Mohon tunggu...
Zain Rusdy
Zain Rusdy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat Galau ...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Luasnya Wawasan Menjadikan Hidup Tenang

3 Juni 2013   10:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:36 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saat ini, saya ingin membicara soal wawasan dan pengaruhnya pada ketenangan hidup. Kenapa soal ini dibahas? Tidak lain, hanya untuk menambah dan membagi wawasan dan hidup ini akan tenang. Jadi, sebelum panjang lebar sekalipun, saya berani menegaskan bahwa ketenangan di dalam menjalani hidup akan diperoleh apabila wawasan kita ini luas. Alias tidak sempit. Alias hidup terasa sempit dan menyesakkan dada apabila wawasan ini sempit dan picik.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa dengan wawasan hidup ini menjadi tenang? Mohon maaf, saya tidak bisa memaparkan jawaban secara ilmiah dalam perspektif psikologis, psikis, normatif, dan entah apa lagi. Saya hanya ingin memberikan sedikit analogis-rasionalis yang saya dapatkan dari pengalaman hidup selama ini. Secara singkat kita bisa mengatakan, bahwa wawasan terkait erat dengan soal pengetahuan. Orang yang berwawasan artinya juga orang yang berpengetahuan. Sedangkan mayoritas dari semua problem hidup ini berasal dari ketidak-tahuan kita di dalam memandang realitas kehidupan ini.

So, akar dari problematika hidup ini adalah kebodohan, bukan kemiskinan. Saya sangat tidak setuju dengan pakar-pakar yang dengan seenaknya mengatakan bahwa kemiskinan menjadi sumber dari maraknya kejahatan sosial. Sehingga orang miskin di cap pekat (penyakit masyarakat). Kalau kita berani turun melihat kondisi akar rumput, justru sangat banyak kita temukan orang miskin tapi hidupnya tenang-tenang. Tidak risau dan tidak gelisah. Orang miskin yang baik-baik, berprinsip dan tentu anti korupsi. Mereka cenderung menjalani hidup ini mengalir, tanpa tendensi, menikmati tanpa pragmatisasi.

Dan yang marak justru sebaliknya. Sudah terlalu banyak kita temukan fakta, bahwa mayoritas orang kaya itu tidak bahagia. Bahwa rata-rata di Jepang, korban bunuh diri berasal dari orang kaya yang penuh dengan problematika. Bahwa problematika Nasional sering kerena ulah orang kaya-kaya di parlemen sana, yang dengan seenaknya korupsi, seenaknya menyogok hakim, seenaknya memiliki istri simpanan dan seenaknya memaikan anggaran negara.

Jadi saya tegaskan, bahwa soal bahagia dan tidak bahagia, soal baik dan buruk, itu bukan soal kaya atau miskin, tapi soal seberapa luas wawasan dan pengetahuan kita di dalam memandang hidup ini. Orang berwawasan cenderung tenang menjalani hidup, orang berwawasan, tapi sempit dan picik cenderung kasar dan antagonis melihat hidup ini. Orang bodoh itu dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung, anarkis, gegabah, asal tuduh, dan sifat-sifat merusak yang lain. Bukan berarti saya mendorong untuk miskin atau mencela jadi kaya, tapi berwawasanlah meskipun anda miskin dan kayalah asalkan berwawasan anda luas. Sehingga kalau miskin, menjadi orang miskin yang sabar dan kalau pun menjadi orang kaya, jadi orang kaya yang bersyukur dan tau diri.

Selanjutnya, wawasan kepada dan tentang apa yang menjadikan hidup ini bahagia? Tidak lain, adalah wawasan kita terhadap Tuhan yang telah menciptakan hidup ini. Siapa Tuhan kita? Kenapa Dia menciptakan kita hidup dan kehidupan ini? Apa tujuan dari semua ini? Siapa saya dan untuk apa saya diciptakan? Menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan esensial ini akan menjadikan perspektif kita “beda” di dalam memandang hidup dan kehidupan.

Setelah mengetahui jawaban dari semua pertanyaan ini, mungkin nanti kita akan bergumam, untuk apa kita repot-repot mencari sesuatu (rizki) yang sejatinya sudah ada yang menjamin? Dan kenapa kita rela menyia-nyiakan sesuatu (amal ibadah) yang sejatinya tidak ada yang menjaminnya? Untuk apa mengaku benar, kalau yang pasti benar itu hanya Dia? Untuk apa ngotot-ngotot ingin menjadikan orang lain insaf dan baik kalau yang mempunyai petunjuk dan hidayah itu hanya Dia? Untuk apa terburu-terburu pergi ke rumah sakit kalau yang Maha Menyembuhkan itu hanya Dia? Untuk apa kita marah kalau yang mempunyai siksa dan balasan itu hanya Dia? Yang Maha Adil hanya Dia dan begitu seterusnya.

Maka jangan heran, apabila sering kita dengar ulama-ulama sufi dan kiai-kiai alim di pesantren-pesantren enggan pergi ke dokter ketika ia sakit, enggan bekerjauntuk memenuhi kebutuhan hidup, dan enggan-enggan yang lain. Mereka kerjaannya hanya justru diam di rumah untuk beribadah, mengajar santri, menerima masyarakat dan melayani umat. Itu karena wawasan kehidupan dan wawasan ketuhanan mereka sudah benar-benar luas, hingga melewati batas sebab-akibat yang direkonstruksi oleh alam.

Dan faktanya memang demikian,mereka punya keyakinan bahwa mereka mati bukan sebab penyakit, mereka tidak punya uang bukan karena enggan bekerja tapi semuanya karena pilihan dan takdir yang terbaik dari Tuhan. Kenyataannya, banyak kita temukan kiai yang kaya-kaya, sehat-sehat dan tenang (ajeg) menjalani hidupnya.

Dan tentu, wawasan anda kurang luas, alias sempit, apabila menganggap saya sangat mendukung paham fatalisme (Qadariyah), menganjurkan berdiam diri dan tidak pergi ke dokter ketika sakit, melarang bekerja untuk mencari nafkah dan pasrah diam begitu saja pada keputusan takdir. Lantas bagaimana? Bingung? Makanya berusahalah menambah wawasan agar tidak bingung .... :) :) :)

# Tulisan ini sebenarnya hanya sekilas pengantar dari luasnya ilmu ketuhanan (Tauhid) dalam Islam. Afwan ...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun