Pendahuluan
Hamba-hamba Allah SWT menggemakan takbir dalam sholat dan hidupnya. Allahu Akbar. Allah dan Akbar. Allah satu-satunya nama yang orisinal, satu-satunya yang benar-benar nama. Dan, Akbar, bukan Kabir. Kabir itu maha besar, maha agung, maha unggul. Akbar adalah maha yang lebih besar, maha lebih, maha lebih unggul. 'Lebih', karena hamba-hambalah yang mengucapkan kata itu: di dalam kesadaran para hamba, di dalam penghayatan dan cinta para hamba -senantiasa terasa lebih besar, lebih agung dan lebih unggul. Memuai. Akbar.
Para hamba meninggikan tangan dalam ketakjuban total. Para hamba tersujud-sujud di hamparan shiroth mustaqim, jalan yang ditegakkan. Jalan an'amta'alaihim. Jalan dimana Sang Maha Engkau menyiapkan setinggi-tinggi nikmat dan melalui pergulatan filosofis ilaihi roji'un. Menempuh perjalanan kembali. Kembali ke hadirat-Nya. Kembali fitri. Kembali sejati. Betapakah wajah para hamba yang Engkau beri nikmat, ya Akbar? Menjadi siapakah mereka?
An-nabiyyin. Para Nabi yang Engkau nobatkan serta para pewaris tongkat mereka. Para pembawa kabar gembira. Para wartawan segala peradaban. Penabur kebenaran, basyir wa nadzir, yang membangun, mengontrol dan memperbaiki. Oleh karena itu merekalah as-shiddiqin, orang-orang yang kepada mereka kita bisa sandarkan kepercayaan. Orang-orang yang jujur. Yang utuh dan memelihara kejujurannya dengan terus-menerus bertahan menjadi syuhada, pejuang. Syuhada itu berarti jamak dari syahid. Saksi. Orang-orang yang menyaksikan, bersaksi dan memperjuangkan kesaksiannya atas kebenaran Allah, haqqullah dengan pena dan kata-kata, dengan badan dan keringat, dan akhirnya dengan kematian - karena kebenaran sebisa mungkin harus tersertakan di sisi mautnya, agar kematiannya pun menyaksikan dan bersaksi atas kebenaran itu. Tak heranlah kalau Allah menyebut mereka as-shalihin orang-orang salih. Pelaku-pelaku ishlah, yang setiap kali siap dan bersedia memperbaiki zaman, merombak dan membenahi sejarah, merevisi, mereformasi, merestrukturisasi, meresistemasi, mengubah dan melahirkannya kembali.
Dalam Al Qur’an diinformasikan tentang siapakah mereka itu:
Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisa’: 69)
Totalitas KefitrianFitri itu fitrah. Suci. Asli. Orisinal. Kembali fitri itu retrospeksi total. Sebab siapa lagikah, selain Allah SWT, yang asli sejati dalam arti yang sebenar-benarnya? Kesejatian adalah ekspresi alam dan budaya, di mana dimensi keindahan, kebajikan dan kebenaran masih menyatu, total dan masih bisa 'dijamin'. Ia adalah haqq (kebenaran) Allah, sekaligushubb (cinta)-Nya yang baik dan indah. Keaslian dan kesejatian itu total, utuh, karena antara Khalik dengan makhluk yang belum dijaraki oleh kebudayaan atau rekayasa manusia (iradatunnas). Padanya masih bersatu tiga unsur: asal-usul alam (amrullah), sebab alam (irodatulllah) dan disiplin untuk kembali kepada-Nya (ilaihi roji'un) - yang pada orang dewasa, pada realitas sosial, kebudayaan dan peradaban: unsur ketiga itu ditempuh melalui sejumlah jarak, yakni hisab atau perhitungan dosa dan pahala, rugi dan untung, perohanian, neraka dan sorga. Perhatikanlah firman Allah SWT:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin:82)
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.(QS. Al Baqarah: 45-46)
Manajemen Empat Sifat Allah SWTUntuk menemukan rujukan orisinal tentang kefitrian, kita lantas ingat juga 'Ibu Qur'an' (ummul Qur'an), yaitu Al-Fatihah, sebagaimana kita temukan hikmah as-shiroth al-mustaqim dan an'amta.'alaihim di atas. Kemudian kalau di gua garba ibu Qur'an itu kita bertapa rohani dan bertafakur intelektual, tampaklah anasir-anasir kasih sayang, kepengasuhan dan pengelolaan. Yakni Rahman (pecinta, pengasih), Rahim (penyayang), Rabb (pengasuh) dan Malik (maharaja).
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Yang menguasai di Hari Pembalasan.
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Maka bagi setiap dan semua manusia, kembali kepada fitrah bermakna memposisikan dirinya kembali pada titik paling sehat di tengah mizan (perimbangan) manajemen empat sifat Allah yang terkandung dalam nukleus dari ragam dan kesempurnaan asma-Nya. Ini berlaku baik dalam kedudukan manusia sebagai bagian dari hamparan al'alamin (alam semesta, universalitas) maupun sebagai titik-titik relatif di tengah realitas sosial (komunitas, negara, kebudayaan, peradaban).
Manusia tidak bisa mengambil hanya salah satu dari al-asma al-'adham -nama yang teragung- itu. Seseorang, sebagai produk inisiatif ciptaan Allah (irodatullah), tidak relevan untuk hanya mentransfer -umpamanya- sifat maharaja-Nya belaka, tanpa persenyawaan dengan sifat cinta, kasih sayang dan kepenyantunan dan kepengasuhan-Nya. Segala macam praktek otoritarianisme, ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia, tak lain adalah akibat dari pengambilan secara parsial atas sifat Allah yang terjelmakan dalam diri manusia. Gejala yang sama juga terjadi tatkala kelengkapan acuan dalam Qur’an diambil hanya berdasarkan dan untuk melegitimasikan subyektivitas kepentingan, 'kelas', pamrih kelompok atau egosentris. Itulah sumber kenapa Agama sering disalahpahamkan, dimanifestasikan secara pincang atau manipulatif.
Ibarat buah mangga. 'Daging' isinya adalah rahman, cinta individual. Rasa manisnya adalah rahim, kasih sayang universal. Kulitnya adalah rab, pengasuh yang menyantuni atau melindungi. Kerekatan antara isi dengan kulit mangga adalah malik, otoritas yang dipelihara. Adapun apa biji yang terletak di pusat buah manggaitu? Ia lebih tersembunyi, pahit rasanya, namun dialah yang menyangga mandat regenerasi, pertumbuhan, kelestarian, pengabdian. Ketika Allah SWT memaparkan skema pokok asma-Nya di belahan surah Qur’an, nama Rahman dan Rahim selalu didahului 'alimul ghoibi (Khaliq) yang mengetahui segala yang tidak terketahui (oleh segala makhluk)..
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Hasyr: 59)
Bertumbuh dan memuaikah pengetahuan kita tentang kandungan sifat itu? Tentulah substansi 'alimul ghoibi itu pengetahuan, sebagaimana kesengajaan Allah sendiri untuk menuturkan 'lqra' -bacalah!- sebagai kata firman yang pertama, yaitu:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al ‘Alaq: 1-5)
Karena Ia Maha MengetahuiIah, maka la mencintai kita, menyayangi kita, dan mengasuh kita. Ilmu pengetahuan adalah sumber atau sebab alami dan sekaligus perangkat pokok dari cinta dan kesantunan. Maka padanya pulalah mata air atau muara (makrifah) perimbangan pengelolaan cinta, kasih sayang, kepengasuhan dan otoritas. Bayangkanlah orang mencintai dan menyayangi tanpa ilmu: dekat dengan kemungkinan keterjerumusan.
Bayangkanlah orang mengasuh tanpa ilmu: destruksi sangat mungkin terjadi. Bayangkan orang menyantuni tanpa ilmu: kemanjaan hasilnya. Dan bayangkanlah orang berkuasa tanpa ilmu, apalagi tanpa cinta, kasih sayang dan kesadaran kepengasuhan dan kesantunan: fir'aunisme yang dibangunnya.
Allah juga menyebut dirinya tidak sekedar 'alim, tapi 'alimul ghoib. Bukan sekedar maha mengetahui, tapi maha mengetahui segala yang ghaib. Ghaib itu simbol dari ketakterhinggaan. Cerminan dari kenyataan relativitas dan keterbatasan ilmu yang dipinjamkan-Nya kepada manusia. Jadi, jabaran keilmuan kata ghaib ialah keterbatasan terhadap ketakterhinggaan. Efek moralnya bagi manusia, tentunya adalah kerendahhatian. Tawadlu. Yang diasah terus menerus dengan tradisi sujud.
Bayangkanlah perilaku manusia yang tanpa kerendahhatian. Bayangkanlah ideologi, teknokrasi kehidupan masyarakat dan negara, institusi ilmu, partai politik, kritik sosial, atau langkah-langkah adab budaya masyarakat manusia yang tidak berhikmah dari kerendahhatian. Produknya mungkin keterjebakan ber abad- abad, bumerang peradaban yang terlalu mahal ongkosnya, artifisialisasi kebudayaan, perang, stres, mabuk, dan bunuh diri.
Oleh karena itu puasa adalah media otokritik bagi manusia, komunitas, kebudayaan dan peradaban. Adalah peluang untuk proses pengambilan jarak dari diri manusia – baik 'diri personal' maupun 'diri sosial' dalam arti 'masing-masing' mapun 'bersama', diri pada segala konteks dan skala. Kemudian mengevaluasinya dan melahirkan pembaruan yang memungkinkan kondisi Idul ritri bisa diperoleh.
Muthahhar, Tercerahkan
Term dalam Al Qur’an, yang agaknya paling tepat untuk menggambarkan situasi sublim, yaitu menyatunya empatsifat Allah SWT(Rabb, Rahman, Rahim dan Malik) adalah muthahhar. Artinya, manusia yang tersucikan. Terjernihkan. Tercerahkan. Di kulit luar kitab Qur’an Anda selalu bisa menemukan kalimat Allah itu: la yamassuhu illal-muthahharun. Arti tekstualnya: "tidak menyentuh kitab ini kecuali dalam keadaan suci". Makna kontekstualnya dapat kiranya dipahami bahwa seseorang tidak akan tuning-in iklim Qur'ani, kecuali ia tercerahkan, baik secara spiritual, intelektual, mental dan moral.
Dalam surah Al-Waqi’ah ayat 79, Allah SWT berfirman:
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Q.s 56:79)
Dengan demikian gambaran situasi sublim, kehidupan seseorang mempersyaratkan dipenuhinya kebersihan spiritual, kejernihan dan kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kelayakan moral. Tingkat dan kualitas pencapaian empat dimensi itu menentukan seberapa rekat seseorang berada dalam persenyawaan dengan ruhani Qur’an dan ilmu Qur’an, serta dalam mentalitas dan moralitas Qur’ani -yang pada akhirnya tercermin dalam perilaku sosialnya.
Bukankah lbu-Qur'an memperbandingkan antara an'amta'alqihim dengan manusia maghdlub dan manusia dhollin? Maghdub, orang yang Allah marah kepadanya. Orang yang "tahu tapi tak mau." Orang-orang yang menyerap ilmu, namun tidak menerjemahkannya menjadi realitas kehidupan. Orang-orang yang menumpuk pemahaman, namun tak memperjuangkan dan menegakkannya karena kecil hati dan ciut nyali pada kekuatan yang bukan Tuhan. Orang-orang yang membanggakan kepandaian akal, namun memanjakan kehidupan dan menghinakan kematian, sehingga hidupnya membuih dan mengambang. Orang-orang yang dalam shalat formalnya mengucapkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in -“hanya kepada-Mu aku mengabdi dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan”- ternyata untuk memperolok-olokkan Allah, sebab realitas kehidupannya tidak sungguh-sungguh ia letakkan dalam ikrar, konteks dan iklim sikap yang semacam itu. Orang-orang yang selalu mengemis ihdinash-shirothol-mustaqim -“tunjukilah kami jalan lurus, jalan yang ditegakkan”- dan Allah telah sejak dulu kala memberikannya namun mereka tidak benar-benar bersedia dan menggunakannya. Orang-orang yang meminta, diberi, tak menerimanya namun meminta lagi, diberi dan tak menerimanya, dan meminta lagi. Mungkin karena itu Rasulullah mengajarkan agar sesudah shalat, hendaknya para hamba Allah berwirid Astaghfirullah, Astaghfirullah - "Ampun ya Allah! Ampun ya Allah!" Dan siallah kalau ternyata kata-kata ini pun bercanda belaka.
Masih mending adh-dhollin, orang-orang yang "mau tapi tak tahu." Orang yang kurang maksimal ber-iqra', namun tulus hati pengabdiannya. Orang yang tidak pintar, namun berani bekerja keras, penuh tekad dan mengandalkan kesembodoan. Tidak mereka capai kesempurnaan an'amta 'alqihim karena akal budi dan kecerdasan -indikator utama kemakhlukan manusia- kurang mereka asah dan olah, namun mereka berada di 'antrean' kedua dalam menghadapi ghodobullah, murka Allah.
Kita yang maghdlub, dianjurkan oleh Ibu Qur'an untuk mengacu dan menghayati poros malik-rahim: perjuangan otoritas dan cinta kasih sosial. Adapun kita yang dhollin, disarankan untuk mempedomani lajur rabb-rahman: bahwa untuk mengasuh dan menyantuni zaman, diperlukan pendalaman atau internalisasi cinta kasih, yakni cinta yang 'tidak buta', cinta yang 'kawin' dengan kebenaran - melalui ilmu. Dan, itulah jalan pencerahan.
Penutup
Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an Surah Surah Al Rum: 30:
Maka hadapkanlah dirimu kepada agama secara hanif. Adalah fitratallah yang membentuk diri manusia, tiada ganti ciptaan Allah, demikian itulah agama yang bernilai tapi sebagian besar umat manusia tidak menyadari.(QS. Ar Rum: 30)
Jika dalam perjalanan hidup manusia menjauh dari kehanifaannya makasimaklah firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. An “Ankabuut::69)
Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. (QS. Muhammad: 2)
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya[313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa’: 64)
Karena sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun:
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. Thaahaa: 82)
(Ya khafiyyal althaf adriknaa biluthfikal khafiy;Ya muhawwilal hawli wal ahwal hawwil haalana ila ahsanil ahwal)
Acuan:
Emha Ainun Nadjib.1996. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiyai. Bandung: Risalah Gusti.
Haidar Bagir. 2007. Buat Apa Shalat?! Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Pencerahan Hidup. Bandung dan Depok: Penerbit Mizania dan Pustaka IIMaN.
Muhammad Syafi’ie El-Bantanie. 2009. Mukjizat Al-Fatihah. Jakarta: QultumMedia.
Muhammad Zafrullah Khan. 1985. Wisdom of The Holy Propet. Islamabad: Islam International Publications Ltd.
Quraish Shihab. 1994.Tafsir Al Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini.
---------------------. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Penerbit Mizan.
Sahl b. ʿAbd Allāh al-Tustarī. 2011. Tafsīr al-Tustarī. Amman, Jordan: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought.
Syeikh Abdur Rohman bin Nasir As-Sadi. 2013. Meraih Hidup Bahagia. Bogor: Pustaka Mufid.
The Educational Departemen of Daar Al-Watan. 2011. Jalan Menuju Taubat. http://www.raudhatulmuhibbin.org.
------
*) Akan disampaikan di Gedung Muslimat NU Sendangagung Kec. Sendangagung Kab. Lampung Tengah Prov. Lampung, 24 Agustus2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H