Lulus UN yang Tidak Meluluskan
Oleh: Zaki Mubarak
Tulisan ini didasari oleh berbagai foto naas tentang selebrasi kelulusan Ujian Nasional (UN) SMA yang keterlaluan. Di samping itu, banyak pertanyaan baik eksplisit maupun implisit tentang fenomena tahunan ini. Entah foto-foto itu benar atau rekaan, karena antara kebenaran dan hoax hari ini berbeda tipis. Lepas dari itu, video dan berita yang diunggah oleh televisi dan saluran video Youtube meyakinkan saya bahwa kebrutalan anak SMA yang baru lulus emang benar adanya. Dengan tulisan ini, saya mencoba mengurai sebab dan dampak fenomena ini agar dapat memberikan potret yang mendekati sempurna untuk kita sikapi. Terutama, bagi guru, orang tua dan tentu saja kita sebagai yang peduli terhadap dunia pendidikan.
Sebelum saya analisis dengan menggunakan dua pendekatan sebab; internal dan eksternal, saya akan mencoba menggambarkan secara singkat fenomena selebrasi kelulusan (SL) bobrok tersebut. Subjek yang melakukan SL adalah individu berusia 18 tahunan, usia dimana tingkat keremajaan bergeser kepada kedewasaan. Ketika seorang individu ini telah melewati usia 18+, maka dipastikan secara psikologis diperbolehkan menonton film-film yang berbau porno, urakan dan pastinya berkumpul dengan para ABG (anak baru gede) yang senang pesta porak (poranda). Dalam konteks persepsi agama, 18+ sudah lebih dari balig (dewasa) sehingga tertaklif (wajib) untuk melakukan ibadah ritual agama secara mandiri dan diharapkan untuk bisa menghindari dampak 18+ yang dipromosikan oleh negara Barat yang lebih mempromosikan kebebasan birahi yang super bablas. Inilah yang menjadi pusat perhatian para orang tua dan kita, bahwa dalam merayakan 18+ dengan gerbang bernama kelulusan UN dirayakan dengan sangat glamour dan jauh dari kesahajaan. UN hanya menjadi gerbang masuk 18+ yang secara psikologis akan mampu menarik semua siswa yang merasa senasib sepenanggungan untuk mengikuti ritual tahunan yang menahun. Entah itu karena menikmati SL sebagai upacara wajib atau solider terhadap teman yang sudah terlanjur masuk dalam lapangan upacaranya. Saya tidak tahu, namun pengalaman saya mengatakan, bahwa SL adalah sebuah keren-kerenan, gaya-gayaan, gengsi-gengsian ala anak muda yang baru lulus UN. Singkatnya ingin menunjukan bahwa sudah lulus SMA dan baju yang dicoret menjadi kenangan indah. Saya (seorang lelaki) masih ingat seorang teman wanita yang dikeceng sejak dulu walau ga pernah jadian, menaruh tanda tangannya dibaju yang sudah lusuh itu. Bahagia banget. Walaupun, saya tak tahu di lemari mana baju itu disimpan, mungkin saja sudah tak ada atau sudah dilempar ke tempat yang jauh oleh Ibu. Wallahu a’lam.
Bila model pengalaman saya tentang SL itu wajar, ga berlebihan, bernorma, dan tahu tatakrama, saat ini kondisinya beda. Dengan segala keisengannya, SL dilakukan diatas ambang kewajaran. Menadatangani sebuah tandatangan di wilayah pribadi yang sangat pribadi menjadi kesuksesan dan keexcelenan pertemanan. Pemotongan baju seragam untuk menunjukan keseksian dan membikin pusat perhatian kaum lelaki maupun sejenis menjadi kebahagiaan sendiri. Membeli kondom untuk merayakan SL sebagai antiklimak dari sebuah hubungan selama sekolah menjadi hal biasa, walaupun katanya kondom yang paling laku adalah pada saat Valentine day. Yang paling parah adalah prilaku untuk mengorganisasi diri dalam sebuah kelompok besar dengan meraung-raung suara motor dan kebut-kebutan di tengah kota sehingga dapat mencelakakan dirinya dan orang lain. Dalam dirinya terpatri, kelulusan UN adalah hal yang pantas dirayakan dan tidak dating dua kali. Maka rayakan dengan gaya yang paling hebat di dunia. Bagi orang dewasa yang lebih dulu dewasa, itu urakan, tapi bagi mereka yang baru beranjak dewasa, ini adalah luar biasa.
Baiklah, kini saya masuk pada masalah pokok, kenapa dan bagaimana dampak SL bagi dunia pendidikan. Paling tidak saya akan jawab dengan dua pendekatan; internal sekolah dan eksternal sekolah. (1) faktor internal sekolah diartikan sebagai pabrik yang mengeluarkan prilaku bringas tersebut. Ada beberapa alasan kenapa SL dapat menjadi momok bagi nilai-nilai kebaikan di masyarakat kita. Pertama bisa jadi siswa kita merasa tersiksa dengan sistem persekolahan kita. Jadwal yang padat, guru yang galak, aturan yang ketat dan uang yang bikin klepek-klepek. Siswa memiliki ketrbatasan psikologis yang bisa tertekan dengan sejumlah faktor yang mencekiknya. Stress tinggi bisa jadi ujung dari segalanya, sehingga ketika dinyatakan lulus, mereka merayakannya sedemikian rupa. Merayakan terpenjaranya stress bersama soal UN yang belagu itu, merayakan selamat tinggal kepada guru yang tidak manusiawi itu, merayakan penghentian hidup boros melalui gaya hidup SPP yang makin bulan makin mencekik itu. Bila ini terjadi, maka pihak guru, sekolah dan kementerian harus instropeksi. Seberapa indah sekolah memberikan pengalaman sehingga mereka tidak ingin tinggal lebih lama? Seberapa dekat guru dengan muridnya sehingga mereka begitu meledak ketika akan berpisah dengannya? Seberapa tanggung jawab pemerintah untuk mefasilitasi indahnya suasana sekolah sehingga mereka muak dengan keadaan sekolah?. Kasus SL binal ini tidak dilakukan oleh semua lulusan, tapi prilaku sebagian ini seolah merusak dan menutupi SL yang etis, bermakna dan bersahaja.
Kedua bisa jadi adanya pembiaran dan pembudayaan SL untuk sekedar ritual tahunan dan mengambil sedikti manfaat darinya, tentunya mengabaikan madharatnya. SL bisa menunjukan kepada masyarakat bahwa sekolahnya 100% lulus. Siswanya bahagia dan bercoret ria untuk ditunjukan kepada masyarakat begitu bahagianya mereka bersekolah. Meraung-raungnya motor bergerombol ingin ditunjukan oleh sekolah bahwa sekolah mereka bonafid, besar dan solid. Ini logis, tapi tidak etis. Ini baik, tapi tidak membaikan. Banyak sekolah yang sudah move on, dan segera melarang dan menghukum ritual ini sebagai sebuah kriminal tingkat dewi (bukan dewa, yang berakhir di penjara)
(2) faktor eksternal sekolah dapat diartikan oleh faktor di luar sekolah yang sangat luas dan tidak terbatas. Faktor ini bisa diraba, bahkan terindikasi fitnah atau prasangka. Tapi selama itu logis, saya kita tidak masalah. Pertama ekspor value negara penjajah yang bertubi-tubi dengan berjuta kapal laut dan diterima dengan baik di pelabuhan kita. Nilai yang berkumpul menjadi budaya ini dianggap baru dan membarukan. Unik dan menarik dan sesuai dengan syahwat kebanyakan. Nilai ini secara perlahan mendobrak pertahanan local wisdom yang berjuta tahun dipelihara oleh karuhun kita. Bobolnya pertahanan diikuti oleh berjuta rudal yang menghancurkan dengan wajah cinta, freesex, samenliven, sharingroom, topless, music, fashion, mariyuwana, drugs, fastfood, mall, race, dan sampai kepada irama kentut sekalipun. Mereka membombardir kesehajaan orang timur. Mereka meluluhlantahkan nilai agama. Mereka adalah pelaku kejahatan yang melebihi Mo Dze Dong, Stallin, Mussolini, Nazi, Bush, dan penjahat lainnya. Akulturasi nilai ini begitu menggoyang tatanan kehidupan kita. Promosi yang massif dan terstruktur melalui media busuk anti-nasionalisme telah membantu menggolkan harapan kaum Barat. Ini sangat menyakitkan, sesakit Madritista saat Messi membuat goal penentu kemenangan Barca di El Classico di menit terakhir. Sakit. Kita tak berdaya memegang benteng pertahanan, karena PAI sekalipun bukanlah tandingan untuk serangan hebat ini.
Kedua kita telah menanggalkan identitas kita; lembaga pendidikan tertua setelah keluarga: pesantren. Pesantren yang begitu digdaya mengusir senapan penjajah, yang begitu mahir bergerilya untuk membunuh kemunafikan, yang mampu membangun insan dua dunia; rohani-jasmani, jiwa-raga, duniawi-ukhrowi, telah dicampakan begitu saja oleh tuan rumahnya. Ia sangat cemburu dan marah atas perlakuan tidak adil pemerintah atas pilihannya. Ia tetinggal kereta yang penuh dengan modal dan kemewahan. Ia bagai anak tiri yang dibuang di jalanan. Tapi pesantren adalah pesantren. Ia tidak usah merengek minta dikasihani. Ia tak pernah mengeluh. Ia dengan kesmpurnaan mengabdi untuk membangun anak negeri yang masih setia di balik kelopak matanya. Ia terus berjalan untuk membuktikan bahwa pemerintah salah memandangnya. Terbukti, jati diri bernama pesantren dapat mencounter attack gelombang yang disebutkan pada penjelasan pertama, namun sayang, mereka dilupakan dan diingat kembali ketika kebrutalan ini sudah terjadi, keberingasan sudah terbukti dan kebinalan anak bangsa yang sudah tak terkendali.
Bila yang pertama adalah faktor eksternal yang menjadi penyebab ketidak lulusan hakiki UN siswa kita, sedangkan yang kedua adalah faktor penyebab sekaligus solusi ampuh yang murah dan berbisa. Untuk urusan dampak, saya belum bisa menulisnya, paling tidak saya bisa mengingatnya untuk waktu yang lain. Sebagai akhir, saya harus mengingatkan kepada kita, bahwa obat moralitas anak kita tidak terlalu jauh dari pekarangan rumah kita, tetapi kita senantiasa melupakannya atas nama gengsi. Memang rumput tetangga terlihat lebih hijau, tapi tolong sedikit saja, mari kita bahagiakan anak bangsa ini dengan nilai kita. Nilai kelulusan dan ketulusan. Nilai pasrah dan ketawakalan. Nilai harga diri dan identitas. Nilai aku dan others. Nilai sahabat dan persahabatan. Yang semua itu tidak diujikan dalam UN, yang semua itu terpental di depan pintu BSNP.<>
Bekerja di Rumah itu, Rileks.
Bumilestari. 5/5/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H