Mempertanyakan Kembali Demokrasi Sila Keempat Pancasila Kita
Oleh: Zaki Mubarak
Pertanyaan mendasar saya adalah apakah demokrasi yang kita jalankan itu demokrasi ala Pancasila atau demokrasi ala liberal. Bila melihat sejarahnya, sepertinya demokrasi Pancasila yang dirumuskan oleh para founding father kita telah kita tinggalkan. Sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan” sepertinya tidak dijalankan saat ini. Apakah benar? Mari kita analisis bahasanya.
Pertama prase “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan” bisa bermakna bahwa rakyat Indonesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki keluasan ilmu sehingga memiliki hikmah (kewibawaan) dan kebijaksanaan. Bila pimpinan rakyat itu adalah presiden dalam sistem presidensial kita, maka presiden wajib memiliki dua sifat ini: hikmah dan bijaksana. Hal yang sama pun harus dilakukan oleh gubernur, bupati walikota dan seterusnya.
Hikmah berakar pada kata hakama (bahasa Arab) yang memiliki kesamaan akar kata hukum, hakim dan hikmah. Hikmah bisa berarti kata benda sebagai dampak dari pemahaman hukum yang baik sehingga bertindak secara adil dan memiliki kewibawaan yang baik untuk selalu bertindak berdasarkan hukum. Jadi presiden harus mematuhi hukum agar memiliki hikmah. Dan tentu saja bila hukum itu adalah undang-undang, maka presiden tidak boleh inkonstitusional.
Bijaksana adalah kata yang menunjukan sebagai sifat bijak, yaitu mempertimbangkan setiap aspek dalam baik dan buruknya. Pertimbangan yang adil ini untuk kepentingan yang lebih besar dapat dikatakan bijaksana. Presiden dan pimpinan lainnya harus mampu untuk berpikir mendalam tentang semua permasalahan dengan bijak agar ia dikategorikan bijaksana.
Kedua kata ini hadir dalam bingkai “kerakyatan” yaitu untuk kebutuhan rakyat. Rakyat adalah pemilik otoritas negara ini, sehingga hikmah dan bijaksana harus dilihat dari pandangan rakyat. Rakyat adalah yang pertama dan utama.
Kedua prase “dalam permusyawaratan perwakilan”. Ada dua kata dalam prase ini, yakni permusyawaratan dan perwakilan. Permusyawaratan berakar dari kata musyawarah (bahasa Arab) yang berarti berkumpul untuk membicarakan suatu masalah untuk dipecahkan secara bersama dan diputuskan secara bersama pula. Musyawarah bisa dilakukan secara keseluruhan anggota, ataupun diwakili kepada mereka yang dipercaya.
Perwakilah adalah akar dari wakil (bahasa Arab) yang artinya digantikan oleh orang lain. Perwakilan dalam konteks ini adalah musyawarah dilakukan oleh orang yang menggantikan suara atau perannya. Permusyaratan dalam perwakilan bermakna satu kesatuan kegiatan dimana permusyawaratan adalah sistem penyelesaian masalahnya, sedangkan aktornya adalah mereka yang telah dipercaya untuk mewakili suara dan peran orang kebanyakan.
Dalam perjalanan politik kita, menentukan presiden (dan pimpinan lainnya) dengan dua kategori memiliki hikmah dan kebijaksanaan ini dilakukan dengan dua cara, yaitu tidak langsung melalui musyawarah dan perwakilan di parlemen dan langsung melalui sistem one man one vote. Dalam beberapa pandangan, memilih presiden dengan cara pertama telah dilakukan oleh para founding father negara kita dan berakhir pada era reformasi. Setelah era reformasi, sepertinya ada pandangan bahwa memilih dengan permusyawaratan dan perwakilan adalah sesuatu yang tidak membaikan, maka demokrasi dengan menggunakan satu orang satu suara dipilih untuk menentukan pimpinan yang dipilih rakyat.
Hal ini sangat didukung oleh negara yang mengagungkan model demokrasi langsung ini. Mereka mendorong Indonesia untuk meninggalkan warisan yang berharga dalam sistem perpolitikan kita. Permusyawatan perwakilan sepertinya ditinggalkan dan sedapat mungkin dicari pembenaran tentang sistem demokrasi baru ini. Mereka yang telah merubah sistem ini memiliki tanggung jawab yang besar atas “penyelewengan” pada sila keempat ini.
Ada beberapa kehebatan yang dapat diambil dalam hikmah demokrasi ini, namun saya hanya akan mengungkapkan dampak negatifnya saja. Untuk yang positif, silahkan kepada mereka yang lebih setuju tentang sistem ini untuk menuliskan. Dampak negatif itu lebih dikarenakan: (1) kualitas orang Indonesia yang belum merata. Karena kekurang merataan ini (yang bisa jadi dikarenakan oleh pendeknya masa kemerdekaan), maka ketika demokrasi ala Amerika yang telah merdeka ratusan tahun dan tingkat pendidikannya yang merata ini diterapkan di negara kita, kita melihat ada ketimpangan yang besar. Politik uang menjadi dampak yang paling kentara dalam rumusan demokrasi ini.
(2) kekurang siapan anak bangsa dalam berdemokrasi karena geopolitik yang luas. Negara Indonesia yang berpulau-pulau dan beraneka ragam baik ras, bahasa, suku, agama memiliki masalah serius ketika di hadapkan dalam pilihan politik. Adu domba dengan sentimen agama, ras, suku dan kedaerahan akan muncul sehingga akan muncul disintegrasi bangsa.
Saya melihat dampak ini telah dianalisis oleh pendiri bangsa sehingga muncul sila keempat dalam menentukan sistem politik demokrasi kita. Ada dampak yang sangat berbahaya apabila kita memaksakan diri untuk mengikuti keinginan demokrasi ala Amerika atau Eropa. Bagi saya, kita terlalu gegabah untuk meninggalkan sila keempat Pancasila, padahal kita tidak terlalu mengerti bagaimana menyatukan bangsa ini dengan sangat susah payah.
Sisa tenaga yang terkuras.
Tasikmalaya, 1/6/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H