Dengan berakhirnya kekuasaan Seljuk di Abbasiyah, maka ini menandai masuknya dinasti ini pada periode akhir kekuasaan. Pada masa ini, Dinasti Abbasiyah memerintah secara mandiri tanpa adanya pengaruh dari bangsa lain. Akan tetapi kekuasaan mereka hanya berada di lingkup Kota Baghdad dan sekitarnya. Wilayah-wilayah yang diduduki Islam lainnya telah membentuk dinasti sendiri meskipun dalam kekuasaan yang kecil. Pada periode ini, khalifah berkuasa penuh atas pemerintahan akan tetapi hanya menguasai wilayah yang sempit, sehingga bisa dikatakan Abbasiyah memasuki era kelemahan dan kehancuraan.
Kelemahan Abbasiyah sejatinya tidak datang secara tiba-tiba. Dapat dilihat bahwa kemunduran dinasti ini telah nampak pada period ke dua, tatkala bangsa lain mulai masuk merongrong posisi khalifah sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Secara umum perdana mentri akan aktif memerintah tatkala seorang khalifah yang berkuasa memiliki perangai yang lemah. Akan tetapi apabila khalifah memiliki figur yang tangguh, maka perdana mentri akan bersifat pasif dan menjalankan jabatan sesuai perintah khalifah. Beberapa sejarawan mengelompokkan faktor pendukung kehancuran Baghdad menjadi dua, ada faktor dari dalam (internal), dan faktor dari luar (eksternal):
Faktor Internal
- Degradasi Mental dan Moral Khalifah
Kejayaan dan kemunduran tidak lepas dari bagaimana gaya atau kebijakan yang diterapkan oleh pemimpin yang berkuasa. Apabila ia memiliki sikap yang tegas, berwibawa, dan bersahaja, maka dengan mudahnya peradaban wilayahnya dapat dicapai. Akan tetapi sebaliknya, apabila seorang pemimpin memiliki perangai yang buruk dan memerintah secara otoriter, maka akan menyebabkan timbulnya konflik sehingga kemunduran ptidak dapat dihindari. Hal ini dapat kita temukan pada pemerintahan Abbasiyah sejak period ke dua.
Melemahnya pengaruh sang khalifah membuat para pemberontak gencar melakukan serangan. Beberapa gerakan ini juga disebabkan oleh ulah khalifah itu sendiri, yang dirasa merugikan rakyat Abbasiyah. Kebijakan dengan menarik pajak yang besar membuat rakyat di beberapa wilayah menghimpun kekuatan dan memutuskan untuk memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah. Lemahnya mental para khalifah juga berhasil dimanfaatkan oleh prajurit bayaran yang berasal dari bangsa Turki. Ketika terjadi konflik diantara anak al-Mutawakkil yang bakal menjadi calon khalifah, mereka kemudian memihak salah satu dari calon khalifah saat itur. Hal ini tentu membuat marah khalifah yang berkuasa. Orang Turki tersebut kemudian membujuk salah satu calon khalifah untuk membunuh ayahnya.
- Konflik Aliran dan Keagamaan
Konflik agama yang terjadi tidak lepas dari adanya unsur politik dan fanatisme kebangsaan. Karena keinginan yang tidak tercapai, maka kemudian orang-orang Persia mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Gerakan yang dikenal dengan zindiq ini direspon oleh para khalifah dengan membuat kebijakan yang mengutuk ajaran tersebut. Beberapa bahkan membentuk pasukan khusus yang bertujuan untuk memberantas aliran ini. Al-Afsyin dan Qaramithah adalah beberapa  gerakan yang muncul dari para penganut Zindiq tersebut.
Beberapa kelompok yang terpojok kemudian banyak yang berlindung dengan nama Syi'ah. Sehingga orang Syi'ah sendiri menganggap mereka sebagai Syi'ah ekstrem yang menyimpang (ghulat). Aliran Syi'ah sendiri memang sering terlibat konflik dengan orang-orang Sunni. Tidak jarang hal ini kemudian mempengaruhi kebijakan khalifah. Misalnya al-Mutawakkil memerintahkan agar kuburan Sayyidina Husein diratakan, akan tetapi ketika anaknya berkuasa (al-Muntashir), penganut Syi'ah kembali diberikan kebebasan untuk menziarahi  makam tersebut. Hadirnya Buwaihi di pemerintahan Abbasiyah turut menguatkan posisi Syi'ah di Abbasiyah. Tidak jarang hal ini juga memperkeruh keadaan karena adanya konflik antar mazhab. Kaum Nasrani dan Yahudi juga memiliki kebencian dengan pemerintahan yang berdaulat. Meskipun diberikan kesempatan berupa jabatan-jabatan penting, akan tetapi tetap saja kebencian terhadap pemerintahan Islam tetap melekat di hati mereka.
- Kemerosotan Ekonomi
Instabilitas politik juga berpengaruh terhadap ekonomi Abbasiyah. Ketika awal berdiri, pemerintahan yang maju turut juga meningkatkan perekonomian Negara. Dana yang masuk ke Baitul Mal lebih besar daripada pengeluaran. Pendapatan Negara juga didukung dari adanya al-kharraj, semacam pajak yang diperoleh dari hasil bumi.
Akan tetapi memasuki periode kemunduran, kondisi ekonomi berbanding terbalik. Banyaknya wilayah yang memisahkan diri membuat pemasukan negara yang berasal dari pajak setiap wilayah menurun. Hal ini juga berpengaruh pada stabilitas perekonomian sehingga banyak terjadi tindak kriminal dan kerusuhan. Kehidupan hedon para khalifah juga turut menyumbang kemerosotan ekonomi. Tidak hanya dari khalifah, perajurit bayaran yang setiap saat menagih gaji juga menyebabkan pembengkakan pengeluaran kas Negara.