Ibnu Sina, atau yang dikenal sebagai Avicenna dalam tradisi Barat, merupakan tokoh penting dalam sejarah psikologi Islam. Dalam karyanya, terutama "Kitab al-Nafs" (Buku tentang Jiwa), Ibnu Sina menggabungkan konsep-konsep psikologis dengan prinsip-prinsip filosofis Islam.
Ibnu Sina memandang bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga aspek utama: nafs (jiwa), akal, dan qalb (hati). Nafs adalah bagian yang paling dasar dan berkaitan dengan keinginan dan naluri. Sementara itu, akal adalah kemampuan untuk berpikir dan merenung, sedangkan qalb adalah pusat spiritualitas dan kesadaran.
Dalam pandangannya, proses pendidikan dan pengembangan diri sangat penting. Ibnu Sina menekankan perlunya melatih akal dan nafs untuk mencapai kebijaksanaan dan kebaikan moral. Ia menyatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada pengetahuan eksplisit, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moralitas.
Konsep Ibnu Sina tentang jiwa juga terkait erat dengan konsep kebahagiaan. Baginya, kebahagiaan sejati dapat dicapai melalui pengetahuan, kebijaksanaan, dan keseimbangan antara keinginan duniawi dan kebutuhan spiritual. Ini mencerminkan integrasi antara psikologi dan nilai-nilai keagamaan dalam pandangan Islam.
Selain itu, Ibnu Sina mengajukan teori tentang penyakit jiwa dan cara penyembuhannya. Ia merinci bahwa ketidakseimbangan dalam tiga aspek jiwa dapat menyebabkan gangguan mental, dan solusinya melibatkan terapi moral, pendidikan, dan latihan rohaniah.
Meskipun karyanya banyak dipengaruhi oleh tradisi Aristoteles, Ibnu Sina memberikan dimensi baru dengan menyelaraskan konsep-konsep tersebut dengan ajaran Islam. Pemikirannya telah memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan psikologi dan filsafat di dunia Islam, serta membuka jalan bagi pemikiran psikologis yang berbasis nilai-nilai keagamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H