Rencananya saya mau menikmati sore sembari meneguk kelapa muda langsung dari batoknya di tepi pantai Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. Saya berpikir akhir pekan di pantai itu tentu ramai.
Saya sudah membayangkan ada kelompok-kelompok remaja yang sedang menunggu sunset. Ada klub-klub motor yang lagi eksis sambil berswafoto. Ada banyak pasangan muda berselonjor kaki di atas trotoar sambil memandangi laut dan menikmati pentol ikan tenggiri yang dijajakan di gerobak-gerobak yang berjejer sepanjang pantai Pagatan.
Rupanya saya tiba sudah menjelang magrib di kota kecil yang berjarak sekitar 23 kilometer dari Batulicin, ibukota Kabupaten Tanah Bumbu. Maka agenda jalan-jalan saya kali ini langsung berubah tema menjadi Pagatan di ujung senja.Tentu saja saya dahulukan salat magrib dari pada langsung beredar di kota kecil yang pernah menjadi sebuah kerajaan yang sempat berjaya di era 1750 - 1912 dengan sebutan kerajaan Pagatan dan Kusan.
Usai menjalankan kewajiban sebagai muslim, saya langsung menuju jantung kota Pagatan. Langit Pagatan sudah kelam. Yang pertama saya temukan adalah sebuah lapangan bola. Namanya Lapangan 17 Februari. Saya sempat bertanya-tanya, kenapa sampai namanya begitu? Apakah ada kejadian pada tanggal tersebut di tempat itu?
Setelah itu saya lanjut menuju pantai Pagatan, walau kenyataannya pantai Pagatan di malam hari tak menyuguhkan sesuatu yang menarik untuk diceritakan.
Mungkin yang menarik karena pantai ini dikenal masyarakat terutama karena festival Pesta Pantai atau Pesta Laut yang dikenal dengan Mappanretasi diselenggarakan di tempat ini setiap tahun di bulan April.
Walau begitu, saya sempatkan juga menikmati jagung bakar kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan di pantai Pagatan. Tempat ini yang paling cocok untuk dijadikan persinggahan sebelum memasuki kota Batulicin.
Sayangnya suasana gelap, jadi hanya bisa mendengar deburan ombak malam.