Mohon tunggu...
zakiul fahmi jailani
zakiul fahmi jailani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hanya seorang penyala cahaya ditengah kegelapan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

(Week 1) Beastudi Indonesia Preparatory School Batch 4: Highest Score

19 Juni 2017   07:22 Diperbarui: 19 Juni 2017   08:56 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"What is the maximum score you can achieve in IELTS?",

adalah pertanyaan tricky dari seorang pengajar english tua di program BIPS Batch 4 ini. Dengan pronunciation british english nya sambil matanya berputar-putar mirip seperti mata bunglon. Rafiq Mahmud namanya. Kami 'dipaksa' olehnya untuk memanggilnya dengan nama panggilan 'bung Rafiq'. Pertama kali kami bertemu dengannya, kami juga terkejut lantaran si bung ternyata adalah seorang lelaki tua dengan perawakan asli British pada umumnya. Dia bukan keturunan India yang sudah lama menetap di Inggris turun-temurun. Warna kulitnya bahkan tidak coklat, apalagi gelap pekat. Kalau Anda kebetulan kenal dengan Rowan Atkinson si 'Mr. Bean', maka bayangkan saja bung Rafiq adalah versi tua dari Mr.Bean. Bahkan ekspresinya pun sangat mirip dengan tokoh televisi Inggris yang sering kita lihat melakukan tindakan-tindakan konyol itu.

So, tentu saja kami menjawab angka 9 (sembilan) untuk pertanyaan itu ketika bung Rafiq menanyakan kami satu per satu. Tentu saja. Karena memang maksimal skor IELTS itu adalah 9. Tapi bung Rafiq menggeleng sebanyak sebelas kali sesuai jumlah peserta BIPS Batch 4 ini. Jawabannya salah.

"The maximum score you can achieve is to be able commuciate and speaking fluently in English with accent and to be able read and writing for academic purpose".

Sudah hampir seminggu aku berada di Zona Madina Dompet Dhuafa, Parung, Bogor. Selama itu pula aku terus mencari jawaban mengapa aku dulu iseng mendaftar program ini. Untuk tujuan yang sejalan dengan visi Dompet Dhuafa, aku sudah mendapatkannya di hari pertama ketika pembukaan acara. Namun, rasa-rasanya untuk tujuan yang sejalan dengan visi IELTS, justru aku mendapatkan jawabannya dari pertanyaan bung Rafiq diatas tadi.

"Bahwa maksimal skor yang bisa didapatkan dari belajar IELTS adalah mampu berkomunikasi dan berbicara lancar dalam bahasa inggris serta mampu membaca dan menulis untuk tujuan akademik"

Done. Disaat itu juga aku tertohok dengan nilai filosofis yang hendak disampaikan oleh Rafiq. Selama 11 tahun sejak kelas 1 SMP di MTsS Jeumala Amal dulu, ternyata aku telah salah kaprah dalam belajar bahasa inggris. Belajar bahasa inggris untuk mendapatkan nilai bagus. Belajar bahasa inggris untuk mendapatkan band score yang bagus untuk digunakan dalam mendaftar ke universitas tujuan yang diimpikan. Lalu meraih gelar master, menikah dengan high-class girl, mendapatkan sophisticated job dan hidup happily ever after forever.

Seharusnya belajar bahasa inggris,sesuai dengan nilai filosofis bung Rafiq, adalah untuk mempersiapkan diri berenang sebebas-bebasnya dalam lautan ilmu tanpa batas yang tidak bisa kita pungkiri hanya sangat mungkin di akses dengan kemampuan bahasa inggris yang mumpuni. Itu adalah tujuan utamanya. Sementara yang lain hanyalah letupan-letupan manis yang dikecap sebentar dan nantinya akan hilang lagi.

Guru-Guru Hebat

Anyway, seminggu terakhir berada di Bogor bertemu dengan orang-orang baru benar-benar membuatku kembali berpikir : nikmat tuhan mana lagi yang ingin kau dustakan. Tapi, sebagai individu yang mengidap introvert stadium 4, bertemu dengan banyak warna sekaligus benar-benar membuatku kewalahan pada awalnya. Seiring berjalannya waktu, dengan bantuan dan kehangatan yang ditunjukkan oleh teman-teman lainnya, akhirnya aku pun bisa cair dan berani menunjukkan warna asliku juga. Terima kasih teman-teman.

Guru pertama yang kami temui dari tim The Brighton adalah ms. Zizi, a lovely lady yet a very bossy and sometimes menakutkan serta berbicara sangat cepat sekali. Kelasnya adalah kelas yang paling hidup dan paling banyak menghasilkan tawa berderai-derai di ruangan. Dia selalu membawa sekotak penuh berisi permen yang akan dibagikan berdasarkan grup-grup terbaik di setiap tugas.

Guru kedua adalah Simon, seorang 'imported speaker', kata ms.Zizi sebagai ganti dari terma yang sering kita sematkan kepada mereka : native speaker. Pertama kali bertemu dengannya di ruang Audio Visual Pusat Sumber Belajar Sekolah Smart Ekselensia Dompet Dhuafa, kesan pertamaku adalah seperti melihat seorang hipster. Kami sempat meragukan Simon pada awalnya karena setiap pertanyaan kritis yang kami lontarkan selalu dijawab dengan dia berpikir lama dan diakhiri dengan 'i dont know' darinya. Ditambah lagi penampilannya yang urakan. Rambutnya yang pirang panjang dan tubuh yang kurus tapi tinggi serta celana jeans usang ditambah baju kemeja yang tampaknya kebesaran menambah kesan yang sangat kuat bahwa Simon adalah seorang ekspatriat pelarian yang mencari nafkah di Indonesia lantaran biaya hidup di London mahal. Dan benar adanya. Sesuai dengan curhatannya di malam itu, dia memang berasal dari Bristol, sebuah daerah yang tidak jauh dari London. Disana biaya hidupnya mahal.

Tapi Simon baru menunjukkan kapasitasnya saat kami belajar di ruang komputer di bagian depan komplek Dompet Dhuafa. Dia mengerti akan struktur kalimat yang benar serta penggunaan vocabulary yang tepat dalam kalimat. After all, Simon is good lah.

Guru yang best of the best dalam pelatihan BIPS ini bernama Michael. Dari segi penampilan, Michael adalah seorang yang sangat rapi dan selalu klimis. Michael juga berperawakan tinggi seperti halnya orang Inggris pada umumnya. Pronunciation nya jelas dan sering sekali membuat joke melalui cara bicaranya. Misalnya memperpanjang huruf R menjadi rrrrrr. Atau melebih-lebihkan spelling words nya semisal menekankan cara mengucapkan kata 'the' menjadi 'thhhhhhe', 'three' menjadi 'thhhhhre'.

Namun yang paling membuat kami kagum dari Michael adalah ketika Mike, nama panggilannya, mengajar dia tidak pernah duduk. Selalu berdiri. Dari pukul 8 pagi saat pelajaran dimulai sampai pukul 5 sore saat pelajaran selesai. Dia juga tidak pernah minta izin ke toilet. Pelajaran yang dia ampu selalu selesai tepat satu bab pada hari itu. Banyak sekali pelajaran yang kami dapatkan dari seorang Mike.

Guru terakhir adalah ms. Ami. Beliau mendapat jadwal mengajar setiap hari jum'at. Seorang guru yang memiliki metode megajar yang sangat fun dan punya banyak permen serta kue untuk dibagikan kepada kami. Setelah capek belajar di kelas selama lima hari sebelumnya, hari jum'at terkadang menjadi hari yang dinanti karena bisa tetap belajar tapi sambil bermain.

  Saat tulisan ini ditulis, kami baru saja menyelesaikan Mock Test pertama. Selama ini aku telah terbiasa dengan reading, listening dan writing. Tapi untuk speaking, yang di interview oleh bung rafiq, aku masih harus banyak latihan berbicara dengan Mike, bung Rafiq, Simon dan Ms. Zizi serta belajar melatih mental dengan teman-teman yang lain. Speaking masih menjadi masalah terbesarku. Mungkin karena aku masih belum terlalu menyerap nila filosofis dari nasehat bung Rafiq. Tidak apa-apa kukira, karena masih ada empat minggu lagi dan ketika pelatihan ini selesai aku akan mengenang ketidakmampuanku melalui tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun