Mohon tunggu...
Zainal Abidin El Hanifa
Zainal Abidin El Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

saya saat ini sedang menempuh jenjang perguruan tinggi di Yogyakarta dan sedang mencoba untuk menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelayan Rumah Tangga Era Kolonial Belanda: Lahirnya Istilah Baboe dan Djongos

22 Juli 2024   11:12 Diperbarui: 22 Juli 2024   13:25 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang baboe dengan dua anak majikan Belanda, source: https://nationalgeographic.grid.id/

Budaya pelayanan pribumi terhadap koloni Belanda sejatinya telah ada sejak hadirnya perusahaan dagang Belanda yang kita kenal dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kala itu, slaven (budak) diistilahkan sebagai tenaga bantu dalam kapal-kapal atau gudang-gudang serta pembantu rumah tangga. Budak pada priode tersebut sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Eropa. Sebagian kecilnya memang bekerja untuk pejabat dari kalangan pribumi sebagai petani atau pekebun.

Di Kota Batavia, para budak tidak hanya dipekerjakan di rumah-rumah, akan tetapi juga turut bekerja sebagai kuli bangunan dan pembuat kanal-kanal. Yang unik adalah VOC melarang orang Jawa muslim menjadi budak di Batavia, hal ini kemungkinan besar karena kehadiran mereka dapat mengancam kondusifitas. Para budak sendiri diperjual-belikan oleh lembaga-lembaga khusus yang memasarkan mereka melalui iklan di koran atau majalah. Praktek perbudakan akhirnya terhenti setelah dikeluarkannya penghapusan perbudakan di seluruh dunia tahun 1860.

Beriringan dengan lahirnya kota-kota baru di Pulau Jawa, masyarakat pribumi desa melakukan urbanisasi dengan alasan mencari penghidupan yang lebih baik. Salah satu pekerjaan yang cukup praktis bagi masyarakat yang datang dari desa pada era tersebut adalah sebagai pelayan rumah tangga. Kebutuhan akan pelayan rumah tangga pun semakin tinggi setelah banyaknya perempuan Belanda yang datang ke Hindia Belanda sejak tahun 1970.

Seorang djongos menemani majikannya memberi makan merpati di Probolinggo, source: https://www.igosaputra.com 
Seorang djongos menemani majikannya memberi makan merpati di Probolinggo, source: https://www.igosaputra.com 

Di setiap rumah-rumah Belanda biasanya diisi oleh 3-6 orang pelayan rumah tangga. Banyak sedikitnya pelayan bergantung pada jumlah anggota keluarga dalam sebuah rumah. Di dalam buku panduan praktis Wonen en leven in Nederlandsch-Indi (1870), disebutkan bahwa para pelayan terdiri atas djongos (pembantu laki-laki), kebon (perawat kebun atau kuda), baboe (pembantu perempuan), kokkie (juru masak), wasbaboe (tukang cuci), dan koessir (juru antar-jemput majikan).

  • Djongos atau jonges sebenarnya diartikan sebagai anak laki-laki, namun di masa kolonial mengalami pergeseran makna menjadu pembantu laki-laki. Mereka biasanya bertugas di dalam rumah milik orang Eropa dengan tugas membantu pekerjaan baboe.
  • Kebon sendiri bertugas merawat kebun di sekitar halaman rumah orang Eropa. Akan tetapi dalam realitanya mereka juga memiliki pekerjaan tambahan, mulai dari urusan  memperbaiki barang yang rusak hingga menjadi kuli antar-jemput barang milik sang majikan.
  • Baboe atau mbah iboe merupakan pembantu perempuan yang bertugas layaknya seorang pembantu pada masa kini. Mereka biasanya ditugaskan mengurus kebersihan dan kerapian kamar serta mengurus pakaian majikan. Mereka juga memiliki tugas memandikan serta mengurus keperluan anak-anak majikannya. Satu hal yang tidak dilakukan baboe adalah tugas menyuapi makan anak-anak. Kewajiban ini memang dilakukan oleh majikan langsung. Dalam perkembangannya, istilah baboe semakin rendah yang diartikan sebagai perempuan kampung, sedangkan status baboe sebagai pengasuh kemudian memudar digantikan dengan istilah pembantu.
  • Kokkie, sesuai dengan namanya posisi ini memiliki tugas mengurus urusan dapur dan perut para majikan Eropa. Mereka diharuskan memiliki keahlian menyiapkan dan mengatur jenis dan pola makan yang punya rumah. Maka dari itu, tugas belanja ke pasar pun dibebankan kepada mereka.
  • Wasbaboe atau yang dikenal dengan buruh cuci. Tidak seperti pelayan rumah yang lain, wasbaboe senidiri tidak tinggal menetp di rumah sang majikan. Mereka biasanya bekerja dengan sistem pulang-pergi. Pekerjaan ini biasanya diisi oleh laki-laki, hal ini tentu menjadi keunikan tersendiri melihat masa kini jenis pekerjaan ini sebagian besar diisi oleh perempuan. Penyebabnya adalah biasanya kegiatan mencuci dilakukan di kanal-kanal yang memang membutuhkan tenaga laki-laki. Setelah banyak rumah memiliki sumur pribadi, wasbaboe kemudian dikerjakan oleh perempuan.
  • Koessir atau supir lebih banyak bekerja di luar rumah. Mereka ditugaskan mengantar para majikan bepergian, baik ke tempat kerja maupun lainnya.

Salah satu  potongan iklan rekruitmen baboe tahun 1900, source: https://www.delpher.nl/
Salah satu  potongan iklan rekruitmen baboe tahun 1900, source: https://www.delpher.nl/

Ketika hendak merekrut seorang pelayan, orang-orang Eropa harus mengikuti beberapa prosedur. Yang pertama dilakukan adalah harus meminta surat keterangan dari kepala kampung tempat pembantu tinggal. Surat ini berisi keterangan bahwa pelayan tidak memiliki riwayat kriminal sebelumnya. Surat ini mirip dengan SKCK pada masa kini. Kepada kepala kampung, orang-orang Eropa bisa menggali informasi mengenai riwayat pelayan selama mereka bekerja di rumah-rumah sebelumnya. Rekruitmen para pembantu biasanya dilakukan dengan bantuan agen yang dapat ditemukan di iklan-iklan majalah dan koran. Selain itu rekomendasi teman juga menjadi alternatif dalam mencari seorang pelayan.

Setelah air ledeng dan listrik memasuki rumah-rumah orang-orang Eropa, eksistensi pelayan rumah tangga mengalami penurunan. Pada awal abad ke-20, rancangan bangun kota yang diinisiasikan pemerintah Hindia Belanda menjadikan rumah-rumah penduduk Eropa lebih kecil dan modern. Hal ini mengharuskan para pelayan untuk tinggal terpisah dengan rumah majikan. Hal ini turut menjadi penyebab menipisnya jumlah pelayan rumah tangga di kota-kota besar Hindia Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun