Pancasila merupakan ideologi yang menjadi dasar dari negara Indonesia, Pancasila terdiri dari lima sila, sila pertama yaitu ketuhanan yang maha esa, sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ketiga yaitu persatuan Indonesia, sila ke empat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan yang kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila pertama menjelaskan bahwasanya Indonesia merupakan negara yang mengakui tentang ketuhanan yang berarti bahwa Indonesia merupakan negara yang mengakui agama. Agama yang telah diakui secara resmi oleh tatanan hukum di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen, Katholik, Konghucu, Hindu, dan Budha.
Sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab berarti bahwasannya negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM.
Sila ketiga menjelaskan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, bahasa, dan agama. Untuk terciptanya persatuan dan kesatuan maka munculah semboyan Bhinneka tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan bhinneka tunggal Ika inilah yang menjadi dasar pemersatu bangsa Indonesia yang beragam.
Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sila ini menunjukkan bahwa negara Indonesia merupakan negara demokrasi dengan kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.
Sila kelima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, maksud dari sila ini adalah Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai keadilan bagi setiap rakyat nya tanpa membedakan antar suku, ras, dan agama.
Lantas apakah nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama sampai ke lima sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Kali ini kita akan berfokus pada nilai Pancasila ke-lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah nilai Pancasila sila ke-lima tersebut telah diterapkan?Â
Sering sekali kita jumpai masalah terkait dengan nilai sila kelima tersebut mulai dari masalah hukum maupun masalah terkait penyaluran bantuan dari pemerintah. Terkait masalah hukum banyak sekali kasus kriminal di Indonesia yang diselesaikan tanpa menerapkan nilai sila kelima tersebut. Pada kasus-kasus orang yang memiliki harta dan jabatan maka itulah orang yang akan memenangkan kasus tersebut dan jika terbukti bersalah maka akan mendapatkan hukuman yang ringan dan tidak setimpal dengan perbuatannya. Banyak masyarakat kecil yang terjerat dalam kasus pidana hanya karena hal sepele, namun bagaimana kah para koruptor dan orang-orang yang memiliki kekuasaan? Saat mereka tertangkap dalam tindak pidana mereka malah mendapat hukuman yang ringan dan tidak setimpal dengan perbuatannya. Salah satu contohnya yaitu kasus korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto 2018 lalu, kasus korupsi tersebut membuat negara mengalami kerugian hingga Rp 2.3 Triliun, namun terdakwa hanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Putusan tersebut sangat tidak berimbang jika dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh negara.Â
Lalu bagaimana jika rakyat kecil yang melakukan tindak pidana? Ya, seperti yang kita tahu jika seseorang rakyat kecil melakukan tindak pidana maka hukum akan bersifat tegas seperti halnya pada kasus Andi Syahputra 2019 silam yang divonis 7 tahun pelajaran hanya karena mencuri setandan pisang yang bernilai Rp 150.000, pada kasus lain yang terjadi pada Saulina Sitorus nenek asal Toba Samosir tahun 2018 silam yang terkena hukuman 1 bulan 14 kurangan penjara hanya karena menebang pohon durian milik milik kerabatnya.
Terbukti sudah bahwasanya hukum di Indonesia masih bersifat tajam ke atas dan tumpul kebawah. Hukum di Indonesia hanya bersikap tegas pada rakyat kecil akan tetapi tidak berani menindak tegas orang-orang yang memiliki harta dan kekuasaan.Â