Masuknya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)sebagai calon Gubernur DKI Jakarta di Pilkada DKI 2017 selalu menimbulkan masalah, dan masalah tersebut selalu berembet pada isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Tapi sebagian warga menilai kerja Ahok untuk DKI Jakarta banyak membawa perubahan, tetapi di sisi lain dengan banyaknya masalah yang ada, sehingga Ahok menjadi sosok tidak bisa mengakomodir berbagai perbedaan-perbedaan, dan perbedaan tersebut semakin mengancam toleransi dalam berwarga dan bernegara.
Data Survei Populi Center, 71% responden warga DKI, bahwa potret intoleransi jelang Pilakaada DKI putaran II mengalami peningkatan. Survei ini melibatkan 600 responden lintas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) (Kompas, 24/03/17).
Data ini menunjukkan bahwa sejak Ahok mencalonkan kembali menjadi gubernur DKI, berbagai masalah semakin muncul. Kita lihat saja, dengan tersangkutnya Ahok sebagai dugaan penistaan agama di kep.1000 beredar di media sosial, membuat timbulnya masalah-masalah yang sangat besar, yaitu Demo 212 dan demo-demo yang selanjutnya, ini semua  terjadi karena kesalahan Ahok yang tidak bisa menjaga omongannya, sehingga menjadi hati banyak orang merasa tersakiti.
Di lain itu juga demo yang dilakukan masyarakan dan elemen-elemen masyarakat yang mengecam keras reklamasi teluk Jakarta karena sarat akan praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan penghilangan hak hak kesejahteraan rakyat nelayan, semua itu dilakukan Ahok hanya untuk pemenuhan kaum pemodal semata (kapital international).
Selanjutnya, dugaan korupsi pembelian lahan rumah sakit sumber waras yang penuh dengan kejanggalan, bahkan berbagai penggusuran pemukiman warga yang mengatasnamakan pembangunan, mulai dari trase kali ciliwung hingga lahan terbuka hijau, yang semuanya mengkerucut kepada taktik akumulasi keuntungan bagi kaum pemodal-pengembang (kapitalism international).
Banyak program yang dilakukan Ahok selama dia menjabat gubernur DKI hanya melahirkan masalah-masalah. Terlebih lagi Ahok yang tidak mengedepankan Asas musyawarah dalam menjalankan programnya, sehingga berujung pada banyaknya masyarakat yang tersakiti. Ini menjadi kekurangan Ahok selama menjabat gubernur DKI.
Namun kita akui, secara kinerja Ahok memang cukup semangat, dan sudah banyak program yang dia perbuat untuk Jakarta, tetapi dalam hal solidaritas dan mengangkat kaum miskin sangat minim, karena program yang dilakukan Ahok lebih banyak menguntungkan pemodal-pemodal.Â
Terlebih lagi sosok Ahok yang tidak banyak diterima oleh berbagai golongan, sehingga sangat sulit untuk mengakomodir  warga Jakarta, padahal warga Jakarta sangat majemuk dengan bermacam-macam etnis, suku agama dan budaya, sehingga jika Ahok masih menjabat lagi sebagai gubernur DKI, hanya akan mengancam perpecahan.
Warga Jakarta berharap pada punya pemimpin yang bisa diterima berbagai golengan, agar tercipta Jakarta yang aman, tentram, tenang damai dan sejahtera. Sehingga pasangan Anies-Sandi merupakan sosok alterlatif agar menjadikan warga Jakarta yang damai. Â Mungkin secara program Anies-Sandi masih akan meneta dan baru memulai, cuma niat baik dan sosok yang bisa diterima menjadi modal dia, dalam membawa Jakarta yang lebih baik. Jika pemimpin terpilih bisa diterima oleh berbagai golongan akan tercipta Jakarta yang harmonis, dan program yang dibuat akan didudukung semua orang. Jika Anies-Sandi dan sandi terpilih menjadi gubernur DKI, maka Jakarta akan semakin maju, karena semau program dan kerja dia bisa diterima oleh banyak orang, sehingga juga akan dirasakan semua orang, tanpa membedakan siapapun.
Mari wujutkan Jakarta yang Harmonis, bersama Anies-Sandi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H