Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Guru Pecandu Narkoba Jenis "Flakka"

29 Mei 2017   11:12 Diperbarui: 30 Mei 2017   04:30 3397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang Guru Pecandu Narkoba Jenis “Flakka
Oleh: Zaki Mubarak

Jagat raya hari ini dihebohkan dengan ditemukanya jenis narkoba baru bernama “Flakka”. Istilah lainnya bisa bernama Gravel atau kerikil. Disebut kerikil mungkin bentuknya mirif kerikil tetapi dalam bentuk kristal. Sejatinya istilah Flakka bernada postitif dan menggemaskan, yakni derivasi dari Bahasa Spanyol “la faca” yang berarti wanita cantik. Entah kenapa orang memanggil Flakka untuk jenis narkoba yang satu ini. Mungkin saya bisa menerawang, ini diakibatkan oleh candu aura wanita cantik yang selalu memabukkan setiap pria. Cluenya adalah “memabukan”. Pun, suatu saat bila tulisan saat memabukan Anda, atau membuat anda terlena atau marah juga, mungkin ada narkoba jenis baru bernama “Zaki Ganteng”. Setuju? Kalau tidak, tidak apalah.

Sebelum masuk ke bahasan kita, sebaiknya saya perkenalkan dulu Narkoba jenis Flakka ini. Sama seperti adek kakaknya macam putau, ekstasi, sabu, cimeng, dan lainnya, Flakka mengandung senyawa kimia bernama MDPV yakni bahan utama pembuat bath salt atau garam mandi. Senyawa ini menstimulasi bagian otak yang mengatur mood, hormon dopamine, dan serotonim yang membuat penggunanya terangsang.

Ketika hormon ini terangsang, maka pengguna akan merasa lebih kuat, tidak takut, hilang rasa malu dan menjadi gila. Efek ini akan membanjiri otak dan methamphetamine memiliki kerja yang sama di otak. Bedanya, Flakka meninggalkan efek yang lebih lama, bahkan bisa permanen. Hal inilah yang memungkinkan Flakka berdampak kepada hilangnya keseimbangan otak secara permanen dan kemungkinan besar berdampak menjadi gila. Ini sangat berbeda dengan jenis sabu misalnya yang memberi efek sementara.

Lalu, apa hubungannya dengan guru pecandu flakka? Memang ada guru yang menggandrungi Flakka sehingga bisa jadi gila? Untuk sementara saya jawab “ada”. Untuk urusan penyakit guru yang telah viral di beberapa media yang diungkap oleh anak difabel macam penyakit asam urat, lesu, dan lainnya yang bernada kirata (dikira-kira tapi nyata), saya kira itu sudah selesai dibahasnya. Nah saya akan mencoba membongkar guru yang kecanduan Flakka. Analisisnya akan menggunakan analisis sederhana dan tentu saja debatable, Anda bisa percaya sama saya atau pun tidak. Terserah Anda.

Flakka yang dikonsumsi guru adalah mengandung, Pertama materialisme. Bahan dasar Flakka yang bernama materialisme ini adalah yang paling dominan disamping bahan lainnya. Materialisme adalah bahan “kimia” yang dapat memabukan guru untuk tidak menjadi guru yang benar-benar guru. Ketika guru itu wajib memiliki kecintaan yang lebih kepada manusia dan kehidupan, maka materialisme adalah bahan kimia yang membelotkan tugas suci guru. dengan materialisme yang diminum dalam narkoba Flakka ini, maka guru akan mabuk tak sadarkan diri.

Bila kita melihat guru yang benar-benar mengabdi kepada kehidupan dan manusia, lihat mereka yang mengajar di pedalaman, di perbatasan, pada kaum papa, pada kaum tertindas dan pada kaum marjinal. Mereka benar-benar mengajarkan ilmu tanpa berharap pada materi namun lebih dari sekedar materi yakni kebahagiaan. Mereka mencari kebahagiaan manakala dapat melihat orang pedalaman bisa sukses, bisa memajukan desanya, bisa menghebatkan nama besar kaumnya dan bisa mengangkat masyarakatnya menjadi manusia terhormat.

Nah, nampaknya kejadian ini tidak saya lihat di kebanyakan guru di perkotaan. Guru yang dideklarasikan sebagai profesi harus berurusan dengan sejumlah uang yang harus didapatkan. Profesi diartikan pekerjaan, sedangkan professional dimaknai “dibayar”. Jadi guru professional adalah pekerjaan guru yang dibayar. Ini berbeda dengan guru masa lalu yang menjadikan guru sebagai pengabdian, dimana uang bukan salah satu tujuannya, tapi kebahagiaan. Saya mengira, tujuan semua pekerjaan adalah sama yakni mencapai kebahagiaan, namun dalam kaitan guru sebagai profesi, uang adalah variabel intervening (perantara) untuk menggapai kebahagiaan. Guru pengabdian tidak mengenal variabel ini, sehingga potong kompas untuk mencapai kebahagiaan.

Mungkin bila Anda membaca tulisan saya sebelumnya tentang guru harus diperhatikan kesejahteraannya (baca: uang), Anda akan menghakimi saya seorang yang inkonsisten. Bagi saya uang adalah penting. Tapi uang bukan segalanya. Penting itu bukan berarti utama, tapi bisa jadi yang pertama. Uang itu sama pentingnya dengan kesehatan, kebugaran, gagasan, bakat, keinginan dan lain sebagainya. Untuk apa Anda punya uang apabila Anda sakit-sakitan. Untuk apa Anda mampu membeli mobil mahal, bila di jalan raya Anda dirongrongi mara bahaya. Jadi yang utama itu kebahagiaan, bukan uang. Bila tidak setuju, silahkan ngacung di Jalan.

Nah, materialisme yang di atas diwakili oleh uang (sebenarnya bisa saja dengan materi lainnya) sejatinya menjadi bahan dominan dalam Flakka. Ia hadir dalam kondisi dimana dunia sudah dimabukan oleh pendekatan positivisme-empirisme pengagum John Locke. Aliran empirisme menghendaki bahwa segala sesuatu harus diukur oleh sesuatu yang terlihat, teramati dan terukur. Sesuatu itu adalah benda fisik, yang dengannya mata bisa melihat, telinga bisa mendengar, tangan bisa meraba, kulit bisa merasa dan hidung bisa mencium. Ia tidak menyertakan hati sebagai alat ukur untuk merasa, karena rasa tidak bisa dilihat. Apakah anda bisa melihat rasa cinta Anda terhadap pasangan? Kalau Anda bisa, saya yakin Anda takut ketika berduaan di kamar pengantin.

Materialisme yang mengagungkan benda berbeda dengan idealisme yang mengagungkan rasa. Bila rasa yang diutamakan, maka bagaimana cara mengukurnya. Walau orang psikologi telah mencoba mengukur kebahagiaan melalui cara “kuantifikasi” sekala sikap dalam ukurannya, tetap saja ia tidak bisa diukur sejernih ukuran yang merasakannya (baca: hati). Ia adalah urusan hati dan tidak bisa diwakilkan oleh hanya angket. Ia invisible, tak terlihat. Jadi materialisme yang menjadi pijakan guru sebagai profesi adalah antitesa kebahagiaan yang dijadikan pijakan guru sebagai pengabdian. Sesuatu yang beda cara memandang kepada guru, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun