"Selamat membaca", demikian pesan singkat Pak Hasan (Hasanudin Abdurakhman) pada saya ketika memberikan buku berjudul Melawan Miskin Pikiran (Gramedia, 2016) yang saya minta. Buku itu diberikan pada waktu  Seminar Pendidikan Sains, 7 Maret 2017, di Gedung Balai Kartini, Jakarta. Saya menjadi salah satu pembicara karena menjadi salah satu dari sepuluh penerima Science Education Award (SEA) ITSF 2016. Seminar ini diselenggarakan oleh Indonesia Toray Science Foundation (ITSF), sebuah  yayasan di bawah PT Toray Industries Indonesia. Acara seminar itu merupakan rangkaian acara penghargaan bagi penerima SEA ITSF, Science and  Technology Award (STA) dan Science and Technology Research Grant (STRA) tahun 2016. Acara seremonial pemberian pengharaan ini dilaksanakan di Hotel Indonesia Kempinski, 8 Maret 2017.
Sebelum membaca keseluruhan buku ini saya sudah berniat untuk mencari benang merah isi buku. Saya tidak membaca cepat tiap tulisan karenanya saya baca sambil tetap menalar dan merenungkan tiap-tiap tulisan. Ibarat makan, saya kunyah pelan-pelan dulu sebelum menelannya.
Sangat nampak bahwa tulisan ini merupakan kumpulan tulisan lepas sehingga ada bagian tulisan yang berulang. Sebenarnya tulisan ini bisa dibaca cepat karena memang enak dibaca. Terasa ringan namun jika dipikirkan dan direnungkan sejenak akan terasa menjadi berat dan dalam.
Membaca judul buku ini saja, ada rasa ingin tahu saya, apakah miskin pikiran dan bagaimana melawannya? Dan. ternyata cara melawannya menjadi bagian bab-bab buku ini. Ada empat cara melawannya, yaitu melawan dengan pendidikan, akal sehat, kedisiplinan dan kerja.
Tulisan singkat saya ini adalah hasil "kunyahan" saya yang tentu dari sudut padang saya. Saya membaginya juga menjadi empat bagian sebagaimana empat bab dalam bukunya.
1. Melawan dengan Pendidikan
Semua orang yang saya tanya pada tiap kesempatan selalu menyetujui bahwa pendidikan itu penting. Namun ketika saya tanya bagaimana mendidik itu? tangung jawap siapa? mengapa penting?. Beragam jawaban. Hasanudin Abdurakhman (selanjutnya ditulis HA) mengawali tulisannya dengan menempatkan tuliskan berjudul Emakku bukan Kartini. Tulisan ini asyik juga jika disambungkan membacanya dengan tulisan berjudul Miskin Pikiran (h.67). Selanjutnya HA Â menulis tentang mendidik dari sudut pandang pandang bagimana para orangtua dalam mendampingi anak-anak mereka. Pada kesempatan acara seminar di atas, HA juga menegaskan semestinya setiap oraang tua sebagai guru. Parents as teachers. Tulisan tentang pendidikan ini juga dikaitkan dengan pendidikan formal dari Penddikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Saya menempatkan HA pada tulisan-tulisan tentang pendidikan ini sebagai guru (seinsei). Pendidikan memang merupakan proses panjang bagi manusia sampai ia mengerti potensi diri dan mampu menggunakannya. Selalu belajar dan kerjakan hasil belajarnya sepanjang hidupnya. Bagi saya, pendidikan merupakan proses pemberadaban. HA pernah menulis empat kata bagi menjalani proses ini: dream, vision, plan dan habit.
2. Melawan dengan Akal Sehat
Sekolah itu penting. Tetapi yang lebih penting lagi adalah menyiapkan atau membangun pola pikir. Pola pikir itu akan menentukan tingkah laku. Ia akan menentukan gagal atau suksesnya kita (h. 77). Inilah pelajaran dari Ibu/Emak HA. Ya, pola pikir (mindset) karena manusia berpikir.
Berpikirlah! Tuhan memberi otak, manusia tinggal menggunakannya. Kemampuan berpikir itulah akal. Dalam diri manusia telah built in tiga software, yaitu akal, nafsu dan hati. Berpikir dipengaruhi oleh nafsu dan hati sehingga proses berpikir mestinya berpola pikir dengan akal sehat.