Mohon tunggu...
Sancaka
Sancaka Mohon Tunggu... Guru - Kemerdekaan berfikir tanpa batasan dogma

Menjaga kewarasan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Roman

Sakit tanpa Obat

16 Juni 2023   09:10 Diperbarui: 16 Juni 2023   09:14 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Ketika dirimu memilih,untuk tidak memberikan ampunan atas selembar nyawaku,memutuskan untuk mengabaikan permohonan jiwa ragaku....yang terjadi dan ku alami sekarang adalah bentuk ketidak berdayaan sekaligus pemberontakan jiwa ragaku,atas apa yang sebelumnya tidak pernah terfikirkan sedikitpun untuk ku jalani.

Kamu sangat faham,seperti apa jiwa dan ragaku membutuhkan semua tentang mu.Barangkali kamu juga belum lupa,apa yang terjadi terhadapku saat itu,ketika hanya karena perdebatan kita tentang apa yang telah dan sedang kita jalani..saat itu nyaris selembar nyawaku melayang kembali ke hadapan Nya,tanpa sebab apapun.Semata mata hanya bereaksi atas apa yang sedang terjadi.Aku tak mampu mengendalikan jiwa ragaku sendiri.Masing-masing melakukan protes dengan cara nya sendiri.Semua itu gambaran seperti apa keterikatan jiwa ragaku terhadapmu.

Saat ini,terbaring dalam ketidak berdayaan harus ku jalani.Semua orang tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya ku alami.Dan mereka juga tidak akan mampu membuatku puih seperti semula.Hanya dirimu yng tahu kenapa aku jadi begini,dan cuma dirimu yang mampu mengobati diriku.Karena dirimulah dokter sekaligus obat semua penyakit ku..dan kamu juga sangat faham akan hal itu.

Dalam sepi sendiri aku merintih dan meratap atas rasa sakit,perih,pilu jiwa ragaku.Menangis tanpa suara di keheningan,mengalir air mata ketidak berdayaan dengan sendiri nya.Hanya nama mu yang selalu terlisankan dalam hati.wajah dan senyuman mu senantiasa menghiasi setiap sudut ruang pandangan mataku.

Di sudut relung hati yang paling dalam,selalu bermimpi dan berharap dirimu sudi menghampiri...menhilangkan semua rasa sakit dan pilu yang senantiasa terintih dalam jiwa yang terasa hampa.Aku tahu dan memaklumi,jika salah yang sudah ku buat,begitu besar tak terampunkan oleh mu..bahkan tak cukup selembar nyawa ku untuk menebus semua itu.Dan hal yang wajar,jika kamu lebih memilih membiarkan aku terbaring dalam ketidak berdayaan,sendiri menatap sang maut yang setiap detik bisa menghampiri...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun