Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KM 50, 50 KM

27 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:10 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah kejadian di KM 50 yang menewaskan 6 anggota FPI, keriuhan segera terjadi. Banyak pihak membonceng kejadian itu "untuk dan atas nama" kemanusiaan. Fenomena munculnya para pembela HAM yang dadakan ini terkesan sangat kicth, tidak natural. Kelihatan sekali polesan-polesannya, yang bukan sedap dipandang justru malah menimbulkan rasa lucu dan aneh. Lucu, karena selama ini sebahagian besar dari mereka sangat jauh dari soal-soal HAM, bahkan seolah menutup mata atas pelanggaran yang selama ini, tapi tiba-tiba muncul bagai pendekar yang berpedang, yang ia sendiri pun tak paham bagaimana menggunakan pedang itu. Mereka juga aneh, karena menyerang pihak kepolisian tanpa pemahaman yang cukup atas kasus di KM 50 itu. Tak benar-benar paham bagaimana kronologisnya, bagaimana prosedur tetap anggota kepolisian di dalam menghadapi sebuah insiden.

Patut dipercaya bahwa respons terhadap kejadian di KM 50 itu, tentu respons yang sifatnya menyalahkan kepolisian, adalah sebuah skenario besar, bukan sebuah tindakan yang bersifat refleks dan genuine. Ada sebuah skenario besar yang disusun oleh kekuatan masa lalu, dimana saat ini mereka lebih menempatkan dirinya sebagai king maker. Ketiga kekuatan besar itu adalah Cendana, Cikeas dan Chaplin. Dengan kekuatan pengaruh dan finansial yang mereka miliki, mereka mulai membangun fondasi yang kelak mereka harap akan jadi bangunan megah bernama kekuasaan. Dan salah satu pintu masuknya adalah kejadian di KM 50 itu.

Narasi demi narasi memang terus meluncur dari sisi media yang mereka miliki, membangun public opinion yang seolah jujur, akuntabel dan independen. Padahal di balik narasi media mereka itu sama sekali tidak mencerminkan kejujuran, akuntabilitas dan independensi. Maka yang terjadi kemudian adalah pemutar balikan fakta, yang dibungkus oleh pesona narasi yang dibuat kesan cerdas dan berani.

Jadi para bohir berada di belakang semua ini? Berada di belakang orang-orang yang menyerang kepolisian? Ya, pasti. Kekuatan mereka menunggangi orang-orang yang selama ini dianggap "pejuang" atau "pembela", yang secara sadar atau tidak sedang memperjuangkan dan membela kepentingan pribadi para bohir, bukan kepentingan bangsa dan negara. Mereka lakukan itu karena secara logis membutuhkan ongkos dalam menjalankan operasi bodoh itu.

Sampai kapankah operasi bodoh itu akan berjalan. Terus dan terus. Kita ambil analogi lari estafet saja. Lari estafet 50 km yang diikuti oleh beberapa pelari. Para pelari itu berlari estafet, memberikan tongkat dari satu pelari ke pelari lain, hingga sampai di garis finish.

Operasi bodoh mereka memang harus dijalankan laksana lomba lari estafet, bukan lomba lari sprint atau marathon yang hanya diikuti oleh pelari solo. Itulah kenapa maka Cendana, Cikeas dan Chaplin menjadi pelari estafet itu, dengan pembagian tugas di jarak tertentu pada masing-masing pelarinya. Mereka harus memiliki kecepatan dan kekuatan yang sama untuk bisa sampai di garis finish. Pertanyaannya kemudian, apakah FPI sadar atas apa yang dilakukan oleh para bohir itu?

FPI sebagai sebuah kelompok tentu saja juga membutuhkan biaya operasi. Embel-embel Islam adalah salah satu pintu masuk untuk mendapatkan biaya itu. Pada bohir mensuplai biaya dan FPI menjalankan operasinya. Tentu saja ada agenda para bohir itu yang harus dijalankan oleh FPI. Agendanya adalah pembusukan terhadap pemerintah, yang diantaranya melalui narasi "pemerintah tidak amanah, dzolim dan tidak Islami". Kata Islam harus masuk ke dalam agenda, karena itu jualan yang paling laku di sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Lalu apakah para bohir tidak takut jika kemudian mereka akan harus jadi pembawa nilai khilafah seandainya mereka berhasil memegang kekuasaan?

Kita masih ingat pada Osama Bin Laden. Biang terorisme ini pada awalnya "dibina" oleh AS untuk melawan Soviet di Afghanistan. AS mensuplai apapun kebutuhan Osama dan kelompoknya. Di saat Soviet sudah kalah, maka AS pun kembali pada "khittahnya", memusuhi Osama dan menjadikannya target untuk dihancurkan. Dan AS berhasil. Pola itu bukan tidak mungkin akan terjadi pula disini. Para bohir menunggangi FPI dan para "pejuang dan pembela keadilan" untuk mencapai tujuan mereka, dan jika tujuan sudah tercapai maka MRS dan kelompoknya akan mereka tinggalkan.

Ya sejak kejadian di KM 50 memang telah terjadi lari estafet 50 KM yang sangat menguras tenaga dan kemampuan fisik. Apakah lari estafet itu akan sampai di garis finish? Seharusnya tidak dan memang tidak akan pernah terjadi. Masyarakat Indonesia yang sudah sangat paham situasi akan menjadi penonton di sini lintasan lari, lalu mereka akan menahan laju lari dari para pelari estafet itu. Tongkat estafet akan jatuh dan panitia akan mendiskualifikasi para pelari petualang itu. Petualang? Ya, sesungguhnya mereka bukan atlet yang sportif, mereka hanyalah petualang....

Marikir...Mari kita pikir dengan logika yang baik dan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun