Seberkas jiwa yang hilang kesunyian akan senyuman, dialektika yang diselimuti akan dialektis sebuah rasa yang memaksa bungkam tanpa paham. Kemudian kucoba melawan perlahan tapi semakin kuhantam jiwaku menerkam arti sebuah rasa tanpa penjelasan. Lagi-lagi kucoba membuka hakikat dari sebuah seni kehidupan kampus yang baru saja kumulai saat ini. Sebuah ruang gerak tempat berkembangnya rasa seakan membuat diriku terpana percikan melodi kerinduan. Dirinya membuatku terbius tanpa pernah sadar setiap kali ku dihadapkan pancaran aura mata indahnya.
Kuawali dengan mencoba berspekulasi ringan walau terkadang diriku harus dihantui pemikiran yang terbang melayang saat senja menerkam. Semua hal yang kemudian, menghampiri spekulasi demikian kucoba saring menjadi beberapa buah pikiran yang mungkin dapat kumaknai perlahan. Hmm,, ternyata dia membuat diriku semakin diterpa sistemik kegalauan berakhir dalam senyuman tulus dalam diam. Lalu aku sadar ternyata hanya berupa titik awal yang baru saja kutemukan.
Jutaan senyuman telah kutemui tetapi tidak sehangat dirinya yang membuatku nyaman terbungkam bahkan ribuan lagu dan ratusan syair takkan mampu melukisnya, begitu mengagumkan tuhan. Cinta dan kehampaan dalam diri bagaikan pasang dan surut air laut yang bergerak menuju hamparan kebahagiaan.
Perlahan tapi pasti kutemukan hakikat demikian, ketika semua orang mampu kuhadapi tanpa gentar, tetapi kenapa dirimu seolah membuatku bergetar untuk memulai. Begitu terasa bagaikan atom kehidupan seorang yang sedang berproses dalam perekatan harapan dan pembuktian. Entah pantas diizinkan ataupun sebaliknya rasa ini hinggap perlahan, sebuah dinamika hidup yang tersirat. Mungkin detik ini hanya diriku dan tuhan yang memahaminya, namun bolehkah aku meminta bimbinganmu untuk memecahkan,,? (bersambung ke dimensi pembuktiaan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H