Di zaman Nabi Muhamad SAW ada seorang lelaki yang jika di depan Nabi ia sangat baik dan santun, namun setelah Nabi pergi ia kembali ke watak aslinya yang jahat, suka mengadu domba. Ia adalah Abdullah Bin Ubay. Dalam balutan hipokritisme yang sewarna kita bisa melihat juga pada tokoh Dewa Romawi, yaitu Janus. Janus bermuka dua, di depan dan di belakang. Bermuka dua bisa diartikan positif, sebagai media untuk melihat masa depan dan masa lalu. Namun sayangnya idiom "bermuka dua" telah terlanjur dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Lalu ada juga tokoh dalam pewayangan, yaitu Sengkuni. Kerajaan Astina yang awalnya aman dan tenteram tiba-tiba saja diporak-porandakan oleh Sengkuni, dengan politik adu domba demi meraih ambisinya.
Ketiga tokoh diatas adalah mewakili sikap atau sifat hipokrit atau munafik. Lalu apa hubungannya dengan Munarman, yang beberapa waktu lalu ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror dengan tuduhan terlibat aksi terorisme? Tentu saja tidak sama secara harfiah, tetapi ada satu hal yang bisa membuat mereka berada di satu ruang yang sama: sifat mengadu domba.
Ketika Munarman ditangkap di rumahnya, maka berkembanglah narasi-narasi yang berlindung di balik senjata pamungkas: HAM. Hal-hal sepele pun diangkat ke permukaan, sehingga menjadi persoalan yang amat signifikan. Misalnya, soal Munarman tak diijinkan memakai sandal, matanya ditutup ketika sampai di Polda Metro Jaya. Hal-hal sepele seperti itu seolah hendak menutupi hal yang paling krusial, yakni keterlibatan Munarman di dalam aksi pembaiatan anggota ISIS di Sulawesi Selatan dan kota lainnya. Terbaca sekali ada upaya untuk membentuk image betapa Munarman sesungguhnya tidaklah bersalah, ia baik, lalu diperlakukan secara tidak manusiawi.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Munarman, SH. adalah jubir FPI, advokat, mantan aktivis HAM, mantan ketua umum YLBHI dan kemudian beralih menjadi Panglima Komando Laskar Islam, kelompok FPI.
Menurut para pakar hukum Munarman masih akan berurusan panjang dengan aparat kepolisian lantaran memiliki dosa-dosa lain selain terorisme dan baiat ISIS. Pembaiatan untuk menjadi anggota ISIS yang dilakukan para anggota FPI merupakan moment yang tepat bagi aparat untuk menangkap mantan pentolan Front Pembela Islam (FPI) itu. Dimana Tempat pembaiatan jaringan terorisme ISIS yang diduga dilakukan Munarman tersebut terdapat di 3 kota yaitu di Jakarta, Makassar, dan Medan.
Pihak kepolisian, dalam hal ini adalah Densus 88 Anti Teror  sudah bekerja secara professional dan proporsional, mereka pasti tidak akan bekerja melebihi batas kewenangan, tak juga bertindak diluar kaidah hukum. Hal-hal sepele yang diributkan itu pastilah telah sesuai dengan protap penangkapan seorang tersangka teroris. Tak perlu membandingkan penangkapan tersangka teroris dengan tersangka koruptor atau maling ayam, itu sangat berbeda konteks kasus dan hukumnya. Maka apa yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang memprotes perlakuan terhadap Munarman sejatinya adalah gambaran riil dari isi pikiran Munarman dan kelompoknya dalam upaya mengadu domba pihak kepolisian dengan masyarakat, dalam kemasan hak azasi manusia. Karena memang itulah gaya Munarman selama ini: mengadu domba antara masyarakat dengan aparat dan pemerintah. Itulah kemampuan maksimalnya.
Apa yang bisa dilihat secara gamblang dari penangkapan Munarman itu? Satu yang terpenting, yaitu terbukanya kedok yang selama ini dipakai oleh FPI. Kita tahu, begitu banyak selama ini narasi tentang FPI yang dianggap baik, menegakkan nilai-nilai Islam, sementara ada kegiatan mereka yang tak tertangkap oleh mata masyarakat awam, yakni keterlibatannya dengan jaringan terorisme internasional serta adanya perbuatan asusila dari oknum2 PFI ini. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh pihak kepolisian. Dan untuk membuktikan keyakinan itu Polri pun membeberkan bukti-bukti kuat.
Penangkapan Munarman kiranya membuka babak baru dari koridor hukum tentang bagaimana sesungguhnya posisi organisasi FPI di dalam penegakan hukum di Indonesia. Pembuktian bahwa FPI terkait kegiatan terorisme adalah pintu masuk untuk menindak FPI (seluruh pengurusnya terutama) secara lebih tegas dan kuat dasar hukumnya. Tak ada lagi perdebatan tentang "ormas baik yang didzolimi". Pembuktian bahwa FPI terkait dengan jaringan terorisme adalah kunci pamungkas yang akan menutup perdebatan itu.
Karena terorisme adalah kejahatan yang masuk di dalam kategori Crimes against Humanity, yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights atau Pelanggaran HAM Berat, maka tentu saja setiap anggota masyarakat akan menolak semua bentuk kegiatan itu, termasuk keberadaan organisasi yang terlibat di dalamnya. Penolakan massal itu terjadi secara genuine, tanpa harus ada pemaksaan dari pihak mana pun atau hasil dari rekayasa pendapat publik. Dengan demikian situasi ini akan "mempermudah" Polri di dalam bekerja secara total terkait penegakan hukum di Indonesia.
Sengkuni wajahnya berubah menjadi buruk karena ulah mengadu domba yang dilakukannya. Itulah bentuk hukuman yang harus ia terima. Apakah itu juga yang akan terjadi dengan Munarman dan FPI setelah ini?
You can run but you can't hide.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H