Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU HIP Berhadapan dengan Suara Rakyat

8 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 8 Maret 2021   13:20 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya Pemerintah meminta kepada DPR untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Lewat Menko Polhukam Mahfud MD, Pemerintah menyatakan menunda untuk membahasnya dan meminta DPR sebagai pengusul untuk banyak berdialog dan menyerap aspirasi dulu dengan semua elemen masyarakat. 

Pemerintah juga menyatakan, jika tahapan sudah mencapai pembahasan dengan pemerintah, pemerintah akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 di dalam konsiderans RUU HIP. Pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final karena berdasarkan TAP MPR No I Tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

Apa yang dikemukakan Pemerintah sebenarnya adalah sebuah ketegasan tentang posisi Pemerintah di dalam pembahasan RUU HIP ini, dengan segala keriuhannya yang terjadi di masyarakat. Pemerintah memberikan kepastian bahwa ide RUU HIP adalah sepenuhnya datang dari DPR. Rupanya Pemerintah ingin keluar dari kegaduhan yang terjadi dan tak ingin jadi pihak yang diserang dan disalahkan.

Sejak awal RUU HIP memang sudah memicu kegaduhan, sebab ada beberapa bagian yang dianggap mengada-ada, bahkan berpotensi bagi munculnya kembali paham komunis di Indonesia. Masyarakat membaca seperti ada usaha untuk mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan ideologi komunis di Indonesia. 

Usaha itu makin terbaca jelas saat secara tersirat yang ingin memeras Pancasila menjadi Trisila, bahkan Ekasila, dimana sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa tak lagi ada. Bagian inilah yang paling memicu kontroversi.

Penolakan terhadap RUU memang hebat. Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI)  melakukan penolakan dengan didukung oleh 34 pengurus daerah. Ini pertama kalinya terjadi MUI mengeluarkan pernyataan yang didukung secara penuh oleh kepengurusan daerah. Ketika MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang Ahok hanya didukung oleh sebagian kecil pengurus daerah.

Hal yang juga menarik adalah adanya lahirnya "sebuah kebersamaan" diantara ormas yang selama ini berseberangan, seperti Banser NU, FPI dan FUI. Dalam perbedaan mereka menjalin sebuah kesepakatan untuk menolak RUU HIP. Banser NU tentu punya sejarah buruk tentang komunis, dalam hal ini adalah pembataian yang dilakukan oleh PKI terhadap para ulama NU di masa lalu. Sementara FPI dan FUI memiliki kekhawatiran bahwa RUU HIP itu akan merusak akidah dan eksistensi Umat Islam di Indonesia.

Sejatinya RUU HIP itu, seperti dikatakan oleh cendikiawan Yudi Latif, berpotensi merobek persatuan bangsa. Pada pasal 6 (ayat 1) RUU ini disebutkan bahwa "Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial".  

Pernyataan ini disusul oleh pasal 7 yang menyatakan bahwa: (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. (2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Bung Karno pada 1 Juni 1945 memang pernah menawarkan konsep "pemerasan" Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila, namun konteksnya adalah dalam rangka menemukan kesederhanaan, jika memang konsep Pancasila sulit diterima. Maka menjadi sangat aneh jika saat ini, saat Pancasila telah diterima sebagai ideologi selama puluhan tahun, tiba-tiba ada usulan untuk menyederhakan jumlah sila-nya.

DPR memang menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas munculnya keriuhan ini. Bentuk tanggung jawabnya adalah mendengar lebih dalam lagi suara rakyat, termasuk menjawab kecurigaan masyarakat bahwa di DPR ada unsur yang memegang dan mengagumi ideologi komunis. Jika DPR berkeras membahas RUU HIP -- apalagi sampai mengesahkannya menjadi Undang-undang -- maka bukan tak mungkin kecurigaan itu bisa berkembang menjadi keyakinan. Keyakinan bahwa ada pihak yang ingin melahirkan kembali faham komunisme dalam bingkai undang-undang. Sangat berbahaya jika pintu masuknya kembali faham komunisme disahkan secara hukum dan kelembagaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun