Paling favorit adalah velg sepeda kumbang. Tak perlu dipukul-pukul kayunya untuk menggelindingkannya. Sebilah kayu yang dibutuhkan memang agak panjang, paling mantap yang bulat. Diletakkan pas di tengah di lenkungan velg, sisa didorong sedikit, siap berlari dan meluncurlah bersama velg itu.
Di pertigaan jalan, velg  susah dikendalikan. Sulit dibelokkan. Meluncur terus hingga mencium Corolla 78 yang baru parkir.
Plakk!
Velg sepeda mencium mobil baru itu. Orangnya keluar dari mobil. Anak muda, tinggi besar. Ia menghampiri anak berkaos lusuh di seberang jalan. Mendaratkan satu 'pakkandatto' -istilah Makassar dari menjitak- di kepala anak itu. Marah-marah. Mencak-mencak. Geram melihat mobil barunya lecet kena velg sepeda.
Anak itu menangis. Agak keras. Mengundang perhatian beberapa anak muda yang sedang duduk-duduk di pos ronda. Juga beberapa ibu-ibu mendatangi si anak yang masih menangis, termasuk ibunya anak itu. Memperhatikan sekujur tubuh anak itu.
Mungkin mobil itu menabrak anak itu, dan pemilik mobil berdiri di hadapan mereka.
Nyaris saja pemilik mobil itu digebuki ramai-ramai seandainya ia tak menjelaskan dan memperkenalkan diri dengan baik, bahwa ia adalah kerabat pemilik rumah mewah di posisi tusuk sate pertigaan jalan itu.
Anak yang pakai kaos lusuh dan tak bisa mengendalikan padendenya itu, Â sehingga dapat pakkandatto dari pemilik mobil yang nyaris dimassa sama warga itu, bernama Zainal Tahir.
Peristiwa itu tahun 1979 lalu. Di kampung saya, Mangasa Kabupaten Gowa. Saya masih kelas 4 SD.
Kegemaran saya main padende atau Appadende. Seperti gaya saya pada gambardi atas. Appadende adalah sejenis permainan tradisional di Makassar yang menggunakan ban bekas. Ban motor atau ban sepeda. Juga velg sepeda yang paling susah dikendalikan seperti cerita di atas. Yang lebih bagus lagi, velg sepeda dan bannya.
Masih adakah anak-anak yang tertarik appadende sekarang?