Patut kita acungi jempol setinggi-tingginya untuk para peletak dasar Pendidikan Islam di Indonesia. Dengan tatanan kehidupan yang sistemik, ideologi Islam menyusup bak laten yang bersemi di setiap insan yang mengidentitaskan dirinya sebagai muslim. dari sinilah Islam diwariskan sebagai agama “turunan” yang untuk memaknainya butuh waktu yang sangat panjang. Dengan sistem yang hebat ini, kita bisa terus mengestafetkan risalah nubuah Muhammad saw dari generasi ke generasi.
Hal ini berbeda dengan Barat yang mulai kering keagamaannya. Dimulai dengan mengagungkan positivisme August Comte dan John Locke, materialisme menjadi landasan kehidupan mereka. Empirisme-materialisme yang merupakan antagonis dari dunia idealisme-ruhani-agama adalah pemikiran yang ingin mencoba merobohkan kepercayaan abstrak atas “tuhan” dan ajannya diganti dengan keyakinan yang harus sesuai dengan fakta inderawi.
Di Barat kehidupan Agama mulai ditinggalkan dan mulai masuk kepada dunia yang faktual yang materialistis. Gereja mereka sudah ditinggalkan, kelas minggu juga sudah tak bertaring dan tentu saja para pastor mulai kehilangan pekerjaannya. Inilah fakta bahwa sistem keagamaan di Barat (di negara mayoritas) mengalami krisis. Maka tidak bisa ditolak bahwa beberapa ahli dari Rusia dan Jerman (termasuk kanselir Mekel di Jerman) mengatakan bahwa masa depan Eropa ada pada Islam. Krisis imigran akibat perang Arab Spring berdampak melubernya muslim di Eropa.
Dengan hal ini, Eropa melalui N. Chapra cs. telah mempromosikan post modernisme kepada seluruh Eropa sebagai pengisi dahaga kekeringan spiritual Barat. Modernisme di Barat masih bermetamorfosis, tapi sebagian besar masyarakat di sana sudah muak sehingga mau tidak mau mereka mencari alternatif baru, dan post modernisme (posmo) adalah solusinya. Dengan demikian, di Barat ada kecenderungan untuk kembali kepada penanaman spiritualisme yang dulu pernah berjaya dan melupakan kehebatan modernisme yang mengeringkan. Mereka menggunakan agama langit sebagai pilihan atau agama bumi macam yoga dan semedinya Budha sebagai instrumen posmonya.
Nah, sepertinya untuk kasus Indonesia, proses modernisme masih setengah jalan. Banyak kalangan masih bermesraan dengan modernisme yang dianggap sangat hebat. Mereka baru take off dari dunia spiritualisme ke dunia empirisme. Masyarakat belum menikmati selengkapnya kehebatan modernisme yang hari ini Barat mau meninggalkannya. Pendeknya di Barat mau kembali ke spiritualisme, sedang di kita mau meninggalkannya. “Memang dunia terbalik” seloroh ustad Kemed.
Untungnya, kekuatan kristen Barat tak sekuat kekuatan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Kita memiliki sistem pendidikan konservatif yang diletakan fondasinya oleh pesantren. Walaupun banyak pesantren yang berpaling dari tradisi awalnya dan bermetamorfosis dengan modernisme, tetapi masih banyak pesantren sebagai lembaga konservatif dalam membentengi Islam sebagai sistem pendidikan yang kokoh. Saya tidak tahu, kapan pesantren akan kalah dengan modernisme yang dihujamkan Barat kepada Indonesia, saya berharap pendidikan pesantren jangan terlalu euforia modernisme dan terlena dengan “serangan” dahsyat ini.
Salah satu fondasi yang diletakan dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia adalah kuliah subuh pada bulan Ramadan. Sebuah mesjid akan diakui eksistensinya apabila pada bulan Ramadan memiliki program ramadan yang isinya tidak jauh dari acara kuliah subuh untuk anak usia sekolah. Acara ini pula diendorse oleh sekolah, dimana guru PAI mewajibkan anak didiknya untuk mengisi buku Ramadan sebagai bagian dari penilaian PAI di sekolahnya. Klop sudah sistem ini sehingga anak tidak memiliki pilihan alternatif. Mereka wajib ikut agenda kuliah subuh di bulan Ramadan, bila tidak, tunggu punishment guru PAI.
Saya tidak tahu kapan kuliah subuh ini mentradisi di Indonesia. saya juga tidak tahu kenapa namanya “kuliah”. Bila kita merujuk kepada terminologi kita, kuliah adalah kata yang disandingkan kepada proses belajar di perguruan tinggi. Sejatinya kuliah yang dalam bahasa Inggris “lecture” adalah pembeda dengan “belajar”. Belajar wajib memiliki dua arah komunikasi guru-siswa, sedangkan kuliah tidak mewajibkannya. Istilah Islam kuliah bisa berarti ceramah atau khotbah. Khotib (orang yang berkhotbah) adalah expert di bidang agama dan tidak boleh diinstrupsi oleh audience nya. Mungkin kuliah tidak setegang khotbah yang kaku, tetapi model komunikasinya mirif.
Mungkin dari definisi inilah, kuliah subuh (KS) digunakan sebagai suku kata baru dalam sistem pendidikan kita. Jadi kuliah subuh adalah ceramah satu arah yang disampaikan oleh ahli agama di waktu subuh. Pendengarnya adalah mayoritas anak-anak persekolahan dan memiliki kewajiban komunal untuk mengikuti KS sebagai bagian dari syarat berkomunitas. Jika anak tidak mengikuti KS, maka dapat dipastikan masyarakat mempertanyakan atas keanggotaan komunitasnya atau paling tidak mereka akan di”nyinyiri” sebagai warga yang tak setia pada konversi (hukum tak tertulis) komunitas.
Itulah kehebatan KS sebagai sebuah sistem pendidikan yang menyusup kepada tatanan sosial dalam kehidupan muslim kita. Ada keunggulan penting dalam KS sebagai sebuah sistem yaitu penanaman ideologi sejak dini. Hal ini penting dengan berbagai alasan. Pertama ideologi ini merupakan sistem dogma untuk mengidentifikasi identitas sejak dini. Kita paham, hidup ini membutuhkan identitas. Agama adalah salah satu identitas yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus hadir dalam setiap individu. Dengan menanamkan KS dalam kehidupan anak, maka identitas itu akan segera teridentifikasi dan anak secara tak sadar akan mengakui dan mengalami proses internalisasi Islam sebagai identitas barunya. Identitas ini mendahului KTP sebagai kartu identitas formal.
Kedua ideologi dalam KS adalah salah satu instrumen penting dalam membentuk jejaring komunitas generasi baru. Jaringan komunitas generasi muda yang sudah tertata adalah sekolah. Namun, di sana mereka memiliki identitas yang beragam, sedangkan untuk identitas spiritual, KS adalah solusinya. Jejaring ideologi yang sama antar generasi dibutuhkan agar ada acceptance (keberterimaan) masyarakat atas anggota baru. Kita tidak memungkiri bahwa nilai agama yang telah berakulturasi dengan nilai masyarakat umum adalah satu-satunya nilai yang paling diminati dan menancap di hati sanubari masyarakat secara umum. Ini adalah kesuksesan Islam yang telah menguasai kehidupan secara utuh, baik dalam pendidikan keluarga ataupun majelis taklim yang rutin.