Mohon tunggu...
Zakia Wishbeukhti
Zakia Wishbeukhti Mohon Tunggu... Swasta -

Learner

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] Undangan

6 Maret 2010   21:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:34 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="200" caption="Undangan"][/caption] Apa itu? Benda kecil berbentuk persegi, berwarna putih, cantik, berukuran kira-kira 10 x 15 cm, berada di meja kerjaku. Benda itu sepertinya diletakkan dengan sengaja disamping pesawat telepon yang terpasang rapi disebelah kiri monitor komputer kerjaku. Perlahan kuraih benda itu, kartu undangan pernikahan siapakah? Tak ada tulisan apa-apa disana selain tulisan kata undangan, tanggal dan tempat acara, serta kepada siapa undangan itu ditujukan. Perlahan kubuka sampul plastik yang membungkus undangan itu... Ah hampir saja jantung ini melesat keluar dari tubuhku. Bagaimana tidak? Undangan itu adalah undangan pernikahan Voni, rekan kerjaku, orang yang selama ini aku anggap senasib sepenanggungan denganku, penghiburku, dan orang yang senantiasa menyematkan semangat untuk tidak berputus asa atas nasib yang menimpaku. Aku turut bahagia, sahabat baikku akan segera menikah... bercampur aduk dengan rasa sedih dan iri dihati ini... Di kantor tempat aku bekerja ada banyak wanitanya, namun hampir semuanya telah menyandang status nyonya. Yang belum menyandang gelar itu tinggal aku dan Voni. Tak sedikit guyonan yang kuterima dari rekan kerjaku yang lain, agar aku bersegera mengikuti jejak mereka, menikah. Sesungguhnya ada rasa iri yang hadir, ketika waktu kerja usai, beberapa dari mereka bertelepon dengan suami mereka untuk pulang bersama, sedang aku? Ada rasa iri yang hadir, ketika acara rekreasi kantor tiba, mereka membawa serta suami dan anak mereka, sedang aku hanya sendirian, atau mengajak adikku. Ada rasa iri yang hadir, ketika makan siang tiba, ketika kami makan siang bersama, mereka dengan cerianya menceritakan perkembangan anak mereka, sudah bisa berjalan, sudah bisa memanggil mama, dan lainnya. Ah... kapan masa untukku tiba, untuk dapat merasakan seperti mereka. Pulang kerja bersama suami, dan bahagia karena ada anak tercinta menunggu kehadiran kita dirumah, dan rasa bahagia ketika ada yang memperhatikan kita, memerlukan kehadiran kita, menginginkan kasih sayang kita? Ah... sungguh, bukannya aku tidak ingin segera menikah... tapi... menikah dengan siapa? Ah... ketika rasa sedih menerpa diri, aku masih bisa berkata pada diriku sendiri bahwa bukan aku saja yang belum menikah, masih ada orang yang senasib denganku, masih ada Voni! Tapi... sekarang Voni akan menikah... tinggal aku sendiri yang sedang menanti ... Tinggal aku... sendiri di kantor ini yang belum menikah... Ah... tidak pernah terbayangkan akan begini jadinya! Aku terduduk lemas di kursi kerjaku. Hari memang masih pagi, kantorku pun masih belum terlalu ramai, yang sudah datang baru beberapa orang saja. Voni juga belum keliatan. Ah! Jadi??? Voni meletakkan undangan ini dari jumat sore kemarin? Ah....!!! Jam ditangan kananku menunjukkan pukul 08.45. Sudah banyak karyawan yang datang, dan mengalami keterkejutan atas undangan yang mereka terima, tapi pasti tidak seterkejut aku. Dari arah koridor terdengar suara ramai. Kutengokkan kepalaku kearah sumber suara itu. Kebetulan memang meja kerjaku berada tak jauh dari pintu koridor, sehingga aku bisa dengan jelas melihat apa yang terjadi disana. Voni datang! Teman-teman berhambur mengucapkan selamat padanya... Teman-teman mengerubungi Voni... Wajahnya terlihat sumringah, warna merah bersemburat di wajahnya yang memang putih. Voni terlihat sangat cantik! Aku terduduk lemas di atas kursi kerjaku... bagaimana denganku? Aku bingung.. apa yang harus kuperbuat... haruskah aku turut menghambur kearah Voni dan mengucapkan selamat atas pernikahannya? Ya ya.. sepertinya itu yang seharusnya aku lakukan. Voni adalah sahabatku... dia teman yang baik.. dia banyak membantuku untuk selalu berpositif thinking dalam menghadapi hidup... Tapi, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang saat ini menghinggapiku... Aku tidak bisa mengucapkan selamat kepadanya dengan wajah sedih begini... Aku tak ingin seperti orang aneh dihadapan Voni! Voni, aku turut bahagia untukmu, tapi maafkan aku, kalau aku juga bersedih... Aku terpaku, tercekat... badanku seperti tidak bisa digerakkan... “Dina sakit?” suara itu seperti menarikku kembali ke dunia nyata, setelah entah berapa lama aku melamun. Kuangkat wajahku kearah suara itu berasal. Tampak Yono berdiri tak jauh dari tempat aku duduk. Yono adalah temanku 1 lantai. Kami beda divisi, sehingga aku jarang sekali berurusan pekerjaan dengan dia. Namun sebagaimana layaknya teman-teman yang berada 1 lantai denganku, tentu saja aku dan Yono sering berpapasan, entah itu dilift, di musholla, atau pun di lobi. “Ah.. e.. tidak apa-apa..” balasku seadanya, sambil berusaha menyembunyikan apa yang menimpaku. Hmm apakah sedari tadi dia berdiri disitu, dan melihat semua tingkahku tadi? Oh tidak! Yono tersenyum. Aku malu... --- by : Zakia Wijaya pic source : http://wb4.itrademarket.com/pdimage/04/1309404_wedding-invitation.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun