Mohon tunggu...
Zainal Abidin El Hanifa
Zainal Abidin El Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

saya saat ini sedang menempuh jenjang perguruan tinggi di Yogyakarta dan sedang mencoba untuk menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Sejarah Pergundikan Era Kolonial Belanda

21 Juli 2024   23:18 Diperbarui: 22 Juli 2024   05:34 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para gundik di Jakarta tahun 1948, source: metro.sindonews.com

Pergundikan atau kata "gundik" diartikan sebagai istri tidak resmi dan tak tercatat dalam sebuah catatan perkawinan. Pergundikan sejatinya muncul bersamaaan dengan hadirnya Koloni Belanda dan pendirian Hindia-Belanda. M. J. P. Coen, selaku Gubernul Jendral kedua VOC waktu itu memperlihatkan kecemasannya dengan mengirimkan sebuah surat kepada para direktur VOC (Heeren XVII).

Isi dari surat tersebut adalah permintaan Coen agar otoritas Belanda mau mengirimkan perempuan-perempuan dari Belanda agar dijadikan istri-istri  oleh pegawai VOC. Akan tetapi usulan ini ditolak oleh Hereen XVII dikarenakan beberapa alasan yaitu, pertama, ditakutkan dengan adanya kebijakan ini maka akan banyak pasangan keluarga yang datang ke Hindia Belanda hanya untuk memperkaya diri. 

Kedua, mendatangkan gadis Belanda tentu akan membutuhkan biaya yang besar, ditakutkan juga kehadiran mereka justru membuat pegawai lalai dalam pekerjaan mereka. Alasan ketiga yaitu faktor biologis, dihadapkan pada iklim Hindia Belanda yang berbeda dari Eropa membuat kasus kemandulan, keguguran, dan kematian anak-anak kemungkinan besar terjadi.

Alasan-alasan tersebut kemudian menghadirkan pergundikan sebagai sebuah solusi. Disebutkan bahwa pergundikan justru akan memberikan dampak positif bagi perkembangan politik-ekonomi bangsa kolonial di Hindia Belanda. 

Dengan adanya pergundikan juga memudahkan bangsa kolonial untuk mengenal budaya, adat, dan bahasa masyarakat setempat lewat perempuan-perempuan malam. 

Selain itu anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran ini akan menghasilkan generasi tangguh yang dapat meneruskan usaha bangsa kolonial di Hindia Belanda. Anak-anak yang lahir dari ayah seorang Belanda dan ibu pribumi ini dikenal dengan orang-orang Indo.

Akan tetapi, di abad ke-19 beberapa kalangan pembesar Belanda menentang praktik ini. Penentangan ini terjadi karena maraknya orang blasteran Eropa yang muncul di wilayah Hindia Belanda. Kesadaran akan pentingnya kualitas sumber daya manusia mengharuskan praktik pergundikan perlu diatasi secara serius. 

Sering ditemukan bahwa orang Indo tempat berkumpulnya dua sifat buruk, dari Eropa dan pribumi sendiri. Selain itu dengan hidup bersama gundik, orang-orang kolonial ini mau tidak mau mengeluarkan biaya ekstra untuk menghidupi pasangan pribumi.

Pandangan-pandangan tersebut semakin meningkat di awal abad ke-20, beberapa tokoh penting Belanda bahkan menganggap bahwa orang eropa yang mempraktikkan pergundikan adalah manusia yang tidak memiliki moral. Akan tetapi, tidak sedikit pula dari kalangan mereka yang justru mendukung praktik pergundikan tersebut. 

Petinggi Belanda yang mendukung memiliki alasan yaitu pengaruh iklim tropis yang hangat membuat para lelaki Belanda memiliki libido yang tinggi. Maka dalam kondisi ini, menghentikan praktik pergundikan justru dapat membahayakan gadis pribumi baik-baik. Selain itu menurut Zeger de Beijl, hilangnya gadis-gadis gundik justru membuka peluang besar terjadinya penyimpangan seksual yang bisa menimbulkan penyakit kelamin serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun