Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Persepsi dari Banyak Sudut

31 Mei 2017   06:24 Diperbarui: 31 Mei 2017   08:45 2610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persepsi
Oleh: Zaki Mubarak

Kata “Persepsi” adalah kata yang paling bertanggung jawab atas realita (kejadian) yang terjadi di dunia nyata. Persepsi menjadi bagian penting dari lahirnya sebuah kasus dan fenomena. Ia mampu mendorong pelaku untuk melakukan sesuatu dan mampu meyakinkan seseorang untuk meyakini “kebenarannya”. Persepsi seperti laten yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang tetapi ia merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat untuk merubah sesuatu. Bahkan jika ia adalah kejahatan, persepsi dapat memolesnya seperti bidadari yang disukai setiap insan.

Menurut Wikipedia, persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Menurut kamus Cambridge persepsi adalah keyakinan atau pendapat yang sering diambil oleh orang berdasarkan apa yang mereka lihat. Menurut saya, persepsi adalah kumpulan informasi yang didapatkan dari sensori motoric, kemudian disusun, dikenali dan ditafsirkan sehingga menjadi sebuah keyakinan atau pendapat seseorang untuk melakukan suatu tindakan.

Jadi persepsi itu terbagi menjadi tiga. (1) bahannya adalah informasi, (2) caranya disusun, dikenali, dan ditafsirkan, (3) dampaknya meyakini atau berpendapat untuk melakukan suatu tindakan. Dari tiga komponen ini, persepsi adalah sesuatu yang abstrak yang tidak kelihatan fisiknya, ia adalah segala sesuatu yang hadir dalam diri seseorang, mungkin bisa di otaknya (reason), di memorinya atau di hatinya. Tergantung bagian mana yang dominan untuk menggerakan seluruh tubuhnya. Apakah ia seorang rasionalist atau seorang yang idealist.

Bagi saya, dunia ini lahir dari persepsi-persepsi. Ia lahir tidak hanya begitu saja lahir tanpa didesain. Ada pihak yang mendesain sehingga terjadinya sebuah tindakan nyata di dunia. Untuk grand desain yang maha besar tentu saja Allah yang maha kuasa, tapi untuk bagian-bagian kecilnya ada desain-desain yang diciptkan oleh para thinker dan desainernya. Nah, saya akan mencoba menyusuri fakta yang tidak lepas dari persepsi yang dilahirkan dengan tidak dengan kebetulan. Memang “tidak ada kejadian yang kebetulan”.

Pertama persepsi agama. Agama adalah instrumen kehidupan yang maha penting. Di dunia ini tidak ada orang tidak beragama. Orang ateis pun beragama, yakni agamanya tidak meyakini agama. Agama itu keyakinan tentang Tuhan, ketika iya meyakini ada atau tidak adanya tuhan, maka itu adalah agamanya, keyakinannya, imannya.

Dalam perjalananya kita akan mengenal agama dan keber-agama-an (religious and religiousity) . Agama adalah lembaga yang telah mengkomodifikasi cara “syariat” sesuai dengan sumber aslinya. Mereka bisa berbentuk kitab suci, perkataan nabi dan rasul, persepsi warisan dari orang tuanya dahulu dan cara lain yang sejenis. Agama sebagai lembaga dijalankan oleh penganutnya menjadi keberagamaan. Ia hadir hasil dari interpretasi atas lembaga agama menurut ruang dan waktu yang mempengaruhinya, sehingga keberagamaan bisa berbeda satu sama lainnya walaupun lembaga “agama” nya sama.

Baik agama sebagai lembaga maupun keberagamaan sebagai prilaku agama, keduanya dilahirkan dengan persepsi. Bila agama dibagi dalam berbagai bagian semisal salah satunya fikih (aturan hidup ummat Islam; ibadah, muamalah, munakahah, jinayah). Maka syariat agama yang dijalankan oleh fikih dikomodifikasi melalui persepsi ahlinya. Paling tidak untuk mencapai kepada derajat benar, tidak bisa orang mengklaim kebenaran mutlak. Minimal ada tingkatan dalam memahami derajat kebenaran itu.

(1) kalb. Bohong. Yaitu kebenaran yang mengandung 0% . Cara hidup dengan menggunakan derajat ini, maka tertolak oleh agama. Tidak ada landasan yuridisnya, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai ajaran agama. Bila kita melakukannya, maka tidak ada nilai ibadah, bahkan bisa menjadi dosa kalau “cara” itu bukan yang mubah (boleh).

(2) wahmun yaitu kebenaran yang mengandung 25%. Tingkat kebenaran yang kecil ini tidak bisa dibuat sebagai landasan hukum yang kuat sehingga kita lebih baik meninggalkannya. Bisa jadi landasannya ada namun disinyalir tidak kuat dan ada keterputusan landasan hukumnya terhadap sumber hukum utama. Bila kita melakukannya, maka kita bisa dapat pahala, atau kalau itu berseberangan dengan hukum yang kandungannya lebih tinggi, bisa mendapatkan dosa, bila kegiatan itu bersebrangan.

(3) sakkun, ragu. Tingkat kandungan kebenarannya 50%. Menggunakan cara ini bisa dibenarkan bisa juga disalahkan. Landasan yuridisnya kurang berterima secara utuh sehingga orang dapat menyalahkan atau pun membelanya. Bila kita bisa memilih, maka meninggalakan keberagamaan yang derajatnya sakk ini lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun