Mohon tunggu...
Zaki Setiawan
Zaki Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - anak dari solo

Ingin Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Para Priyayi :Sebuah Novel

10 Maret 2015   19:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Perang Diponegoro maka muncul era tanam paksa. Tanam paksa sangat menguntungkan Kerajaan Belanda. Nasib pribumi semakin terpuruk. Kerajaan Belanda dianggap bertindak sewenang-wenang oleh pihak Oposisi di Parlemen Belanda.
Karena desakan kaum oposisi di Negeri Belanda maka muncul Politik Etis. Politik etis adalah politik balas jasa,kerajaan Belanda tidak boleh hanya menghisap namun juga harus memberi balas jasa. Balas jasa ini berupa pendidikan, .
Apalagi Kerajaan Belanda membutuhkan tenaga terdidik dan terampil yang dibayar murah untuk menjalankan segala urusan Pemerintah Belanda di Indonesia. Belanda memiliki perkebunan, pabrik gula, pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan pertanian di Indonesia. Semua membutuhkan tenaga kerja.
Singkat cerita, Belanda membutuhkan dokter, guru, jaksa, insinyur dsb. Maka lahir generasi baru yaitu generasi terdidik Belanda.
Generasi yang dididik, bekerja dan digaji oleh Belanda. Kalau kita pernah mendengar Stovia, Osvia, THS, HIS,HBS dan AMS. Itulah sekolah yang didirikan Belanda. Lulusan sekolah tadi yang menjadi Pegawai Pemerintah Kerajaan Belanda. Pemerintahan dibawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal. Status priyayi tinggi di masyarakat saat itu terutama di jawa. Siswa sekolah Belanda yang berasal dari Jawa disebut Priyayi. Sistem kemasyarakatan di jawa itu berjenjang. Karena Raja yang berkuasa mempunyai status tertinggi maka pegawainya adalah kaum elite.

Karena priyayi adalah pegawai pemerintah yang berkuasa saat itu. Maka, status sosial priyayi bisa dikatakan tinggi. Para Priyayi terdiri dari Pangeran, Bangsawan atau rakyat jelata yang “bernasib baik” bisa belajar di sekolah Belanda. Golongan yang terakhir ini yang mengalami Social Jumping. Mereka yang semula bukan siapa-siapa menjadi berharga. Karena status Priyayi maka status sosial naik drastis. Semua orang akan menghormati meskipun hanya pangkat terendah. Karena “digaji” Pemerintah Belanda maka berhak menyandang disebut priyayi.
Umar Kayam ingin menjelaskan filosofi Priyayi yang tepat. Umar Kayam menyatakan bahwa menjadi Priyayi itu ada “KODE ETIK”. Priyayi itu mempunyai tanggung jawab moral sehingga bermakna bagi masyarakat dan alam sekitar. Priyayi yang tidak tercerabut asal-usulnya.
Novel para Priyayi adalah kiritik sosial. Novel ini ditulis era 90-an. Era rezim orde baru, Umar kayam ingin mengkritik secara halus terhadap tatanan sosial di rezim orde baru. Terbukti, Umar Kayam tidak bermasalah dengan rezim saat itu. Ketika novel Para Priyayi beredar, Umar kayam pernah menjadi Dirjen RTF di DEPARPOSTEL. Kalau sekarang Kementerian Pariwisata. Tokoh utama dalam novel ini adalah Lantip. Lantip adalah seorang anak hasil hubungan di luar nikah dari seorang priyayi yang mati sebagai bandit atau begal. Soenandar yaitu keponakan jauh Sastrodarsono. Sastrodarsono adalah pendiri dinasti priyayi yang disegani di masyarakat Wanagalih Madiun sampai tiga generasi. Generasi ketiga adalah puncak kejayaan dinasti Sastrodarsono dengan lahirnya Konglomerat Tomi. Cerita ini muncul disekuel lanjutan yaitu JALAN MENIKUNG.
Lantip adalah tokoh yang siap mengabdi ke seluruh keluarga besar Sastrodarsono. Sastrodarsono adalah dewa penolong Lantip, mengangkat derajat menjadi priyayi.
Lantip anak seorang priyayi namun hasil hubungan terlarang, mustahil menjadi priyayi tanpa bantuan Sastrodarsono. Lantip mengabdi tanpa pamrih menyelesaikan dan menutup segala aib Keluarga Sastrodarsono.
Lantip adalah solusi untuk Harimurti yang terlibat Gestapu 65. Lantip yang menyelesaikan urusan pakde Nugroho ketika anak perempuan satu-satunya si Marie telah Hamil diluar nikah dengan Marijan si anak desa.
Lantip bahkan rela menunda pernikahan dan tidak mempunyai keturunan. Karena merasa berkewajiban menjaga asuhannya yaitu Harimurti. Hebatnya, Halimah si gadis Minang pujaannya mampu memahami itu semua.
Lantip adalah sosok priyayi kecil dengan hati yang luas. Bahkan lebih luas dari para Priyayi Pembesar. Maka timbul pertanyaan, apakah priyayi itu? Sifat atau kedudukan?
Menurut Lantip, Priyayi itu harus mengayomi seluruh keluarga dan masyarakat sekitar. Apabila ada priyayi yang tidak bermanfaat bagi keluarga atau masyarakat maka tidak pantas disebut priyayi.
Novel mempunyai alur maju-mundur atau campur. Bab-bab yang tersusun berdasarkang nama, misal: Sastrodarsono,Hardojo,Lantip,Harimurti dsb. Setiap bab menceritakan tokoh dari sejak awal sampai titik tertentu dengan sudut pandang orang pertama.
Kemudian, cerita akhir novel menggabungkan dari semua tokoh. Ini keunikan Umar Kayam. Novel ini juga terlalu “jawa sentris”. Itu subjektivitas penulis novel. Ini bisa jadi keunggulan sekaligus kekurangan.
Deskripsi Wanagalih sungguh sempurna. Maklum, Umar Kayam lahir dan tumbuh di daerah tersebut. Setting waktu mencakup awal 1990-an, awal 1940-an sampai dengan era awal orde baru.
Saya membaca novel ini terbawa imajinasi ke masa lalu. Novel ini adalah novel humanis. Novel hiburan bagi yang hobi membaca. Novel perenungan bagi yang suka memaknai kehidupan. Novel ini tidak seberat novel eyang Pram namun cukup berisi dengan ajaran kehidupan.

www.zakisetiawan.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun