Nah, Jokowi dalam kecerdasan berpolitiknya tidak mungkin meninggalkan PC yang membawa gerbong kaum nahdliyin yang begitu besar. Ia tahu bahwa Jawa Barat adalah lumbung suara Prabowo pada 2014 lalu, tapi Jokowi sadar bahwa NU harus terus dipupuk untuk menjadi teman di 2019. Dengan hitungan 2 tahun lagi, Jokowi harus tetap menjalin komunikasi dan sinyal kepada seluruh Indonesia, bahwa ia adalah presiden yang dekat dengan NU. Bila itu tidak dilakukan, maka bisa jadi Jokowi ditinggalkan warga nahdliyin yang sangat patuh pada kyainya itu. Rugi kan?.
Jadi, bila saya analisis ketersambungan safari Ramadan 1438 ke beberapa pesantren “NU” di Priangan Timur ini, maka akan ketemu akar pada Pilpres 2019. Memang masih panjang untuk pemilihan presiden di 2019, namun untuk merajut benang kesuksesan pilpres di Indonesia yang sangat luas ini membutuhkan waktu yang panjang dan tenaga ekstra. Ini tidak bisa instant hanya di tahun 2019 saja. Sabang sampai merouke itu untaian pulau yang sangat panjang bro.
Walaupun demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus saya katakan bila PC dan NUnya akan terus bersama Jokowi. Para nahdliyin yang sekarang sudah agak rasional akan memilih Jokowi sebagai presiden jilid kedua manakala kebijakan untuk kaum nahdliyin yang mayoritas wong cilik bisa terpenuhi. Pertama pajak dan beban kehidupan terutama listrik bisa ditekan sehingga masyarakat tidak menjerit. Jokowi adalah presiden yang mampu meredam kekecewaan masyarakat luas dengan segala kenaikan beban hidup tanpa ada demo dan lainnya. Rejim ini pintar memainkan isu sehingga hal yang paling mendasar dalam kehidupan terlupakan. Hebat.
Kedua isu meminggirkan Islam dengan tagline wahabisme, takfiri, fundamentalis, khilafah, dan anti NKRI adalah core dari perjuangan NU. Namun demikian, jika isu ini "digoreng” habis-habisan maka akan ada kecenderungan kaum Nahdliyin untuk berpindah hati. Isu ini akan membuat kehilangan kepercayaan kepada Jokowi atas meminggirkan Islam (walapun tidak jelas Islam yang mana). Masyarakat NU sangat mudah untuk jatuh cinta sekaligus patah hati. Jadi harus hati-hati sajalah.
Ketiga bila dalam dua tahun sisa Jokowi bisa menunjukan kemajuan insfrastruktur yang hebat dengan disertai sosialisasi yang komprehensif, maka orang NU akan bangga dengan Jokowi. Mereka akan mudah mengklaim bahwa Ke NUan jokowi telah dapat membantu bangsa ini membangun dengan fenomenal. NU akan merasa bangga dan akan dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan Jokowi sebagai pilihan utama di Pilpres 2019. Namun jika tidak, maka jeritan masyarakat saat ini karena pajak dan listrik menjadi sakit hati yang tidak terobati oleh kebijakan yang tidak populis Jokowi.
Singkatnya, PC, NU dan Pilpres 2019 adalah bahan untuk membuat sebuah sayur sop. NU sebagai air kuah dan sayurannya, PC sebagai bumbunya dan Pilpres sebagai brandnya adalah racikan chef yang bernama Jokowi. Bila saja Air kuah dan sayurnya tidak di”beli” dengan sebaik-baiknya oleh chef, maka tidak akan menjadi sayur soup yang baik. Jika PC tidak diikut sertakan dalam memasaknya, maka tidak akan lezat. Maka untuk menjadi presiden kembali, PC, NU dan warga Nahdliyin adalah kunci Jokowi untuk bisa kemabali berkuasa, namun dengan tidak mengabaikan tiga hal yang disebutkan didepan. {}
***
Dalam perjalanannya, kadang pesantren menjadi komoditas.
Ia yang mengantarkan kekuasaan meraih legalitas.
Namun, Ujungnya ia mudah dilupakan secara patas.
Ia kembali lagi untuk mengabdi kepada agama dan masyarakat luas.
Pesantren tidak memiliki nafsu untuk berkuasa.
Ia hanya ingin bangsa ini maju dan berkarya.
Ia hanya ingin pemimpinnya mampu dan bijaksana.
Dalam meraih kebahagian akhirat dan dunia.
Itu saja.
Pesantren Cipasung, 9/6/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H