Kepiting adalah hewan kecil yang unik. Tidak seperti keluarga udang dan lobster, kepiting bisa berlari menyamping dengan jepitan yang kuat. Kepiting juga mampu menggali lubang ke dalam pasir dengan cepat ketika bahaya mendekat. Seperti semua arthoprpda, kepiting harus melepaskan cangkang kerasnya secara teratur agar dapat terus tumbuh. Kepiting yang masih sangat kecil, yang perlu banyak waktu untuk tumbuh, mengganti cangkang setiap tiga atau empat hari. Jika kita menangkap beberapa kepiting dan meletakkan di ember atau panci, ketika ada salah satu kepiting itu memanjat keluar, kepiting lain akan menggunakan capitnya dan menarik kepiting yang naik ke atas tadi kembali ke bawah. Jadi, jika kita bisa mengumpulkan seember kepiting, tidak satu pun kepiting akan lepas. Karena kepiting-kepiting di dalam ember itu tidak akan saling mendorong ke atas, justru yang terjadi kepiting akan menarik kepiting lainnya yang mencoba melepaskan diri. Sayangnya, kebiasaan dan perilaku mirip kepiting juga terjadi dalam kehidupan manusia. Tampaknya ini menjadi salah satu sifat manusia, iri kepada orang lain yang akan melampaui dirinya, kemudian menurunkan orang lain secara tertulis atau verbal. Atau setidaknya dengan kritik dan penilaian. Bahkan dalam keluarga kita, hal ini bukanlah pengecualian. Yang lebih memprihatinkan lagi, tanpa sadar seorang bisa lebih kejam dari kepiting. Khawatir jika ada orang lain yang menyamai atau mendekati kedudukannya, kemudian memberikan “jalan hambatan, jalan yang menyesatkan” terhadap jalan hidup orang tersebut. Ini ibarat guru yang tidak mau dilebihi ilmunya oleh muridnya. Guru gagal! Jika seseorang mencoba untuk melakukan sesuatu yang berbeda, mendapatkan nilai yang lebih baik, memperbaiki diri, melarikan diri dari lingkungannya (hijrah), atau memimpikan impian besar, orang lain akan mencoba menyeret kembali ke nasib mereka yang sama. Hukum kepiting sangat sederhana, tapi tidak mudah diterapkan. Kebanyakan insting kita adalah untuk mengkritik, mengoreksi, menyalahkan dan menghukum, tidak peduli bagaimana “konstuktifnya” yang kita inginkan, ini hampir selalu mempunyai hasil atau efek “menekan ke bawah.” Birokrasi kita masih banyak yang mempunyai sifat kepiting. Namun, dengan praktik kepiting seharusnya ada hal positif yang bisa kita ambil juga bahwa kepiting itu membuang cangkang lamanya untuk tumbuh. Kita pun harus mau berubah. Perubahan dilakukan dengan cara baru, paradigma baru, semangat baru. Setiap peristiwa ada hikmahnya. Dan mari ambil sisi lain dari sebuah peristiwa. Moral dari cerita: Abaikan kepiting. Isilah masa depan dan lakukan apa yang benar. Ini mungkin tidak mudah dan beresiko. Kita pun punya peluang berhasil dan memperbaki nasib, bukan berbagi nasib sebagaimana mereka yang tidak pernah mencoba. Chayo!!! [zh]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H