Di sebuah negeri yang tengah tumbuh demokrasinya, politik menjadi panggung utama bagi orang-orang yang ingin mengubah keadaan. Namun, di balik niat mulia itu, politik praktis sering kali melahirkan dilema moral yang sulit dihindari.
Suatu hari, di sebuah kota kecil bernama Mulyoharjo, dua tokoh dengan latar belakang berbeda terjun ke dunia politik untuk mencalonkan diri sebagai walikota. Mereka adalah Rendra, seorang pengusaha sukses, dan Anisa, seorang aktivis sosial. Keduanya memiliki visi yang sama: ingin membangun kota menjadi lebih baik. Namun, pendekatan mereka sangat berbeda.
Rendra adalah wajah politik praktis yang penuh dengan strategi. Ia memahami bahwa untuk mendapatkan kekuasaan, ia harus berkompromi. Rendra mulai mendekati pengusaha besar, menjanjikan proyek pembangunan besar jika ia terpilih. Ia juga merangkul tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki massa banyak, menawarkan jabatan di pemerintahan kelak sebagai imbalan dukungan. Bagi Rendra, politik adalah soal menang dan kalah. Dan untuk menang, ia harus mengambil jalan yang realistis, meski kadang harus menutup mata terhadap integritas.
Anisa di sisi lain, mewakili idealisme politik. Ia percaya bahwa perubahan harus datang dari akar moral yang kuat. Tanpa mengandalkan dana besar, ia mengandalkan kepercayaan rakyat melalui kampanye dari pintu ke pintu. Namun, perjuangan Anisa tidak mudah. Banyak orang yang skeptis akan kemampuannya memimpin tanpa dukungan finansial yang besar. Para politisi senior pun menganggapnya naif, mengatakan bahwa "politik tanpa uang hanyalah mimpi."
Masa kampanye semakin mendekati puncaknya. Rendra semakin gencar menggelontorkan uang, menyelenggarakan acara besar-besaran, membagikan sembako, dan memberikan janji-janji manis yang menggiurkan. Di sisi lain, Anisa terus berkeliling kota, berbicara dari hati ke hati dengan warga, meski tanpa iming-iming material.
Hari pemilihan tiba. Hasilnya menunjukkan bahwa Rendra menang telak dengan dukungan luar biasa dari masyarakat. Bagi sebagian besar orang, kemenangan ini sudah bisa diprediksi sejak awal. Namun, kemenangan Rendra menimbulkan pertanyaan mendasar di kalangan masyarakat: apakah politik praktis yang penuh taktik dan kompromi benar-benar membawa kebaikan jangka panjang? Di sisi lain, apakah idealisme murni seperti yang dibawa Anisa bisa bertahan di dunia politik yang begitu kompleks dan penuh intrik?
Cerita ini menggambarkan bahwa politik praktis sering kali dihadapkan pada dua pilihan: apakah kita memilih untuk berkompromi dengan kenyataan demi mencapai kekuasaan, atau tetap memegang idealisme dengan risiko kalah di arena politik. Meskipun Rendra menang, pertanyaan moral tetap menggantung: apakah kemenangan itu sebanding dengan harga yang harus dibayar? Anisa, meskipun kalah, tetap menjadi simbol harapan bahwa suatu hari, politik bisa dijalankan dengan hati nurani.
Di akhir cerita, negeri itu terus berputar dalam siklus politik praktis, di mana kompromi dan strategi menjadi hal lumrah. Tapi setiap kali pemilihan datang, orang-orang masih mengingat kisah Anisa, yang pernah mencoba menawarkan jalan lain---jalan yang mungkin tidak cepat atau mudah, tapi lebih murni dan jujur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H