Fenomena yang sangat umum dan unik di ujung hari di Bulan Ramadan adalah buka puasa bersama. Beberapa kegiatan lainnya yang menjadi paket di bulan ramadan adalah baksos, kuliah subuh, kultum, pesantren kilat, zakat fitrah, dan yang paling umum adalah menyerbu mall atau pasar dalam pemenuhan kebutuhan lebaran, dari pakaian sampai makanan. Buka bersama adalah makan dan minum bersama pada waktu magrib sebagai pemutus amalan puasa (menahan haus dan lapar) dalam satu hari.
Dalam kaca mata saya, ada beberapa catatan menarik dalam buka bersama yang sudah menjadi tradisi masyarakat perkotaan. Analisis saya lebih condong kepada fenomena sosial-ekonomi yang sangat menarik untuk dipahami terkait dengan prilaku baru dalam masyarakat kita. Sejak Islam hadir di Indonesia, sepertinya buka bersama dan dilaksanakan di rumah makan yang menjamur di pusat kota telah menjadi tradisi atau kekhususan tersendiri bagi Islam kita.
Bisa jadi tradisi ini sudah ada sejak dulu, cuman caranya yang berbeda. Kalau saya boleh bercerita, dahulu ketika hidup saya di pedalaman buka bersama dilakukan di pos ronda bersama komunitas saya sebagai remaja. Makanan yang disediakan adalah bekal dari rumah masing-masing dan pada saat berbuka kita bisa berbagi dan saling merasakan bekal masing-masing. Kami menyebut buka bersama ini “botram”. Sebenarnya terminologi botram bukan hanya untuk buka bersama, tetapi lebih umum yaitu untuk istilah dimana ada makan berjamaah bersama dengan bekal makanan-minuman dari rumah masing-masing.
Saya akan mencoba menganalisis nilai-nilai buka bersama yang berbeda caranya seperti dalam tradisi botram. Buka bersama yang sering diakronimkan menjadi “bukber” menjadi barang umum yang khas dan dilakukan di bulan Ramadan. Tempat yang paling sering menjadi lokus adalah rumah makan atau di tempat dimana komunitas itu bertemu. Ia bisa di lembaga pendidikan, di kantor, di pasar, atau tempat dimana mereka bekerja atau berinteraksi setiap harinya.
Analisis yang saya lakukan adalah dengan menggunakan pendekatan fenomena sosial-ekonomi. Pertama, buka bersama menjadi identitas masyarakat perkotaan. Bukber bukanlah tradisi masyarakat pedalaman, namun lebih banyak dilakukan oleh masyarakat kota. Mereka memiliki cara tersendiri dalam merayakan buka puasa. Mereka adalah masyarakat yang sudah masuk ke dunia modernisasi yang didefinisikan sebagai hidup cepat, instant dan diuangkan. Hanya berbekal uang mereka merayakan bukber tanpa melihat sisi proses bagaimana makanan itu diproses.
Kedua, bukber adalah penguatan dalam berkomunitas. Komunitas adalah ciri masayarakat perkotaan yang di dalamnya memiliki kesamaan, baik dalam pekerjaan, hobi, nilai, kecenderungan sikap, dan seterusnya. Karena mereka memiliki kesamaan (walaupun tidak mutlak sama) maka mereka memperkuat rasa samanya dengan bangunan bukber dalam komunitas. Semakin mereka bukber, semakin erat pula komunitasnya.
Ketiga, bukber adalah aktualisasi diri organisasi dalam meraih eksistensi dalam perannya. Bukber bisa menjadi instrumen baru dalam berorganisasi sebagai bagian dari sosialisasi organisasi melalui integrasi nilai-nilai reliji di dalamnya. Semisal buka bersama yang dilakukan dengan anak yatim dan memberikan santunan kepada fakir miskin, adalah aktualisasi organiasai dalam meraih eksistensinya. Dengan menunggangi momentum puasa yang “relijius” maka aktor organisasi dapat berinteraksi satu sama lainnya dan berharap eksistensinya diakui oleh publik.
Keempat, bukber menjadi tanda sebagai menguatnya status ekonomi menengah kita. Sejak puluhan tahun terakhir, bangsa Indonesia tumbuh secara ekonomi. Golongan yang tumbuh secara signifikan adalah golongan ekonomi menengah. Indikator membuncahnya kredit rumah dan kendaraan sehingga menimbulkan kemacetan di setiap kota menunjukan kemampuan ekonomi kita meningkat. Dalam konteks bulan Ramadan, indikator bukber di restoran-restoran dapat menjustifikasi bahwa memang ekonomi menengah Indonesia sedang berada pada tingkat yang tinggi.
Kelima, bukber menumbuhkan bisnis kuliner dan menjadi berkah untuk semua orang. Muslim yang berpuasa dan berbuka di luar rumah, tidak hanya menguntungkan para pengusaha kuliner, namun bisa jadi sangat menguntungkan non-muslim yang memiliki restoran atau rumah makan. Setahu saya, banyak sekali pengusaha yang telah meraup untung dari fenomena perubahan prilaku masyarakat kota untuk makan di luar rumah. Dengan makan secara berjamaah, tentu saja pihak bisnis kuliner merauf untuk lebih dari bukber yang pasti beranggotakan lebih dari dua orang.
Dari lima analisa saya, semuanya bermuara pada perubahan prilaku dari konservatif ke modern. Dulu, ketika arah komunikasi sosial tidak terbantukan dengan media sosial dan sangat sempit, maka prilaku makan adalah prilaku keluarga dan kalaupun ada sebatas lingkungannya. kendurian dengan parasmanan, tahlilan dengan “berkat”, atau ulang tahun yang sederhana menjadi salah satu acara makan-minum bersama pada masa lalu. Namun dalam konteks bulan Ramadan, sepertinya makan bersama di rumah adalah segala-galanya bagi setiap keluarga muslim.
Saat ini, ketika modernisasi telah merasuk kepada kehidupan kita secara meluas, maka bukber telah merubah sedikit sikap kita. Ketika modernisasi merubah cara bekerja kita, maka kita berubah pula cara komunikasi dengan tetangga. Kita jadi memiliki komunitas yang luas melebihi lingkungan. Bahkan kekuatan komunikasi dengan komunitas bisa lebih kuat dari komunikasi dengan tetangga selingkunagan kita. Perubahan komunikasi ini adalah fakta yang sulit kita tolak dalam era modernisasi kita.