Apakah penggusuran (relokasi, kata Ahoker) menyelesaikan banjir, kemiskinan, dan masalah klasik Jakarta lainnya? Jika jawabannya 'Iya', berarti Ahok layak dipilih lagi. Jika sebaliknya, penggusuran justru menambah masalah baru, maka Ahok sudah mesti diganti. Kita tidak mau lagi Gubernur yang hanya bisa cari-cari masalah, bukan menyelesaikannya.
Jakarta merupakan kota penuh masalah. Dari banjir, hingga kemiskinan ada di kota ini. Untuk mengurai masalah tersebut, Ahok jalankan kebijakan penggusuran. Dan penggusuran di anggapnya solusi mengatasi masalah.
Lihat saja, Ahok sudah menggusur 14.900 jiwa dari enam ribu kepala keluarga (KK). Mereka sudah direlokasi ke rumah susun (rusun). Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta, Ika Lestari Aji menyatakan, mereka yang direlokasi di antaranya berasal dari Waduk Pluit, Kali Sekretaris, Kali Mookervart, Kampung Pulo, Pulomas, Kalijodo, Pasar Ikan, Waduk Ria Rio, Sodetan Ciliwung, serta lokasi lainnya. Dan sampai saat ini sudah kurang lebih 5.000-6.000 kepala keluarga yang direlokasi ke rusun. Jumlah tersebut, masih akan terus bertambah mengingat normalisasi sungai akan terus dilakukan,” kata Ika, Sabtu (21/5).
Program Ahok terlihat sangat baik, humanis. Makanya dia dengan begitu bangganya sekarang mencalonkan lagi sebagai gubernur DKI. Tetapi masalahnya kemudian, Apakah kehidupan mereka yang direlokasi meningkat, atau malah semakin sengsara?
Novi (30), mantan warga RT 13 RW 03 Kampung Pulo, mengaku lebih suka dengan suasana kehidupan seperti dulu. Menurutnya, karena akses di Kampung Pulo tidak menyulitkan dirinya dan ayahnya yang berusia lanjut. Dan sejak dia pindah ke rusun, dia merasa kehidupannya sangat susah, mau turun saja harus antri di lift, kadang liftnya rusak, jauh dari pasar dan akses kemana-mana juga jauh, sehingga sangat menyulitkan untuk pergi kemana-mana.
Yang paling buat dia merasa sakit hati, ketika Pemprov DKI menganggap dirinya dan warga masyararakat yang lain di bilang sebagai penduduk liar atau warga ilegal yang tidak sertifikat. Mereka dianggap tidak punya surat-surat, sehingga tidak ada ganti rugi apapun. Padahal, seperti dinyatakan Sandyawan, terdapat ratusan bukti kepemilikan yang dimiliki warga. Fotokopi surat-surat tanah, PBB, rekening listrik, KTP, dan KK yang sah berhasil dikumpulkan tim hukum. Sehingga dia merasa geram dengan kebijakan yang ditempuh Pemprov DKI saat ini, yang seolah mengabaikan rasa kemanusiaan penghuni bantaran Sungai Ciliwung.
Bagaimana ini bisa terjadi, padahal pemimpin yang seharusnya membela hak rakyatnya, tapi yang ada rakyat dibilang penduduknya liar dan warga ilegal. Padahal sudah jelas, masyarakat sudah tinggal dan bangun di tanah milih sendiri, tapi dengan mudahnya dilakukan relokasi dengan tanpa uang ganti yang setimpal. Ini potret pemimpin yang tidak mengedankan unsur kemanusian, dan menyemakan manusia barang, dan dengan mudahnya dipindahkan tanpa ada musyawarah terlebih dahulu.
Semakin banyak warga yang direlokasi justru semakin nambah masalah sendiri. Seperti yang di alami oleh Wiji, warga Bukit duri. Masyarakat Bukit Duri, dulunya rata-rata mereka mencari nafkah sebagai pedagang, misalnya dia pedagang bakmi, bakso, atau jamu, sedangkan Rusunawa bukan tempat strategis untuk berjualan, akibatnya banyak korban penggusuran yang kehilangan mata pencahariannya. Memindahkan mereka ke tempat rusun, sama halnya dengan membuang mereka ke hutan belantara, karena mereka juga akan kehilangan mata pencaharian. Bagaimana mereka bisa menyambung hidup jika mereka di pindah ke tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Wah, sungguh sangat prihatin sekali melihat masyarakat yang menjadi korban penggusuran, yang awalnya niatannya baik untuk kemajuan tapi yang ada malah semakin menambah masalah, dan memperbanyak pengangguran.
Kasus-kasus relokasi yang dilakukan Ahok, hanya semakin menambah masalah baru, karena tidak seharusnya dia main gusur saja, banyak hal yang perlu dipikirkan secara mendalam dan lebih mengedepankan rasa kemanusiaan.
Bagaimanapun juga, pemerintah wajib menjamin keberlangsungan hidup warganya, siapapun dan apapun statusnya.