Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Logika Terbalik Dunia Pendidikan Kita

15 Agustus 2017   06:53 Diperbarui: 15 Agustus 2017   15:40 10107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: progstudy.ru

Tulisan ini sekadar untuk merenung hal kecil dalam dunia pendidikan. Isinya tidak begitu penting secara teoretik namun perlu dipikirkann ulang secara praktik. Kesannya agak lucu namun ada kebenaran di baliknya. Bila itu dirasa salah menurut pandangan pembaca, maka itu adalah hak subjektif yang perlu didiskusikan. Saya melihat ada logika terbalik dalam dunia pendidikan kita. Paling tidak ada dua elemen pendidikan kita yang memiliki kelucuan dalam logika terbaliknya, yakni elemen siswa dan guru.

Logika Terbalik (Maha) Siswa Kita

Dalam kacamata orang dewasa, segala sesuatu yang menghabiskan energi dan menyeret otot untuk bekerja dapat dipastikan mendapatkan ganjaran. Ganjaran yang paling pokok dan umum adalah uang. Segala pekerjaan yang dikerjakan orang dewasa dapat dipastikan mendapatkan "uang". Nah, apakah itu berlaku pada siswa?

Coba lihat anak-anak siswa kita atau bahkan mahasiswa dewasa sekalipun. Ia pergi ke sekolah pagi hari dengan diawali mandi, sarapan, mempersiapkan buku, dan berjalan atau naik kendaraan untuk ke sekolah. Di kelas siswa dengan serius mengikuti pelajaran dan tidak jarang melakukan pekerjaan yang berat atas nama pembelajaran inkuiri. Sepulang sekolah mereka harus mengerjakan PR yang tentu saja menguras energi dan waktu. Apa yang mereka dapatkan? Uang?

Bukan. Mereka tidak mendapatkan uang, sebaliknya mereka harus mengeluarkan uang. Pekerjaan yang begitu banyak, biaya transport yang begitu menguras dan tentu saja harus mengikuti ujian-ujian yang sangat memusingkan harus dibayar dengan membayar uang. Logika terbalik kan? Seharusnya mereka mendapatkan uang kan?

Bila alasan utamanya adalah untuk mendapatkan ilmu, maka saya setuju. Tapi, mari kita uji apakah ilmu itu untuk ia sendiri? Dalam dimensi ilmu agama yang menjadi tolak ukur bekal di akhirat bisa jadi ilmu agama terutama praktik ibadah adalah wajib ain (individual). Namun, bila itu ilmu pengetahuan, apakah itu benar untuk dirinya? Yang saya tahu, pengetahuan umum yang lebih mahal dari agama yang dimiliki oleh siswa kita itu sebenarnya untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) negara. Semakin SDM sebuah negara baik dan memiliki pengetahuan etika umum, maka semakin baik juga negara.

Pertanyaannya, bila negara yang mengambil manfaat lalu kenapa siswa yang harus membayar? Bukankah negara yang harus membayarkannya? Sudah lebih dari sepuluh tahun pemerintah berupaya untuk menanggung biaya gratis pendidikan dengan alasan logika terbalik ini, namun apakah benar bahwa ini berjalan dengan baik? Saat ini saja ketika SLTA diambil alih oleh provinsi, mereka mewajibkan kembali untuk menarik bayaran sesuai kesepakatan komite sekolah. Sepertinya, negara sukses membalikan logika kita.

Bila negara telah menyerah atas biaya pendidikan SDM warganya, maka negara tidak berhak atas keilmuan warganya. Hal ini menjadi jelas, kenapa banyak orang pintar di negeri ini berkarir di negeri orang. Ternyata, negara tidak berhak atas ilmunya, atau negara malu untuk meminta memajukan tanah airnya karena Ia tak berinvestasi dalam pendidikan warganya. Jadi, bila negara ingin menguasai seratus persen SDM warganya, maka negara wajib membiayai bukan disuruh membiayai sendiri. Bila negara ingin SDM nya berkualitas, maka perbaiki sekolah dan gurunya agar memiliki mutu yang dibutuhkan. Bukan sebaliknya, anak sekolah menjadi sapi perah untuk kebaikan negara.

Logika Terbalik Guru Kita

Tidak munafik bahwa kehidupan manusia membutuhkan materi. Dalam dunia positivistik saat ini, materi adalah indikator utama dalam kualitas hidup. Materi ini pun dalam arus globalisasi telah didesain menjadi uang dan disederhanakan menjadi angka-angka dalam bentuk gaji. Nah, profesi mana yang gajinya lebih tinggi dari yang lainnya? Saya pastikan itu bukan guru. Mereka bisa dokter, bisa teknokrat, bisa anggota perlemen, bisa juga pilot. Ini berbeda dengan Finalandia atau Australia.

Guru di negeri ini adalah antitesa dari profesi bergaji tinggi. Bukan saja karena ruang pekerjaan ini yang paling luas diantara bidang pekerjaan lain, banyak variasi status guru yang membuat negara bingung menentukan. Negara mewajibkan setiap manusia untuk bersentuhan langsung dengan guru, apapun statusnya. Singkatnya, guru adalah manusia yang paling "dibutuhkan" di seantero negeri. Ia adalah alasan dimana SDM negeri menjadi lebih baik dan berkembang. Namun sayang, sistem kepegawaian guru ini adalah yang paling sulit ditertibkan.

Untuk urusan guru yang berstatus PNS, itu sudah benar dan negara hadir dalam hak dan keajibannya. Untuk guru non PNS yang tersertifikasi, mereka memiliki harapan besar atas APBN 20% untuk digelontorkan kepadanya. Negara sudah hadir dalam membiayai hidup guru, walaupun dalam implementasinya masih memiliki masalah serius. Pencairan yang tidak tentu dan kadang tidak baku menjadi kerisauan guru tipe ini. Mereka tidak tahu apa yang bisa diyarkan kepada kehidupan yang berjalan, sedangkan kebanyakan yayasan tempatnya bernaung sudah memutuskan untuk mengurangi tunjangannya. Menunggu adalah harapannya. Yang paling menyedihkan adalah guru non PNS tidak tersertifikasi.

Mereka adalah guru yang paling menyedihkan sedunia. Sudah diwajibkan untuk bersekolah tinggi sebagai prasyarat menjadi guru (yang tentu saja tidak murah), guru model ini dibayar dengan standar jauh di bawah UMR. Bagi guru tetap sekolah di bawah yayasan yang kaya, hal ini tidak berlaku, dan ini volumenya kecil. sebagian besar guru model ini berada di daerah dan pedesaan. Mereka berjuang untuk pendidikan nyaris tak tersentuh oleh APBN 20%. Kalaupun ada, masih banyak potongan yang sangat tidak manusiawi.

Dalam banyak acara tivi yang menginspirasi, guru model ini banyak dikomersialisasikan. Dengan perjuangan yang berat, fasilitas seadanya, jarak yang super jauh menjadi instrumen kesedihan yang didesain untuk ditangisi. Mereka menjadi komoditas tivi untuk sekadar menginspirasi sesaat. Setelah tayangan itu, guru model ini pulang dan berjuang kembali tanpa perubahan yang signifikan.

Logika terbalik dalam dunia guru ini sangat kentara. Coba pikirkan, semakin guru jauh dari pusat kota maka semakin tidak terperhatikan. Semakin guru berjuang untuk pendidikan, semakin tidak tidak makmur. Semakin guru terpenuhi kebutuhannya, semakin malas meningkatkan kompetensinya. Seharusnya dalam logika lurus itu adalah semakin guru itu jauh di pusat kota harusnya dibantu oleh pemerintah dalam menanggulangi perjuangan pendidikannya. Seharusnya, semakin guru itu makmur, maka harusnya semakin meningkatkan kompetensinya.

Pada akhirnya, ketidakadilan dalam mengelola uang negara sebanyak 20% APBN menjadi elemen penting dalam hadirnya logika terbalik dalam dunia pendidikan kita. Logika lurusnya adalah para pemangku jabatan pendidikan seharusnya mengutamakan pendidikan sebagai kesadaan untuk memajukan bangsa ini bukan sebagai "gacritan" untuk mendapatkan uang lebih dari gajinya. Lalu logika terbaliknya? Anda bisa tafsirkan.

Bumisyafikri, 15/08/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun