Mohon tunggu...
zainul munasichin
zainul munasichin Mohon Tunggu... -

Wakil Sekjend DPP PKB, Pegiat Lembaga Inspirasi Desa Nusantara (IdeNU)

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKB dan Jokowi; Sejarah Panjang Persabahatan Nahdliyin-Marhaen

28 Mei 2014   01:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:03 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak bisa dipungkiri, sejarah hubungan warga NU dan kaum Marhaen dalam sejarah perjalanan bangsa sangat erat, saling mengisi dan saling menguatkan satu dengan yang lain. Terdapat begitu banyak peristiwa sejarah dalam dinamika perpolitikan nasional Indonesia menandai momentum kebersamaan NU dan Marhaen. Setidaknya ada lima peristiwa bersejarah, bagaimana NU dan Marhaen tampil bersama menjadi kekuatan politik penyelamat bangsa.

Pertama, pada era pergerakan nasional atau era pra kemerdekaan. Pada tahun 1930-an, politik identitas nasional mengeras dalam berbagai macam ideologi yang satu dengan yang lain sulit disatukan. Sebagian kelompok-kelompok Islam yang tergabung dalam gerakan Pan Islamisme menginginkan ketika Indonesia kelak merdeka harus berdasarkan azas Islam. Argumentasi mereka adalah mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu, sangat wajar jika Indonesia memilih Islam sebagai azas negara. Keinginan ini ditentang oleh tokoh pergerakan lainnya yang berhaluan komunis. Mereka menginginkan jika Indonesia merdeka harus mengambil jalan ideologi komunis karena dianggapmewakili potret kehidupan masyarakat Indonesia yang proletar akibat eksploitasi kapitalisme selama rentang waktu imperalisme dan kolonialisme.

Bung Karno sendiri berusaha menempatkan diri pada posisi yang netral dengan tetap mengedepankan Nasionalisme sebagai pijakan utama mengatasi Islam dan Komunisme. Bung Karno juga menawarkan ideologi alternatif bernama Marhaenisme. Yaitu sebuah ideologi yang lahir dari kearifan lokal Indonesia yang merepresentasikan cita-cita tentang kesejahteraan dan kemandirian sebuah bangsa tanpa harus bergantung kepada pihak luar, tak terkecuali soal ideologi.

Upaya Bung Karno untuk menyatukan Islam, Komunis dan Marhaenis bukan hal yang mudah. Pada saat itulah Nahdlatul Ulama mengeluarkan rumusan penting tentang dasar negara dalam Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni 1935atau sepuluh tahun sebelum Indonesia merdeka. Rumusan Muktamar NU Banjarmasin dengan tegas menyatakan menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara. NU lebih menginginkan Islam sebagai spirit dalam kehidupan kebangsaan. Rumusan ini membuat nilai tawar Bung Karno dengan ideologi Marhaenisme-Nasionalisme di hadapan kelompok-kelompok Islam menjadi kuat.

Kedua, momentum kebersamaan NU dan Marhaen itu ketika perumusan dasar negara Indonesia di sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan Tahun 1945. Saat itu di Tim Sembilan terjadi perdebatan yang sengit tentang dasar negara Indonesia yang kemudian menemui jalan buntu. Perwakilan Islam berusaha memaksakan diri untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara atau yang lebih dikenal dengan istilah Piagam Jakarta. Hal ini ditentang oleh perwakilan dari non muslim yang mengancam memisahkan diri dan tidak akan ikut dalam pendirian NKRI. Perwakilan NU di Tim Sembilan, KH. Wahid Hasyim menawarkan rumusan jalan tengah yang kemudian dielaborasi oleh Bung Karno menjadi sila 1 Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan ini akhirnya diterima oleh semua kalangan termasuk kelompok-kelompok Islam, meskipun dengan terpaksa. Namun, posisi NU yang menyetujui rumusan Pancasila Bung Karno menjadikan kelompok-kelompok Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. tidak bisa berkutik.

Ketiga, momentum kebersamaan NU dan Marhaen juga terulang ketika Bung Karno mengirimkan utusan khusus kepada Roisul Akbar NU, KH. Hasyim Asyari di Ponpes Tebuireng Jombang yang meminta fatwa kepada Kyai Hasyim tentang hukumnya berjihad membela negara atau tanah air bukan membela Islam atau agama. Fatwa ini diperlukan oleh Bung Karno untuk menggerakan perlawanan rakyat semesta kepada Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia karena kekuatan militer Indonesia masih sangat tidak memadai. Fatwa yang terkenal dengan sebutan Resolusi Jihad NU itu lantas mengobarkan perlawanan rakyat di seluruh pulau Jawa dan memperkuat posisi diplomasi Indonesia di hadapan Belanda.

Keempat, momentum kebersamaan NU dan Marhaen juga terulang ketiga Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi membubarkan konstituante dan kembali ke UUD 1945 serta membentuk Poros Politik yang disebut dengan Nasionalis-Agama-Komunis (NASAKOM). Dekrit ini ditentang oleh Kelompok Islam Masyumi dan juga kelompok Sosialis (PSI). NU, menjadi satu-satunya kekuatan politik Islam yang berani mengambil keputusan mendukung Dekrit Presiden dan bergabung dengan poros NASAKOM. Dengan masuknya NU di NASAKOM, membuat legitimasi politik Bung Karno menjadi kuat. Unsur agama/Islam telah terpenuhi dengan masuknya NU. Bahkan NU meganugerahi gelar kepada Bung Karno waliyul amri addoruri bissyaukah, yaitu gelar kepemimpinan politik yang disahkan menurut Islam dan menjadikan seluruh kebijakan negara tidak perlu lagi dipertanyakan keabsahannya menurut Islam.

Kelima, momentum kebersamaan NU dan Marhaen juga ditunjukkan ketiga Gus Dur dan Ibu Megawati Seokarnoputri berduet memimpin Republik Indonesia.Bulan madu NU dan Marhaen ini tidak berlangsung lama, karena mengundang kecemburuan kekuatan politik lain tak terkecuali kepentingan-kepentingan asing. Mereka sadar betul ketika NU-Marhaen bersatu, itu artinya tidak ada lagi yang tersisa bagi kekuatan politik lain untuk bermain-main terhadap republik ini. NU dan Marhaen adalah dua kekuatan politik terbesar di republik ini yang memiliki akar sejarah dan basis dukungan paling riil dan paling besar.

Momentum kebersamaan NU-Marhaen itu sekarang terbuka lebar dengan koalisi PKB dan PDIP. Inilah kesempatan warga NU dan kaum Marhaen yang nota bene sebagai kekuatan politik terbesar di republik ini untuk kembali mengambil haknya untuk mengelola republik ini demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kemandirian rakyat

[caption id="attachment_338676" align="alignleft" width="320" caption="Persahabatan NU-Marhaen"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun