Menjelang senja sekitar pukul 16.00 waktu Interlaken --sepulang dari Zermatt, Switzerland-- ditemani Yong-Chul Krauer, manajer Schilthorn Piz Gloria bersama kedua anak saya,  Rifqi Nafiz dan Yafi, bergegas  menuju Danau Thun sebelum hari gelap. Perjalanan ke danau yang indah dan eksotik itu tidak terlalu lama. Hanya sekitar lima menit naik mobil dari rumah Yong-Chul Krauer, tempat kami tinggal selama lima hari di Swiss.  Begitu dekat.
"Kalau musim panas saya selalu naik sepeda ke danau itu. Yah sekitar 15 menit. Di situ saya biasa berenang. Bersama banyak turis," kata Yong dalam bahasa indonesia patah-patah.
Berdiri di tepi Danau Thun, sembari memandani riak-riak kecilnya, dan memperhatikan secara detail airnya. Sungguh saya susah menemukan sampah, walau itu hanya sobekan kertas sekalipun. Apalagi sampah berupa kaleng dan rongsokan lainnya. Tak ada.
Airnya bersih dan jernih sekali.
"Bisa. Tapi siapa yang mau minum? Di sini, semua air dari kran yang ada di setiap rumah dan toko-toko itu bisa langsung diminum. Airnya langsung dari gunung salju. Lebih bersih dari air yang dibeli dalam botol," jelasnya.
Saya termangu-mangu, lalu jongkok di tepi danau. Saya raih airnya dan mengambilnya pakai tangan. Brrr... dinginnya bukan main. Seperti menusuk-nusuk telapak tangan saya. Langsung saja saya meminumnya. Tak ada rasanya, kecuali dingin di kerongkongan hingga ke perut.
Nampak beberapa ekor belibis di permukaan danau. Dan beberapa burung yang saya tak tahu namanya, terlihat menyambar-nyambar dan bermain air.
Di tepi Danau Thun, ada beberapa kafe yang masih buka. Meja kursinya sampai bertebaran di luar kafe. Di situ biasa jadi tempat nongkrong bagi penduduk Interlaken maupun para turis. Di situ pula bisa menikmati keindahan alam di danau tersebut.
Nun di sana, sebuah puncak di Pegunungan Alpen ini nampak sangat indah mempertontonkan puncaknya yang berkopiah salju.