Negara adalah sebuah entitas yang memiliki penduduk, suatu wilayah, pemerintah yang berdaulat dan memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Negara harus menjalin hubungan yang baik dengan negara lain, seperti halnya yang dilakukan manusia dengan manusia lainnya. Ini berarti bahwa negara tidak dapat lepas dari hubungannya dengan negara lain. Karena setiap negara memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri, hal ini mendorong setiap negara untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Berdasarkan Sejarah dan kemajuan hukum internasional menunjukkan bahwa peran dan tugas diplomatik telah ada dalam hubungan antar negara-negara di masa lalu. Menurut gagasan Ius Gentium, yang berlaku di Romawi Kuno mengatakan bahwa kekebalan duta-duta dapat dianggap sebagai hukum alam.
Hak Kekebalan Atau Imunitas Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961
Menurut pasal 27,28 dan 29 Konvensi Wina 1961, seorang pejabat diplomatik suatu negara memiliki hak kekebalan atau imunitas terhadap yurisdiksi negara lain dalam hal pidana, perdata, maupun administratif. Pasal 31 (1) Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa pejabat diplomatik diberi kekebalan hampir penuh oleh yurisdiksi negara penerima selama masa jabatan mereka, dan Pasal 37 (1) menyatakan bahwa "anggota keluarga pejabat diplomatik" diberi kekebalan yang sama. Menurut pasal 41 (2) Konvensi Wina 1961 ini didasarkan pada gagasan bahwa pejabat diplomatik merupakan representasi dari kedaulatan negaranya. Ini sesuai dengan prinsip hukum internasional yang dikenal sebagai Par In Parem Non Habet Imperium yang berarti bahwa negara yang berdaulat tidak dapat dihukum oleh negara berdaulat lainnya.
Kebebasan untuk bertindak atas nama negara termasuk hak kekebalan para pejabat negara ini diberikan agar pejabat tersebut dapat memenuhi kewajibannya tanpa ada intervensi dari pihak lain. Walau bagaimanapun, kekebalan ini tidak berfungsi ketika digunakan hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Menurut pasal 39 ayat 1 Konvensi Wina 1961, setiap orang yang ditugaskan mewakili negara berhak atas hak istimewa dan kekebalan hukum dari saat mereka memasuki wilayah negara penerima dan melanjutkan untuk menjalankan tugasnya, atau jika sudah dalam wilayah dari saat ketika penunjukkannya diberitahukan kepada pejabat diplomatik negara lain. Hak Istimewa dan kekebalan diplomatik ini akan tetap berlangsung mulai dari keberangkatannya hingga masa waktu tugasnya di negara tersebut selesai, hal ini tercantum pada Pasal 39 ayat 2 Konvensi Wina 1961.
Jenis-Jenis Serta Batasan Dalam Kekebalan Pejabat Diplomatik
Hukum internasional juga telah memberikan kekebalan kepada pejabat negara tertentu, dimana dalam hal ini yang dikenal sebagai kekebalan pribadi atau kekebalan rasionale personae. Kekebalan ini hakikatnya telah melekat pada jabatan atau status pejabat tersebut dan berlaku selama mereka menjalankan tugas resmi. Konsep ini memiliki tujuan untuk melindungi pejabat dari tindakan hukum yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas diplomatik mereka. Selain itu terdapat alasan fungsional yang mendasari pemberian kekebalan ini, terdapat dua pembenaran tambahan yang sering dikemukakan yakni perdamaian simbolik dan prinsip non-intervensi. Sedangkan di sisi lain, prinsip non-intervensijuga menekankan bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk dalam hal penegakan hukum terhadap pejabat asing. Dengan demikian, kekebalan ini tetap menjadi subjek perdebatan dalam konteks hukum internasional, terutama ketika berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia atau tindakan ilegal lainnya oleh pejabat negara.
Dalam kekebalan diplomatik, meskipun memberikan perlindungan istimewa bagi diplomat, tidak bersifat absolut. Batasan ini dirancang untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan fungsi diplomatik dan keadilan dalam hukum internasional. Salah satu batas utama adalah bahwa kekebalan hanya berlaku untuk tindakan yang dilakukan dalam kapasitas resmi diplomat. Hal ini diatur dalam konsep immunity ratione materiae, yang hanya melindungi tindakan resmi yang dilakukan atas nama negara pengirim. Sebaliknya, immunity ratione personae, yang lebih luas, hanya berlaku selama diplomat menjabat dan tidak melindungi tindakan pribadi mereka setelah masa jabatan berakhir.
 Untuk lebih memperjelas, dapat dikatakan bahwa immunity ratione personae hanya melindungi pejabat negara tertentu dari tuntutan hukum selama mereka bertindak dalam kapasitas resmi, sementara immunity ratione materiae memberikan perlindungan lebih luas kepada semua pejabat negara dalam menjalankan tugas mereka di luar negeri. Oleh karena itu, dalam kasus pejabat tinggi, seringkali dinyatakan bahwa kekebalan pribadi hanya berlaku untuk tindakan yang dilakukan dalam kapasitas resmi dan bukan untuk tindakan pribadi yang tidak terkait dengan misi diplomatik mereka. Hal ini menegaskan pentingnya pemisahan antara fungsi resmi dan tindakan pribadi dalam konteks kekebalan hukum. Selain itu, negara asal memiliki wewenang untuk mencabut kekebalan diplomat mereka. Batas lain terletak pada jenis pelanggaran tertentu. Kekebalan diplomatik tidak mencakup kejahatan berat seperti kejahatan perang, genosida, atau pelanggaran hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Selain itu, Konvensi Wina menekankan bahwa diplomat harus menghormati hukum dan peraturan negara penerima serta tidak mencampuri urusan internal negara tersebut. Penyalahgunaan kekebalan, misalnya untuk menghindari kewajiban pajak atau melakukan aktivitas ilegal, dapat memengaruhi hubungan diplomatik antara kedua negara.
Contoh Kasus Penerapan Kekebalan Diplomatik
Meski begitu, dalam kasus tertentu, terkadang kekebalan diplomatik tetap berlaku diluar tindakan resmi seorang diplomat. Salah satu contoh kasus yang menyangkut kekebalan diplomatik yang tetap berlaku diluar tindakan resmi adalah kasus pembunuhan Yvone Fletcher. Yvone Fletcher merupakan seorang perwira polisi Inggris. Ia dibunuh oleh seorang pria bersenjata tak dikenal yang diduga kuat merupakan seorang diplomat Libya karena tembakannya berasal dari dalam gedung kedutaan Libya di London. Meski terjadi penembakan, Otoritas Inggris tidak dapat memasuki kedutaan untuk menyelidiki kasus ini karena Konvensi Wina 1961 memberikan kekebalan diplomatik terhadap gedung kedutaan besar. Sebagai solusi, Inggris memutus hubungan diplomatik dengan Libya dan memerintahkan staf kedutaan untuk meninggalkan negara tersebut. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekebalan diplomatik dapat melindungi diplomat bahkan dalam situasi seperti ini.