalah yaumul hisab dan output itu sirotol mustaqim sedangkan outcomenya adalah surga-neraka. Silahkan pilih, terserah Anda. Kalau saya menjadi Anda, saya akan bertanya dulu kepada yang lebih tahu akan hal ini, fas’alu ahla dzikri, inkuntum la ta’lamun.

Alasan ketiga, Jika pendidikan itu hasil, maka akan lahir segudang masalah. Masalah pertama adakah masalah mental. Mental koruptif akan menjadikan pendidikan sebagai sarana permainan uang. Uang adalah bosnya. Apapun prosesnya, maka uang akan bicara. Seberapa jumlah uang yang disodorkan akan mampu menyelesaikan proses pendidikan. Apapun prosesnya, uanglah yang menentukannya. Prilaku koruptif ini bahaya, karena mereka memotong kompas dunia pendidikan sedemikian rupa untuk memuluskan kepentingannya. Ijazah menjadi kertas tak berharga, selembar sertifikat hanya ongokan yang tak berguna, nilai-nilai yang terjajar rapih adalah kemunafikan yang dijual belikan. Si terdidik hanya berkata, “Apalah arti belajar, toh semuanya diakhiri dengan D3 (duit, dulur dan deukeut)” Bila ini tejadi, maka tsunami pendidikan lahir dari perut negeri ini. Siap-siaplah kita untuk menghadapinya.

Masalah kedua adalah masalah spiritual. Jika pendidikan itu adalah hasil, maka kebaikan akan berhenti, keimanan akan distop dan kebrutalan akan dimulai. Alloh dalam firmannya selalu mengakhiri ayat dengan “semoga”. Ini berarti ada dimensi pertanyaan yang begitu mendalam. Semoga kamu menjadi kaum yang bertaqwa, semoga kamu menjadi kaum yang berpikir, semoga kamu bersyukur, semoga kamu menjadi diberi hidayah, la’allakum tahtadun. Tuhan mengajari kita bahwa dengan kata “semoga” harus menjadi energy untuk berproses terus. Never ending process. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, kemarin harus ditingkatkan untuk esok lusa, dan seterusnya. Sebaliknya, celakalah orang hari ini lebih buruk dari kemarin dan besok sudah merencanakan keburukan lebih buruk dari hari ini. Pendeknya, jika pendidikan itu hasil, maka kita akan berhenti untuk berprilaku adil. Kita akan diam tidak melakukan apa-apa. Kita merasa qona’ah atas ilmu yang didapat, dan saya bisa bayangkan, mereka yang merasa seperti ini, hidupnya akan berhenti dan putaran bumi pun akan terasa lama untuk menunggu giliran kematian. Jadi pendidikan itu harus proses, dan terkaan-terkaan masa depan akan menjadi energy untuk melakukan kebaikan kebaikan yang lebih di universitas kehidiupan yang luas.

Jika anda berpendapat lain tentang pendidikan itu adalah hasil, maka saya harus setuju kepada Anda. Tapi saya harus meredefinis pendidikan yang Anda maksud. Mungkin pendidikan yang Anda maksud adalah belajar di SD, belajar di SMP SMA dan belajar di perguruan tinggi. Pendidikan yang anda maksud adalah Standar kompetensi lulusan. Hasil yang anda maksud adalah lulusan. Benar bahwa pendidikan harus diukur di akhir (summative) dan prosesnya (authentic), tapi itu sebatas pendidikan sebagai sebuah lembaga formal. Pendidikan yang diawali dengan pendaftaran dan diakhiri dengan perpisahan dan wisuda. Bila sudah begini, maka pendidikan ini adalah pendidikan yang terdistorsi oleh kaum kapitalisme, bahwa sekolah adalah pabrik yang harus menciptakan produk yang bisa dijual, sekolah adalah perusahaan yang membutuhkan bahan bakar, dan sekolah itu adalah bukan kehidupan, karena kehidupan tidak selebar dinding sekolah yang cat nya sudah luntur. {}

Ingin menajadi seperti orang hebat!
Bumi Syafikri
6/5/17

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun