Akhirnya Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan menyatakan bahwa kelompok KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) Papua sebagai kelompok teroris. Sebuah keputusan hukum dan politik yang disambut baik oleh banyak kalangan. Malah sebagian menyatakan bahwa keputusan tersebut seharusnya telah lama dibuat, bukan baru saat ini.
Kelompok Teroris Bersenjata (untuk mengganti istilah Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua memang telah amat sangat meresahkan seluruh rakyat Indonesia, khususnya warga Papua. Bertahun-tahun mereka menyebarkan teror secara fisik maupun psikis. Di dalam aksinya selama ini ribuan orang mereka bunuh, dari mulai aparat TNI/Polri hingga warga sipil. Dengan mental pengecut mereka selalu melarikan diri ke dalam hutan setelah melakukan aksi teror.
Sejarah munculnya Kelompok Teroris Bersenjata (KTB) Papua ini dimulai saat Belanda menyerahkan Papua kepada UNTEA (United Nation Temporary Excutive Administration) pada 1 Mei 1963. Penyerahan wilayah itu dengan catatan penting, yaitu harus diadakan pemungutan pendapat rakyat di tahun 1969. Ada pihak yang tidak menerima keputusan penyerahan wilayah itu dan tetap ingin Papua berada di bawah koloni Belanda. Ketidakpuasan itu terus bergulir, hingga mencapai puncaknya saat pemungutan suara rakyat justru menghasilkan suara mayoritas untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia. Maka mulailah Kelompok Teroris Bersenjata itu beraksi. Nama yang mereka sandang adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ada dua hal penting dari keputusan Pemerintah yang "menaikkan derajat" KKB menjadi kelompok teroris. Pertama adalah adanya ketegasan Pemerintah untuk mempolarisasi antara gerakan pembela HAM dan gerakan pemberontak bersenjata. Kedua, keputusan Pemerintah itu menegaskan juga sebuah keyakinan bahwa terorisme tidak selalu terkait dengan agama tertentu.
Pemerintah selama ini selalu gamang atas munculnya isu pelanggaran HAM setiap kali aparat melakukan tindakan tegas terhadap kelompok pemberontak di Papua, termasuk tindakan terhadap para pendukung kelompok itu di luar Papua. Berlindung di balik isu HAM adalah gaya khas mereka, sambil menutup mata atas kekejaman kelompok bersenjata itu terhadap warga sipil. Pemerintah terlihat setengah hati untuk menumpas kelompok bersenjata itu, sementara kelompok bersenjata itu makin membesar secara kekuatan dan politik.
Kekuatan politik memang dimainkan oleh orang-orang pendukung kelompok bersenjata Papua, terutama di luar negeri. Mathias Wenda, Benny Wenda dan Veronica Koman adalah diantaranya yang menghembuskan isu soal adanya ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum di Papua. Mathias dan Benny malah lebih jauh lagi tindakannya, karena mereka adalah pendiri dua kelompok pemberontak di Papua, yaitu Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNCL) oleh Mathias Wenda dan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) oleh Benny. Kedua kelompok ini gencar sekali aksinya, yang kemudian didukung pula oleh gerakan vokal mengatas-namakan HAM oleh Veronica di Australia.
Kegamangan Pemerintah di dalam menindak kelompok teroris bersenjata di Papua di satu sisi memang bisa dipahami, karena tak semua negara memandang para pemberontak di Papua itu sebagai kelompok penjahat. Sebagian ada yang menganggap mereka sebagai kelompok yang perlu disupport perjuangannya. Situasi inilah yang membuat Pemerintah seperti maju mundur di dalam menghadapi teroris bersenjata itu. Maka yang terjadi adalah para aparat baru mengejar mereka di saat mereka selesai melakukan aksi, bukan melakukan tindakan yang sifatnya komprehensif.
Keputusan untuk menetapkan KKB menjadi kelompok teroris adalah pintu masuk bagi penegakan Hukum di NKRI secara lebih masif, tanpa harus khawatir akan dikecam oleh negara-negara lain. Rasanya tak ada satu negara pun yang secara terbuka membela kelompok teroris. Tentu saja ini sebuah kemenangan besar bagi aksi penegakan hukum dan kedaulatan NKRI di Bumi Papua. Sejak saat ini akan terlihat jelas polarisasi itu: mana gerakan pembela HAM dan mana gerakan pembela teroris di Papua. Pemetaan ini akan dengan sendirinya muncul.
Kita pahami bersama bahwa pembunuhan yang dilakukan KKB Papua kepada warga ini juga melanggar HAM, Hak hidup manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, bukan tafsir sepihak kelompok LSM yang berlindung dibalik kata "Humanis".
Hal lain dengan adanya pernyataan resmi dari pemerintah RI bahwa KKB Papua sebagai teroris. Bahwa perubahan status ini masih dan akan menimbulkan pro dan kontra bagi para penggerak HAM di Tanah Air.
Status sebagai kelompok teroris dari pemerintah kepada KKB Papua bukan karena adanya rasa kebencian, Status ini diberikan negara untuk melindungi warganya dari penculikan,penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Maka negara harus hadir melindungi warganya agar bebas dari rasa takut dan ancaman kematian.
Bagi sebagian orang tambahan status teroris bagi KKB Papua diperkirakan akan memperburuk situasi keamanan dan kemungkinan salah tangkap antara warga sipil yang tidak terlibat dan KKB (kelompok teroris)