Kalimat memaafkan ini sering didengungkan oleh banyak orang, terkait pandemi COVID-19, bahwa kemarahan dan kebencian dapat menurunkan daya tahan tubuh seseorang sehingga mudah dikenai virus tersebut.
Walaupun penyebab turunnya daya tahan tubuh berasal dari beberapa faktor, namun kemarahan dapat mendatangkan penyakit lainnya ke dalam diri manusia. Tidak mudah, namun menjaga tubuh dari perasaan negatif diutamakan untuk diri kita sendiri.
Memaafkan merupakan awal dari penataan hidup manusia terhadap pencapaian dan keinginan. Terutama dalam sisi ibadah dan kesehatan. Menyimpan pikiran yang terlalu lama mengakibatkan komplikasi kepada tubuh dan pola hidup. Mempengaruhi segala sistem sosialisasi manusia tersebut.
Arti memaafkan dari kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya, tidak menganggap salah dan sebagainya lagi. Pembebasan seseorang dari hukuman karena suatu kesalahan. Ungkapan permintaan ampun atau penyesalan, ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu.
Memaafkan tidaklah mudah, namun mengapa sangat dianjurkan bagi manusia yang terzalimi?
Sebagian orang akan berkata, “enak bener ya, mereka yang menyakiti tapi kita disuruh memaafkan” atau, “harusnya dia yang meminta maaf bukannya saya yang memafkan begitu saja”.
Memang, mereka yang bersalah tapi setelah mereka meminta maaf apakah kita mau memaafkannya?
Seorang pakar emosi bernama Daniel Golemen (1999) dalam bukunya emotional intelligence membagi dimensi emosi (perasaan) menjadi 5, yaitu kesadaran diri, motivasi, pengakuan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan emosi 80% hingga 96% menentukan kesuksesan seseorang. Dapat dikatakan bahwa mereka yang mampu mengendalikan emosi secara verbal dan nonverbal mampu mengubah diri dan hidup menjadi lebih terarah.
Memaafkan merupakan rangkaian dari kecerdasan emosional (EQ), mampu menimbulkan empati, motivasi, dan membentuk kecerdasan spiritual (SQ) seseorang.