Banyaknya isu dan kasus yang ada di Indonesia membuat kita lupa terhadap kasus-kasus besar yang pernah menggemparkan republik kita. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, pernah menjadi isu hangat dan menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia, tapi tidak tau kenapa kasus tersebut hilang dan tidak jelas perjalanannya, sepertinya kasus tersebut sudah tenggalam dan tidak jelas kelanjutannya, tetapi memang kasus tersebut sangat  dekat dengan spekulasi kepentingan Pilkada Jakarta.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam, maka isu dugaan penistaan Agama akan dipaksa lepas dari kepentingan politik Pilkada, karena penistaan agama menyangkut sekian banyak keyakinan dan hasrat berjuang menegakkan keadilan bagi umat muslim di Indonesia.
Padahal sejatinya, perlawanan orang banyak (rakyat) terhadap Ahok telah dilakukan jauh sebelum video yang menayangkan dugaan penistaan agama di kep.1000 beredar di media sosial. Mari kita lihat kembali, berbagai komunitas gerakan yang sering mengecam keras reklamasi teluk Jakarta yang sarat akan praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan penghilangan hak hak kesejahteraan rakyat nelayan, demi pemenuhan keuntungan kaum pemodal semata (kapital international).
Kemudian dugaan korupsi pembelian lahan rumah sakit sumber waras yang penuh kejanggalan, penggusuran pemukiman warga yang mengatasnamakan pembangunan, mulai dari trase kali ciliwung hingga lahan terbuka hijau, yang semuanya mengkerucut kepada taktik akumulasi keuntungan bagi kaum pemodal-pengembang (kapitalism international) dengan menabrak segala tata aturan pemerintah.
Terlebih lagi Ahok juga masuk dalam urutan nama-nama penerima proyek korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) senilai Rp 5,9 triliun. Ini merupakan kasus yang besar karena bukan hanya jumlah yang besar tapi juga melibatbatkan banyak nama-nama politisi.
Padahal sangat jelas dalam UUD 1945 yang selalu menempatkan kedaulatan rakyat adalah yang utama dalam konteks berjalannya negara-bangsa republik Indonesia. Bagaimana mungkin kedaulatan rakyat akan tercipta jika pemimpin yang ada masih sama.
Dengan otoritas ditangan Ahok sebagai petahanan gubernur DKI Jakarta, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila di injak-injaknya, penggusuran paksa tanpa musyawarah dengan rakyat adalah salah satu bentuk mencederai pancasila.
Tercatat pula bahwa Basuki Tjahaja (Ahok) telah merelokasi 14.900 jiwa dari enam ribu kepala keluarga (KK) sudah direlokasi ke rumah susun (rusun). Bahkan sampai saat ini sudah kurang lebih 5.000-6.000 kepala keluarga yang direlokasi ke rusun. Jumlah tersebut masih akan terus bertambah mengingat normalisasi sungai akan terus dilakukan.
Padahal penghilangan hak tempat tinggal rakyat di tanah air sendiri dengan memaksa rakyat menyewa rumah susun tanpa jaminan hak milik dan ancaman diusir jika tak mampu membayar adalah bentuk yang sama saja menindas masyarakat kecil.
Maka, Hemat saya Ahok adalah salah satu contoh  pemimpin era post modern otoritarian, yakni seorang pemimpin yang bertopeng demokrasi rakyat, namun menggunakan segala instrumen aparatur negara untuk merepresif kedaulatan rakyat dan tak segan menyakiti hati dan perasaan rakyat.
Namun yang jelas, perbuatan yang dilakukan Ahok yang selalu menyentuh hati dan meresahkan masyarakat, seperti reklamasi pantai Jakarta perusak rezeki rakyat nelayan, korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras, dominasi kekuasaan asing atas tanah dan kekayaan SDA Indonesia, tidak pernah kita lupakan, walaupun penguasa sengaja menutupinya, sehingga kita dibuat lupa. Bahkan isu tersebut sengaja di tutup-tutupi, agar elektabillitas Ahok sebagai calon gubernur yang sekarang masuk putaran ke 2, tidak tercemar atau bahkan bisa mengurangi para pendukungnya.