Mohon tunggu...
Zairiyah kaoy
Zairiyah kaoy Mohon Tunggu... Penulis - Hipnoterapis, penulis buku seberapa kenal kamu dengan dirimu, bahagia dengan pemetaan pikiran.

Manusia sulit berpikir positif mengenai orang lain ketika ia berada pada muatan emosi negatif yang sangat kuat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dampak Toxic Positivity

28 Juli 2021   09:35 Diperbarui: 29 Juli 2021   10:44 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak ingin melihat orang terdekatnya, seperti keluarga, sahabat, dan kerabat yang sedang susah hati menjadi ceria dan semangat kembali menjalani hidupnya. 

Membuat mereka melupakan semua yang sedang dirasakannya, namun apa yang dirasakannya secara langsung berbeda dengan yang kita rasakan. Manusia akan bertemu dengan proses alamiah emosi dalam dirinya baik itu positif ataupun negatif.

Setiap manusia pasti mengalami loncatan emosi yang berpindah-pindah sesuai dengan peristiwa yang sedang terjadi dan hasrat ingin melewatinya dengan proses yang bertahap tentunya. 

Adapun upaya kita mengubah kesedihan dan keputusasaan tidak semudah berkata-kata dan hanya memberikan kalimat positif kepada mereka atau diri sendiri. 

Kalimat positif tersebut dapat berubah menjadi toxic positivity yaitu menolak pikiran negatif dan selalu berpikiran positif serta memaksakannya justru dapat memperbesar pikiran negatif.

Emosi negatif terkadang diperlukan untuk tingkat kewaspadaan terhadap sesuatu dan sebagai warning dan melindungi diri, namun tidak diperbesar, dengan cara menyeimbangkannya dengan pikiran positif. 

Tidak menghilangkan pikiran negatif secara total agar terjadi keseimbangan antara otak kiri dan kanannya. Peningkatan level emosi negatif menjadi emosi positif dibutuhkan beberapa kondisi, pola pelepasan dan pemahaman agar menemukan solusi, berikut penjelasannya:

Sumber. silhouette woman face covered by scarred/shutterstock.
Sumber. silhouette woman face covered by scarred/shutterstock.

Peningkatan Level Emosi

Emosi terdiri dari emosi positif dan negatif, terjadi di dalam otak besar (cerebrum) bagian kanan. Saat manusia mengalami peristiwa yang menyedihkan, ketakutan, kematian dalam keluarga, perselingkuhan, siksaan fisik dan psikis, pelecehan, dll, semuanya tersimpan di otak bagian kanan sebagai memori. 

Emosi ini membuat manusia berada pada level emosi (apatis, sedih, takut, marah) dan berada pada level yang rendah secara jiwa dan mengumpulkan energi negatif dalam kehidupannya.

Memori yang tersimpan ini tidak mudah dilepaskan begitu saja, dibutuhkan teknik khusus agar neuron yang ada pada memori tersebut dapat tereduce. Hal yang mudah dilakukan salah satunya dengan mengaktifkan memori bagian otak cerebrum kiri yaitu logika. 

Luasnya samudera di alam bawah sadar membuat manusia selalu menyelami memori yang tidak enak tersebut dalam hidupnya dan tercetus kembali ketika melihat atau mendengar hal yang sama seperti memori tersebut.

Ketika kita mengalami emosi-emosi negatif tersebut tentunya kita sulit menganalisis dan menemukan jalan keluar, apalagi menerima kalimat positif yang tiba-tiba tanpa menyentuh titik perasaannya. Otak manusia sangat memahami bahwa ia harus sabar, harus semangat, dll. Namun pada kondisi seperti ini mereka akan menolak kalimat tersebut. 

Emosi negatif seolah ditahan dan dilarang agar tidak keluar, sedangkan memori tersebut sedang menguat dan level masih berada di titik terendah dan butuh situasi yang tepat untuk mereducenya.

Manusia membutuhkan pikiran negatif sebagai pembanding dan untuk kewaspadaan dirinya. Namun bila pikiran negatif terlalu besar, dapat mengendalikan tubuh dan menekan pikiran positif di diri individu tersebut, sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. 

Pikiran negatif tersebut harus dibersamai dengan pikiran positif sehingga tidak dikendalikan oleh kemauan yang salah dan tidak semakin menurunkan level emosi ke tingkat yang paling rendah yaitu putus asa.

Pola Pelepasan

Kalimat positif yang dilontarkan kepada individu yang sedang berduka harus menyentuh titik perasaannya agar emosi negatifnya terlepas dan keluar bukan tertahan. 

Ketika ia bersedih, "saya turut berduka atas apa yang sedang terjadi dengan keluarga ibu" (maka ia akan menangis lebih kencang, menangis lebih kencang ini adalah bentuk emosi yang terlepas dari memorinya). 

Ketika ia marah, "iya, dia memang tidak bisa memahami kita, selalu saja bikin onar!" (ia akan semakin marah dan emosi negatif berupa kemarahan itu terlepas dari memorinya).

Kalimat provokatif  di atas diiringi dengan kalimat positif seperti "saya turut berduka atas apa yang terjadi dengan keluarga ibu, semua sudah kehendak Allah" atau "iya, dia memang tidak bisa memahami kita, tapi biar bagaimanapun ia bagian dari keluarga kita yang harus kita sayangi dan lindungi". 

Kalimat tersebut mengeluarkan emosi negatif dari alam bawah sadar dan mengaktifkan otak analisisnya yaitu alam sadarnya sehingga ia akan sadar apa yang harus dilakukannya, kalimat meneduhkan dapat menurunkan frekuensi otak manusia.

Bicara tentang Allah SWT, Tuhan semesta alam tentu kita harus berada di gelombang otak kanan dan kesedihan berasal dari memori cerebrum kanan dan amygdala, Allah SWT dan kesedihan manusia sama-sama berada di gelombang otak kanan, memudahkan kita memahami kehendak Allah. 

Kalimat ini baik bagi orang yang sedang mengalami kesedihan akibat kematian keluarga dan sahabat yang berhubungan dengan jantung atau perasaanya. Berlaku sebaliknya ketika individu mengalami emosi yang bersifat menganalisis diberikan kalimat yang berhubungan dengan Allah maka otak kirinya akan menolak dan akan semakin marah dan putus asa seolah Allah tidak adil kepadanya.

Emosi negatif berupa kemarahan cenderung bersifat menganalisis dan mengakses memori bagian kanan untuk mengeluarkan data sebagai penunjang kemarahannya dengan mengingat-ingat kesalahan orang lain di masa lalu dan akan menolak dengan keras bila kita membicarakan kuasa Allah. 

Itu sebabnya ketika kita menenangkan orang yang sedang marah yang terjadi kita malah dimarahi olehnya. Kemarahan tersebut tidak terlepas dari pikirannya lalu kita memotivasinya dengan kalimat maka emosi itu bukan reda tapi malah berkobar dan mulai menyalahkan kita.

Sibuknya gelombang otak beta pada cerebrum kiri yang selalu bersifat menganalisis dan membicarakannya, membuat emosi semakin membesar dan menimbulkan dendam kepada orang lain. 

Pada saat ini kalimat positif yang bersifat memotivasi akan tertolak dengan mulus. Sehingga kalimat tersebut menjadi toxic positivity baginya dan menjadi anti dengan kalimat motivasi, ia akan mengatakan "orang lagi kesel disuruh sabar, iya saya tahu harus sabar tapi gimana dengan emosi saya?".

Setelah terlepas dan tereduce maka semua memori negatif itu akan terurai dan level emosi mulai naik menuju semangat, lalu menerima, damai dan ikhlas. Memori alam bawah sadar yang telah bersih dari emosi negatif akan mudah menerima peristiwa dan mulai memahami sebab akibat. 

Kalimat positif dari sahabat dan kerabat akan mudah tercerna dengan baik, sehingga ia mampu menerapkan kalimat positif tersebut ke dalam kehidupannya.

Proses Pemahaman Pola Pikir

Pemahaman berasal dari ketenangan, saat individu mencoba memahami sesuatu melalui kemarahan, kesedihan, dan kebencian akan terasa sulit baginya. Kembali kepada frekuensi otak, pemahaman bermula dari frekuensi otak yang getarannya tidak terlalu kuat sehingga ia mudah mencerna banyak hal. Ketenangan berada pada frekuensi otak gelombang alpha (8-12 cps/ciclus persecond).

Toxic positivity akan terjadi ketika frekuensi otak manusia berada pada frekuensi yang tinggi. Frekuensi tinggi tersebut dapat mengakibatkan kalimat positif tersebut menjadi racun baginya dan dapat mencetuskan hal sebaliknya bukannya menerima malah menolak dengan frontal. 

Kemampuan memahami kata-kata dan kalimat dengan akurat ketika kita berada pada gelombang yang tenang dan kalimat positif dari orang lain akan efektif ketika individu sudah berada pada frekuensi otak yang sedang rileks.

Tidak selamanya kalimat positif dapat diterima oleh orang lain, ketika kondisi pikiran mereka dalam keadaan yang tidak menentu, kalimat itu tidak mampu meredakan. 

Seringnya kebaikan kita seolah tertolak karena tidak tepat memberikan kalimat positif kepada orang-orang yang sedang mengalami goncangan jiwa yang hebat. 

Frekuensi otak yang sibuk tidak akan waspada kepada ucapan orang lain tapi ia sedang sibuk dengan data pikirannya sendiri, tentunya pada frekuensi tegangan otak yang tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun