Hemm.. pilih mana ya? Pasti sulit, apalagi bagi mereka yang sudah benar-benar kecanduan merokok. Bagi pecandu rokok, jelas milih rokok, atau dua-duanya. Rokok sekaligus menulis. Di lingkungan saya berada, ternyata rata-rata yang hobi menulis itu sekaligus perokok, hanya sedikit dari mereka yang tidak merokok. Termasuk saya sendiri. Hehe....
Saya merokok bukan kebutuhan atau murni berangkat dari hati nurani, tapi korban lingkungan. Emang ada orang merokok karena kebutuhan? Tidak tahu lah, tapi bagi perokok berat, merokok bukan lagi konsumsi konvensional belaka, namun sudah menjadi kebutuhan primer. Sampai ada yang bilang begini, “Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok.” Nah lo... kalau sudah mengungguli makan, bukankah merokok sudah menjadi kebutuhan primer.
Namun, bagi saya pribadi tidak begitu, saya merokok karena dorongan lingkungan yang sangat mendukung untuk merokok. Di rumah, saudara-saudara saya perokok semua, almarhum ayah juga perokok, paman, kakak ipar, sepupu, semuanya perokok. Sehingga ketika lagi ngumpul-ngumpul, saya pasti ditawari rokok dan bahkan kadang dipaksa untuk merokok. Dari situlah saya mengenal rokok.
Umur 18 tahun, saya mondok di Pondok Pesantren Sidogiri, ternyata di pondok tua ini, lingkungan perokok itu tetap ada dan bahkan tambah menjadi-menjadi. Sehingga kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan. Namun akhirnya, pengurus pondok secara bertahap melarang santri merokok. Dimulai dari santri tingkat Ibtidaiyah, kemudian Tsanawiyah, dan kedepan rencananya tingkat Aliyah. Hingga akhirnya, semua santri Sidogiri dilarang merokok, dan Sidogiri bebas dari asap rokok.
Dari perjalanan penjang mengenal dan menjadi perokok itu, akhirnya saya sampai pada satu titik kesimpulan, bahwa merokok itu erat kaitannya dengan menuruti keinginan nafsu. Setiap saat keinginan itu muncul dan selalu menuntut untuk dituruti. Apabila tidak dituruti, maka akal pikiran tidak tenang dan selalu kepikirian. Saya jadi ingat kalimat singkat berikut ini, “Keinginan nafsu itu adalah tujuan yang tidak ada ujungnya.” Ada ungkapan lain dari Imam al-Busiri, pengaranag nadzam Burdah, “Nafsu itu seperti anak kecil yang tidak ingin disapih, apabila tetap dibiarkan, dia terus menyusu sampai besar,” ya begitu pula dengan merokok, apabila tidak distop, ia tetap merongrong diri ini, tapi apabila langsung distop, nanti diri ini pasti akan menerima.
Guru saya pernah menjelaskan, bahwa urusan rokok itu bukan hanya urusan halal-haram, merusak kesehatan, boros, atau kebiasaan tidak baik lainnya, ada yang lebih bahaya dari itu semua, yaitu merokok bisa mengikis sedikit demi sedikit komitmen diri. Menurut beliau, rata-rata perokok itu tidak memiliki komitmen diri yang kuat. Logikanya begini, apabila demi menuruti keinginan nafsu merokoknya saja dia rela ngutang, mengorbankan harga diri dengan meminta, atau bahkan mencuri, bagaimana dengan komitmennya pada kejujuran, harga diri, amanah, dan yang lain? Bukankah jadi berantakan, untuk urusan rokok saja tidak bisa apalagi yang lain. Dan faktanya, perokok lebih pintar berkelit dan mencari alasan-alasan untuk menjustifikasi dirinya. Meskipun suara hati nuraninya menentang.
Selanjutnya, alhamdulillah saya sudah berhenti merokok dengan proses berhenti yang unik (menurut saya sih...). sebelumnya saya adalah pecandu, dan bagi saya ini bagus, yang tidak bagus rokoknya, bukan perasaan candunya. Sehingga, saya punya kesimpulan begini, saya ingin berhenti merokok, tapi saya tidak ingin berhenti menjadi pecandu, perasaan candu ini saya alihkan pada aktifitas lain yang lebih produktif, yaitu menulis. Tiap kali keinginan merokok itu muncul, maka cepat-cepat saya menghampiri meja komputer dan langsung meletakkan jari-jari ini di atas keyboard. Dan begitu seterusnya. Sehingga, dapat dibayangkan, berapa jumlah karya tulis ini apabila tiap keinginan merokok itu muncul satu karya lahir. Kalau merokok menghabiskan uang banyak, menulis justru mendatangkan uang. Kalau merokok merusak kesehatan, menulis justru membuat badan sehat, kulit cantik, muka berseri-seri. Kalau merokok dibenci cewek, menulis jutru disenangi cewek ... hehe. Ayo pilih mana? Orang berakal, pasti milih menulis. Hehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H